HeadlineIn-Depth

Protes Label “Islam Garis Keras” dari Aceh

Mahfud Md (Foto: Grandyos Zafna/detik.com)

KEKALAHAN calon Presiden RI Joko Widodo di Aceh mendapat sorotan dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Dia menilai Aceh merupakan salah satu basis Islam garis keras di masa lalu yang sama dengan Jawa Barat, Sumatera Barat, dan juga Sulawesi Selatan. Faktor inilah yang kemudian membuat Joko Widodo disebut-sebut susah meraih kemenangan di daerah tersebut.

“Kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya sekarang kalau lihat sebaran kemenangan ya mengingatkan kita untuk lebih sadar segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini kemenangan Pak Jokowi ya menang dan mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun. Tapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga. Saya kira rekonsiliasinya jadi lebih penting untuk menyadarkan kita bahwa bangsa ini bersatu karena kesadaran akan keberagaman dan bangsa ini hanya akan maju kalau bersatu,” kata Mahfud MD dalam video itu seperti dilansir detik.com, Minggu, 28 April 2019.

Mahfud MD diduga menganalisis kemenangan Prabowo dengan merujuk pada sejarah Aceh, yang bersama-sama dengan Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya, ikut mendeklarasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pasca Indonesia merdeka, daerah yang disebut Mahfud MD ini memang benar pernah memproklamirkan sebagai Negara Islam Indonesia (NII) di bawah kepemimpinan SM Kartosoewiryo. Begitu pula dengan Sulawesi Selatan.

Di Aceh, pada saat itu, DI TII dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh sementara Sulawesi Selatan dikomandoi Kahar Muzakar. Namun, tidak untuk Sumatera Barat yang memberontak di bawah bendera Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau disingkat PRRI. Inilah yang membuat sebagian kalangan menilai pernyataan Mahfud MD terkait kekalahan Jokowi-Ma’ruf Amin di sejumlah daerah tersebut terlalu tendensius karena mengaitkan faktor sejarah dengan fanatisme agama. Apalagi PRRI justru muncul karena adanya tuntutan otonomi daerah yang lebih luas, yang lebih kepada protes terhadap sistem negara, bukan dalam rangka memisahkan diri dari Indonesia dan jauh dari ideologi keagamaan.

Munculnya PRRI juga dilatarbelakangi oleh tuntutan pemerataan pembangunan di Indonesia agar tidak hanya terpusat di Pulau Jawa. Selain itu, protes PRRI yang kemudian di-back up anggota Permesta, juga dipicu oleh penciutan Divisi Banteng menjadi resimen infanteri 4 TT I BB yang konon melukai harga diri para perwira.

Kolonel Ahmad Husein, duduk paling kanan, dalam pertemuan rapat yang membahas Perang PRRI | Foto: Kutupedia

Sementara untuk kasus DI/TII di Aceh, perlawanan terjadi justru pasca Indonesia meleburkan Aceh dengan Sumatera Utara. Berdasarkan referensi sejarah diketahui saat itu Aceh digadang-gadang menjadi daerah modal kemerdekaan Indonesia. Namun, di sisi lain, Aceh yang semula merupakan daerah provinsi justru “dikerdilkan” menjadi keresidenan.

Faktor kekecewaan inilah yang kemudian membuat Aceh di bawah kepemimpinan Teungku Daud Beureueh, belakangan memproklamasikan daerah tersebut berada di bawah DI/TII pimpinan SM Kartosoewiryo. Tentu ini berbanding terbalik dengan klaim Mahfud MD yang menekankan perlawanan di Aceh semata-mata karena faktor agama. Belum lagi jika dikait-kaitkan dengan deklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ideologi perlawanannya jauh berbeda dengan DI/TII dan muncul karena ketidakadilan pembangunan.

Hal tersebutlah yang memantik sejumlah tokoh di Aceh kemudian memprotes pernyataan Mahfud MD. Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, misalnya. Sebagai putra Aceh, Nasir menyayangkan pernyataan Mahfud MD yang disebut berpotensi mengadu domba sesama anak bangsa dan warga antar provinsi.

“Apa yang diucapkan oleh Mahfud MD itu mirip perilaku penjajah dan PKI. Sejumlah masyarakat Aceh saat ini bersiap-siap menempuh jalur hukum terkait pernyataan Mahfud MD itu,” ujar Nasir Djamil, Minggu, 28 April 2019.

Baca: Sebut Warga Aceh Penganut Islam Garis Keras, Anggota DPRRI: Mahfud MD Wajib Minta Maaf

Dia juga menyebutkan pelabelan “Islam garis keras” kepada rakyat Aceh adalah bentuk penghinaan dan tuduhan yang tidak mendasar. Karena itu Nasir meminta Mahfud MD untuk meminta maaf.

“Saya meminta Mahfud MD agar meminta maaf kepada masyarakat dan mencabut pernyataannya yang sesat dan menyesatkan itu,” sebutnya.

Pernyataan lebih keras datang dari mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf atau akrab disapa Muallim (Mualem). Meskipun mengakui watak orang Aceh yang keras, terutama terhadap penjajahan dan penista agama, tetapi Mualem menyebutkan apa yang disampaikan Mahfud MD tersebut telah menyakiti hati rakyat Aceh. “Karena dilabelkan sebagai kelompok Islam garis keras, dan terang Mahfud menebar kebencian yang berlebihan,” kata Muallem seperti dikutip staf khususnya, Wen Rimba Raya.

Dok Sejarah

Baca: Mantan Panglima GAM: Mahfud MD Harus Minta Maaf Terhadap Rakyat Aceh

“…Kami bersikap keras terhadap kecurangan-kecurangan oleh negara, dan kami akan selalu bersikap keras terhadap ketidakadilan,” tambah Muallem lagi.

Lebih lanjut, protes serupa juga datang dari Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry Banda Aceh, Rizki Ardial. Kepada media Rizki menyebutkan pernyataan Mahfud MD sama sekali tidak mendasar. “Kita mempertanyakan apa maksud beliau mengatakan hal tersebut,” kata Rizki.

Secara konstitusi, lanjutnya, Aceh mendapatkan kekhususan dan keistimewaan untuk menjalankan syariat Islam secara kafah. Masyarakat Aceh hampir secara keseluruhan menganut agama Islam.

“Namun, tidak pernah kita dapatkan adanya upaya-upaya pengislaman bagi nonmuslim secara keras di Aceh, kita sangat menghormati agama lain, buktinya masih ada nonmuslim yang hidup berdampingan dengan umat Islam di Aceh,” katanya.

Protes serupa juga datang dari Sulawesi Selatan. Said Didu, mantan Sesmen BUMN misalnya.

“Mohon maaf prof @mohmahfudmd, saya berasal dari Sulsel, mohon jelaskan indikator yang prof gunakan sehingga menuduh orang Sulsel adalah orang-orang garis keras agar jadi bahan pertimbangan kami. Kami orang Sulsel memang punya prinsip SIRI untuk menjaga kehormatan. Inikah yang dianggap keras?” kata Said Didu dalam akun Twitter-nya, @msaid_didu.

Umat Hindu di Banda Aceh merayakan hari Pangguni Uthiram | Foto: Al Asmunda

Baca: Ada Apa dengan Mahfud MD?

Tanggapan lain juga datang dari mantan politikus Partai Demokrat Andi Arief. Dalam kicauannnya di akun Twitter @AndiArief_, Minggu, 28 April 2019, Andi turut menyebut kalau Mahfud MD tak mengindahkan wasiat Soekarno.

“Wasiat Soekarno jelang pemilu yang tidak diindahkan oleh Prof @mohmahfudmd : ‘Negara Republik Indonesia ini milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!’ (Soekarno dalam Kongres Rakyat Jawa Timur di Surabaya, 24 September 1955)”

Selanjutnya Andi Arief menambahkan, “Soekarno tidak pernah melarang Islam garis keras, moderat, dan yang tidak beragama serta agama apapun untuk mendukung kemenangan siapapun dalam pemilu. Wasiatnya hanya mempertahankan Pancasila Prof @mohmahfudmd.”

Pernyataan Mahfud MD ini kini terus mendapat perhatian dari sejumlah kalangan. Apa yang disampaikan kandidat gagal calon Wakil Presiden Joko Widodo tersebut kini menggelinding bagai bola salju, di tengah panasnya hasil rekapitulasi Pemilu 2019. Ini juga menjadi pertanyaan besar, sebenarnya ada apa sih dengan Mahfud MD dan label provinsi garis keras untuk daerah yang memenangkan Prabowo Subianto?*(BNA/ASM/DBS)

Shares: