FeatureNews

Doa Sakratul Maut Bebaskan Irfan dari Cengkraman Laut

Tsunami Aceh telah belasan tahun berlalu. Namun, kisah para penyintas masih menarik untuk terus disimak sebagai pembelajaran bagi generasi penerus.
Irfan Mulyadi dan sang ibu saat merintis jejak tsunami di bekas rumah kontrakan mereka, di kawasan Perumnas Pola, Kajhu, Aceh Besar, pada 2005 lalu. Tampak salah satu pohon mangga yang pernah menjadi tempat Irfan menyelamatkan diri ketika tsunami. (Dok Pribadi)

“SAYA pikir hari itu adalah hari terakhir dan ajal menjemput. Saya sempat pasrah, tetapi tenggelam di dalam air sangat tersiksa. Pada saat tenggelam tiba-tiba saya teringat kisah Wali Songo Sunan Bonang yang membacakan doa sakratul maut untuk adiknya Sunan Drajad yang lagi kritis. Setelah membaca doa sakratul maut kemudian tubuh saya pun terdorong ke permukaan dan saya berhasil meraih sebatang pohon hingga hanyut ke Lambaro Angan…”

Kisah di atas merupakan kesaksian Irfan Mulyadi, salah seorang warga Blangpidie, Aceh Barat Daya yang selamat dari amukan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu. Saat kejadian, Irfan tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala. Pada 2004 lalu, dia tinggal di kawasan Perumnas Pola, Kajhu, tepatnya di belakang kompleks penjara Blok E.

Irfan merupakan salah satu penyintas yang kerap mengenang detik-detik bencana terdahsyat di abad 21 tersebut. Lagipula Irfan banyak kehilangan rekan-rekan sejawat, termasuk adik-adik perempuannya.

“Saya tinggal di Perumnas Pola dengan dua orang adik kandung, dan dua sepupu. Malam kejadian, salah seorang adik sepupu yang laki-laki tidur di Beurawe, maka dia pun selamat dari tsunami,” kisah Irfan lagi kepada popularitas.com, Sabtu, 21 Desember 2019.

Pagi Minggu, 26 Desember 2004 itu, Irfan bersama adik-adiknya sempat keluar dari rumah kontrakan. Namun, Irfan lupa ada insiden apa yang membuat mereka pada pagi Minggu itu berkerumun keluar rumah. Kala itulah gempa menghentak Aceh dengan kekuatan dahsyatnya. Irfan dan adik-adiknya sempat terhuyung-huyung.

“Setelah gempa ada yang mengajak keluar lihat suasana, tetapi salah satu adik perempuan saya lupa mengenakan jilbab. Dia kembali ke rumah kontrakan untuk ambil jilbab, saat itulah saya lihat ada air yang datang dari arah laut,” kisah Irfan yang saat ini mengajar sebagai salah seorang guru di SMAN 1 Abdya.

Dia mengatakan kejadian itu begitu cepat. Mereka mencoba menyelamatkan diri dan akhirnya terhalang oleh pagar kawat rumah warga. Di sana, Irfan membantu adik-adiknya menerobos pagar. Namun nahas, ie beuna justru menerkam tubuh pria tersebut saat sedang meloncat pagar. Alhasil, Irfan terperangkap bersama kawat berduri itu. Tergulung ombak hingga berhasil meraih sebatang pohon.

“Saya sempat lari dengan adik-adik sambil berpengangan tangan. Di telinga masih terngiang teriakan adik perempuan yang menjerit memanggil abang,” cerita Irfan lagi.

Baca: Kesaksian Isfanni Melihat Kapal Apung Terbawa Ombak Besar

Setelah dirinya memanfaatkan sebatang pohon sebagai pelampung, akhirnya Irfan melihat kesempatan untuk tidak terus terjebak dalam arus laut itu. Dia mencoba meraih cabang pohon mangga. Berhasil. Irfan kemudian berdiam di atas cabang pohon itu hingga air surut.

“Ketika air surut, saya berencana turun, tetapi saya melihat seekor ular hitam sebesar induk kaki membelit di ranting kayu, di bawah ranting yang saya pijak. Maka saya pun mengurungkan niat untuk turun,” kata lelaki kelahiran 4 November 1982 itu.

Tak lama kemudian, gelombang kedua datang menghantam Irfan. Dia merangkul dengan kuat cabang pohon tersebut. Namun tidak dengan ular hitam yang sempat berbagi tempat dengan Irfan. Ular itu hilang terseret air.

Irfan Mulyadi kini mengabdikan diri sebagai guru di SMAN 1 Abdya (Dok Pribadi)

Tsunami memang telah 15 tahun berlalu. Lebih dari 200 ribu jiwa penduduk Aceh dilaporkan meninggal dunia. Tak sedikit korban juga dinyatakan hilang dalam kejadian di penghujung tahun itu. Termasuk beberapa di antaranya adalah kerabat Irfan Mulyadi.

“Saya kehilangan empat orang adik yang diantaranya adalah dua adik kandung, dan dua adik sepupu. Setelah tsunami, kami masih berusaha untuk mencari mereka, tetapi jenazah mereka tidak ditemukan,” kata Irfan.

Baca: Kisah Pulau Baguk, Pulau Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh

Meskipun demikian, Irfan tidak patah arang. Kini dia terus menjalani hidup di kampung halaman sebagai seorang guru sejarah sekaligus pembina Detasemen Polisi Siswa di SMAN 1 Abdya. Menurutnya ada hikmah yang terkandung dalam setiap musibah. Ini termasuk tsunami yang sudah belasan tahun berlalu dari Serambi Mekkah.

“Kita harus selalu dekat dengan Allah Swt, karena sudah memberikan kesempatan hidup untuk yang kedua. Kita juga harus lebih mencintai lingkungan dan peka, serta peduli dengan sesama ummat manusia,” kata Irfan yang hingga kini seringkali terperanjat apabila ada guncangan di waktu tidur malam.* (BNA)

Shares: