FeatureNews

Kesaksian Isfanni Melihat Kapal Apung Terbawa Ombak Besar

Foto: Kapal PLTD Apung yang terdampar di Punge Blang Cut, Banda Aceh, menjadi situs sejarah tsunami (rentalmobil.com)

“KETIKA gempa saya berada di gampong, kemudian keluar ke pasar untuk melihat toko Zikra yang runtuh. Disitu saya dikejar air. Saya lari ke arah Seutui melalui jalan Blang Padang,” kisah Isfanni, salah seorang korban tsunami Aceh yang selamat ketika membuka pembicaraan dengan popularitas.com, Minggu, 22 Desember 2019 malam.

Gempa yang dimaksud Isfanni tersebut terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004 lalu. Gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter tersebut berpusat di kedalaman 10 Kilometer di dasar laut Samudera Hindia. Sementara wilayah sumber gempa berjarak sekitar 149 Kilometer sebelah barat Meulaboh, Aceh.

Lindu tersebut berlangsung selama 10 menit, tetapi kemudian “membangunkan” ombak raksasa hingga Banda Aceh. Alhasil, Isfanni yang saat itu sedang terkesima dengan bangunan yang ambruk akibat gempa harus lari lintang pukang. Beruntung, dia dapat meraih sepeda motor yang ditungganginya dari rumah. Saat itu Isfanni berboncengan dengan salah seorang warga Gampong Baro Kecamatan Meuraxa.

“Saya termasuk orang yang kabur dari kejaran air paling depan,” ujar Isfanni lagi. Meskipun mereka berhasil menumpangi sepeda motor, tetapi jalanan saat itu padat. Air laut bahkan sempat mengenai ban sepeda motor mereka.

Setiba di Blang Padang, tepatnya di depan pendopo Wali Kota Banda Aceh, Isfanni sempat melihat kapal besar yang terbawa oleh air di kawasan Punge. “Ternyata itu kapal PLTD Apung,” tambah Isfanni.

Niat Isfanni kembali ke Gampong Baro gagal. Padahal jarak antara Lapangan Blang Padang dengan desa itu tak begitu jauh. Gampong Baro yang menjadi tempat tinggal Isfanni itu merupakan tetangga desa Gampong Punge Blang Cut. Gampong yang belakangan terkenal karena menjadi tempat bertambatnya kapal PLTD Apung, situs tsunami di Banda Aceh.

Isfanni bersama rekannya kemudian memutar ke Jalan Teuku Umar menuju arah Seutui, Kota Banda Aceh hingga tembus ke Rumah Sakit Fakinah. Setelah berhasil selamat dari amukan air pasang itu, Isfanni kemudian melihat banyak puing-puing bangunan menutupi badan jalan. Tak hanya itu, banyak juga mayat-mayat orang tak dikenal tergeletak di antara tumpukan bangunan. Beberapa di antaranya berada di depan RS Fakinah.

Baca: Doa Sakratul Maut Bebaskan Irfan dari Cengkraman Laut

“Saya mencoba memerhatikan wajah mayat-mayat itu satu persatu. Berharap ada yang dikenal,” kisahnya lagi.

Waktu hari itu berlalu begitu cepat. Isfanni yang selamat terus mencari jalan tembus menuju Gampong Baro Kecamatan Meuraxa. Pun begitu usahanya gagal. “Tumpukan sampah tsunami mulai terlihat dari traffick light Simpang Tiga Seutui,” kata Isfanni.

Isfanni ingat betul saat itu sudah pukul 18.00 WIB. Dia berharap dapat kembali secepat mungkin ke tempat tinggalnya di Gampong Baro. Harapan itu kandas. Tumpukan sampah tsunami menghadang gerak pria kelahiran 1981 ini. Guru salah satu SMK Negeri di Banda Aceh ini kemudian membatalkan niatnya kembali ke desa. Terlebih saat itu dia telah bertemu dengan adiknya yang selamat.

“Saya membawa adik saya ke Saree, Aceh Besar. Kebetulan nenek kawan saya menetap di sana,” jelas Isfanni.

Isfanni baru berhasil kembali ke rumah pada hari ketiga, Selasa, 28 Desember 2004. Dia merintis jalan masuk melalui gampong Blower atau sekarang disebut Desa Sukaramai. Setiba di lokasi, Isfanni hanya melihat pondasi rumah yang tersisa.

Baca: Kisah Pulau Baguk, Pulau Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh

“Dalam keluarga kami berlima. Yang selamat empat, bapak tidak selamat,” ujar Isfanni saat ditanyakan apakah keluarganya termasuk korban yang meninggal dalam musibah itu. Dia mengatakan sang ayah tidak berhasil selamat karena saat kejadian berada di rumah. Sementara ibunya selamat. Mereka baru bertemu beberapa hari kemudian di salah satu rumah di kawasan Peukan Biluy, Aceh Besar.

Isfanni merupakan salah satu warga yang selamat dari tsunami karena pada saat kejadian berada di Pasar Aceh, Banda Aceh (Dok Pribadi)

Isfanni menyebutkan Gampong Baro sebelum kejadian tsunami dihuni oleh 2.038 jiwa. Namun, hanya 200 jiwa yang tercatat selamat setelah tsunami melanda Aceh. Selebihnya meninggal dunia dan ada juga yang hilang. “Jumlah 2.038 jiwa itu dari apa yang diingat oleh keuchik saja,” tambahnya.

Ratusan jiwa yang selamat itu kemudian berinisiatif kembali membangun desanya. Namun, para penyintas itu tak semuanya menguasai teknik pertukangan ataupun bangunan. Beruntung saat itu banyak lembaga donor asing yang ikut membantu untuk membangun kembali permukiman warga.

Menurut pengakuan Isfanni untuk Gampong Baro ada beberapa lembaga asing yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi itu. Salah satunya adalah IRD yang memberikan program livelihood kepada Isfanni dan warga setempat. Program ini dimaksudkan melibatkan warga korban untuk membangun ulang tempat hunian mereka. Namun, ada beberapa warga yang tidak paham dengan bangunan. Ada juga yang trauma kembali ke kampung halaman. Alhasil mereka terpaksa menggunakan orang luar untuk membangun rumah di Gampong Baro.

Selain IRD, menurut Isfanni, program rehab rekon di Gampong Baro juga turut dibantu oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui P2KP. Multi Donor Fund (MDF) serta World Bank juga ikut terlibat dalam membangun ulang gampong tempat tinggal Isfanni. Kegigihan mereka membangun kembali lokasi tersebut bahkan mendapat apresiasi dari Kementerian PU. “Alhamdulillah Gampong Baro menjadi gampong percontohan untuk program P2KP,” kata Isfanni lagi.

Kisah 15 tahun lalu itu menjadi sejarah hidup bagi Isfanni. Kini pria lulusan Universitas Syiah Kuala tersebut telah berkeluarga. Anaknya sudah dua orang. Saban akhir tahun, tepatnya 26 Desember, Isfanni sering mengajak anak-anaknya mengunjungi kuburan massal korban tsunami yang ada di Siron. Di lokasi ini, Isfanni menduga sang ayah dimakamkan bersama ribuan korban tsunami lainnya.

“Selama ini saya membawa anak-anak setiap Desember untuk lawatan sejarah ke situs-situs tsunami juga,” kata Isfanni seraya berharap anak-anaknya dapat paham bagaimana dan apa yang harus dilakukan saat tsunami terjadi.* (BNA)

Shares: