HeadlineIn-Depth

PT. EMM Hengkanglah…

Demo mahasiswa menolak keberadaan PT. EMM di Aceh. Aksi berlangsung di teras kantor Gubernur Aceh, Kamis 28 Maret 2019. (Al Asmunda)

PENOLAKAN keberadaan PT. Emas Murni Mineral (PT.EMM) yang kini terus mengeruk lahan pada dua wilayah kabupaten di Aceh terus disuarakan. Baik melalui aksi demo, penolakan bantuan dari perusahaan oleh masyarakat sekitar tambang, hingga suara lantang dari dalam parlemen.

Kamis 28 Maret 2019, sekelompok mahasiswa dari berbagai universitas di Aceh kembali berdemontrasi di halaman gedung kantor Gubernur Aceh. Aksi ini merupakan lanjutan dari aksi-akasi yang telah digelar sebelumnya, baik di kabupaten lokasi tambang maupun di provinsi.

Aksi itu dilakukan karena poin-poin tuntutan sebelumnya belum juga dijalankan PT. EMM. Pemerintah Aceh sebagai pengambil kebijakan juga belum berpihak pada mahasiswa dan warga. Belum ada sikap tegas pemerintah untuk memberhentikan operasional untuk perusahaan penambang emas tersebut.

Baca: Minta Bertemu Nova, Massa Seruduk Kantor Gubernur Aceh

Padahal, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tanggal 6 November 2018 telah melaksanakan rapat paripurna khusus terkait permasalahan PT. EMM. Berdasarkan keputusan paripurna DPRA Nomor 29/DPRA/2018, yang disampaikan kepada Plt. Gubernur Aceh dan Kepala BKPM RI, menetapkan:

Pertama: menyatakan bahwa izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kedua: merekomendasikan kepada Kepala BPKM RI untuk mencabut dan/atau membatalkan izin Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 yang diberikan kepada PT. EMM untuk melakukan eksploitasi di Kecamatan Beutong dan Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya serta Kecamatan Celala dan Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah.

Ketiga: meminta kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk tim khusus yang melibatkan DPRA untuk melakukan upaya hukum terhadap izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017.

Demo mahasiswa menolak keberadaan PT.EMM di teras kantor Gubernur Aceh, Kamis 28 Maret 2019. (Al Asmunda)

Keputusan dewan tersebut setelah mengakomodir sejumlah permasalah semenjak kehadiran PT. EMM, baik yang disampaikan oleh mahasiswa, tokoh masyarakat, hasil tinjauan ke lapangan, serta berbagai kajian lainnya. Hal itu dilakukan guna menghindari konflik sosisial di masyarakat agar tidak terus berkepanjangan.  Apa saja yang dilanggar PT.EMM dalam mengeruk wilayah itu?

Seperti dilansir MONGABAY.CO.ID, PT. EMM yang telah mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi melalui SK Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 pada 19 Desember 2017, tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto dalam surat penjelasan tentang IUP PT. EMM yang dikirimkan kepada Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Aceh, Sudirman, tertanggal 30 November 2018, menjelaskan hal tersebut.

“Hasil overlay menunjukkan, areal IUP PT. EMM dengan Peta Kawasan Hutan Provinsi Aceh skala 1:250.000, sesuai lampiran Keputusan Menteri LHK Nomor SK.103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April 2015, berada pada kawasan hutan lindung (HL) seluas 6.019 hektar dan areal penggunaan lain (APL) seluas 3.981 hektar,” terang Sigit dalam surat dengan nomor: S.1483/pkn/pen/pla.o/11/2018.

Sigit menyebutkan, berdasarkan data perkembangan penggunaan kawasan hutan di Direktorat Rencana, Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, tidak terdapat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) maupun permohonan IPPKH atas nama PT. EMM.

Sigit menambahkan, berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah, penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan oleh Menteri LHK serta pengunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan dengan pola pertambangan bawah tanah,” jelasnya.

Direktur Wahli Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, seharusnya PT. EMM telah mengantongi IPPKH sebelum mendapatkan IUP usaha produksi. Termasuk, sebelum melakukan kegiatan apapaun di dalam hutan lindung.

“Ini diatur UU Nomor: 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan aturan tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan yang dikeluarkan KHLH dalam putusan Nomor: P.50/menlhk/sekjen/kum.1/6/2016,” sebutnya.

Muhammad Nur mengatakan, dalam kontek kekhususan Aceh, Qanun Aceh No 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan mengatir, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan strategis, untuk publik yang tidak dapat dielakkan.

“Izin dikeluarkan Gubernur setelah mendapat rekomendasi dinas dan dilaporkan kepada DPRA,” ungkapnya.

Muhammad Nur menambahkan, sesuai dengan Pasal 134 ayat (2)  UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelanggaran tanpa dilengkapi IPPKH berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5 lima miliar sebagaimana diatur Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.

“Dalam kasus izin pertambangan PT. EMM, seharusnya Kepala BKPM RI mencabut dan membatalkan IUP perusahaan ini. Gubernur Aceh juga memiliki dasar hukum kuat untuk merekomendasikan pencabutan izin tersebut.”

Sebagai informasi, BKPM RI telah mengeluarkan izin untuk PT. EMM yang akan menambang emas di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah, dengan luas areal izin yang diberikan mencapai 10.000 hektar. Dari jumlah itu, lebih 6.000 hektar berada di hutan lindung, termasuk Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan Kawasan Strategis Nasional.

Massa merangsek ke halaman Kantor Gubernur Aceh untuk mempertanyakan sikap Pemerintah Aceh terkait izin tambang PT EMM | Foto: Al Asmunda

Menunggu Suara Nova

Melalui aksi seratusan mahasiswa dan aliansi lembaga yang mengatasnamakan diri koprs Barisan Pemuda Aceh (BPA) kembali menuntut Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah untuk segera merekomendasikan pencabutan izin PT EMM.

Bagi mahasiswa, persoalan ini akan selesai dengan keputusan gubernur selaku pengambil kebijakan di Aceh. Namun, hingga kini belum ada tanggapan serius. Sedangkan lahan sekitar kawasan tambang terus dikeruk dan hutan kian menggundul.

Hal itu dapat dilihat dari nada kecaman pada beberapa karton yang mereka bawa dalam aksi yang berlangsung di teras kantor orang nomor satu di Aceh, Kamis 28 Maret 2019 tersebut. Seperti “Tolak PT EMM”, “Negara Kesatuan Republik Investor”, “Pemerintah Aceh adalah Tiran”, “Jangan Gunduli Hutan Kami,” dan berbagai kecaman lainnya.

Para mahasiswa juga membawa cangkul sebagai simbol penolakan kehadiran PT EMM yang ingin menambang emas di wilayah Beutong Ateuh, Nagan Raya, dan Pegasing, Aceh Tengah. “Pak Plt, kami ini rakyat Anda. Tolong keluar temui kami,” teriaknya, yang disambut yel-yel “keluar pak Plt… segera,” serentak. Namun hingga pukul 12.00 WIB, Plt Gubernur Aceh tak muncul jua. (JAP/DBS/ASM)

Shares: