HeadlineNews

Revisi Qanun Jinayat, pelaku kekerasan seksual dapat dipidana

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) saat ini tengah membahas revisi Qanun Nomor 4 tahun 2014 tentang hukum Jinayat. Pembahasan produk hukum daerah itu, ditargetkan tuntas pada akhir 2022.
Implementasi syariat Islam di Aceh gagal, salah siapa?
Ilustrasi, algojo melakukan eksekusi cambuk terhadap terpidana liwath atau gay di Taman Bustanussalatin, Kota Banda Aceh, Kamis (28/1/2021). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

POPULARITAS.COM – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) saat ini tengah membahas revisi Qanun Nomor 4 tahun 2014 tentang hukum Jinayat. Pembahasan produk hukum daerah itu, ditargetkan tuntas pada akhir 2022.

Qanun Nomor 4 tahun 2014 itu, dipandang penting untuk di revisi, sebab dalam perjalanannya, produk hukum itu tidak memberikan efek jera terhadap pelanggar syariat, terutama pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dan perempuan.

Banyak kasus-kasus perkosaan seksual terhadap anak, justru dibebaskan sebab tidak cukup bukti, dan bahkan, para predator seksual itupun kerap melakukan perbuatan serupa karena hukuman berupa cambuk yang diberikan sama sekali tidak berdampak.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, Bardan Sahidi, kepada Popularitas.com, Senin (17/5/2022) mengatakan, saat ini tahapan finalisasi revisi Qanun Jinayat sudah 50 persen, dan pihaknya menargetkan rampung pada akhir 2022 mendatang.

Revisi Qanun Jinayat, dianggap penting, sebab selama ini, banyak sekali kasus-kasus, terutama kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, pelakunya hanya dijatuhi hukuman ringan, dan bahkan hukum cambuk tidak membuat para pelaku jera.

Untuk mempercepat finalisasi revisi qanun itu, pihaknya melibatkan lembaga bantuan hukum, ormas perempuan dan anak, serta akademisi untuk memberikan masukan-masukan agar nantinya qanun hasil revisi memberikan kemanfaatan bagi rakyat Aceh.

Tentu yang menjadi sorotan memang soal hukum cambuk bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, untuk itu, beberapa pihak, dan juga DPR Aceh nantinya memberikan opsi kepada para penegak hukum untuk dapat menggunakan celah hukum positif terhadap para pelaku.

Selama ini memang, ujarnya, penegak hukum kerap masih menggunakan Qanun Jinayat, dengan menjerat para pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dengan cambuk, nah, kedepannya, ada ruang pada revisi Qanun yang memungkinkan para penyidik untuk dapat memberikan hukum berat menggunakan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan juga para hakim dapat menggunakan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Untuk penyempurnaan dan harmonisasi revisi qanun jinayat itu, pihaknya juga kerap berkonsultasi dengan Mahkamah Agung (MA), sehingga nantinya memungkinkan para pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga diadili di peradilan umum.

Selama ini kan karna menggunakan qanun, peradilan kekerasan seksual terhadap anak di Mahkamah Syar’iyah, dan dengan revisi itu nantinya ada celah predator seksual juga dapat diadili di peradilan umum, terang politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Jadi, pungkasnya, prinsip yang ingin di capai dari revisi Qanun Jinayat itu, selain soal kemanfaatan hukum bagi masyarakat, DPR Aceh menghendaki adanya celah bagi instansi penegak hukum untuk dapat menggunakan hukum positif terhadap para predator seksual terhadap anak.

Shares: