FeatureHeadline

Duplikasi Jembatan Kr Pante Raja Tuai Masalah

Duplikasi Jembatan Kr Pante Raja Tua Masalah
Sejumlah warga protes pembangunan duplikasi jembatan Kr Pante Raja, karena harga pembebasan lahan tidak sesuai dengan harga pasar. Nurzahri | popularitas.com

POPULARITAS.COM – Sebuah spanduk berukuran sekitar 3X2 meter tampak terpasang di pagar seng areal rencana pembangunan jalan baru lajur dari proyek duplikasi jembatan Krueng Pante Raja, Kabupaten Pidie Jaya.

Spanduk berlatar perpaduan warna kuning dan orange itu bertuliskan “Kami tidak menjual tanah dan toko untuk pelebaran jembatan krueng Pante Raja, jika pembayaran tidak sesuai dengan janji”.

Kain berbahan karet yang bertuliskan kalimat penolakan itu dipasang oleh sejumlah pemilik lahan yang terdampak pembangunan jalan baru jembatan ganda Pante Raja Pidie Jaya, lajur lintas nasional Banda Aceh Medan itu, dilakukan sebagai bentuk protes atas nilai ganti rugi pembebasan lahan mereka yang ditetapkan pemerintah.

Duplikasi Jembatan Kr Pante Raja Tua Masalah
Sejumlah bangunan yang terdampak pembangunan jalan dan jembatan di Pidie Jaya

Sejumlah pemilik lahan di sisi kiri jalan nasional menuju medan, tepatnya arah barat sungai Gampong Keude Pante Raja itu, menginginkan nilai ganti rugi pembebasan lahan mereka diharga Rp 3 juta permeternya.

Petang itu, Selasa 22 September 2020, sekira pukul 17.30 WIB, matahari seolah-olah terasa masih enggan untuk terbenam, emak-emak dan bapak-bapak tampak berdiri di pinggir jalan nasional, di depan pagar seng areal pembangunan jalan baru lajur jembatan ganda Pante Raja itu.

Mereka berkumpul untuk menyuarakan penolakan nilai ganti rugi pembebasan yang sudah ditetapkan itu. Mereka tak sudi, harta milik mereka dihargai dengan nilai di bawah pasaran.

Iswandi M Yahya (42) seorang pemilik lahan di Gampong Keude Pante Raja, yang terdampak pada rencana pembukaan jalan lajur duplikasi jembatan tersebut mengaku, harga yang ditentukan untuk tanah mereka sekitar Rp 1.200.000 permeternya. Menurutnya tidaklah sesuai, sehingga dia menyuarakan penolakan.

Selainnya Iswandi, ada 13 pemilik lahan lainnya yang juga sama-sama menolak menjualnya tanahnya, karena tidak bisa menerima harga pembebasan yang sudah ditentukan itu.

“Kami tidak  menjual tanah kami kalau harganya murah seperti itu,” kata Iswandi kepada popularitas.com.

Dihimpun popularitas.com, dalam rencana garapan pembangunan jalan yang menghubungkan jembatan ganda di Kecamatan Pante Raja itu, terdapat 29 persil (petak) tanah milik masyarakat di sisi kiri dan kanan pinggir sungai yang terdampak dalam proyek Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Aceh tahun 2020 itu.

Dari 29 persil lahan tersebut, 15 persil diantaranya berlokasi arah kanan menuju barat itu, juga terdapat sejumlah bangunan roko berlantai 2 hingga tiga yang sudah berdiri di lahan terdampak pembukaan jalan lajur duplikasi jembatan itu.

Padahal menurut Iswandi, pasaran harga tanah di Kecamatan Pante Raja yang berlokasi di pinggi jalan lintas nasional sekitar Rp 3 juta, bukan harga Rp 1,2 juta per meter.

Tangannya memegang spanduk, pupil mata pria berkulit sawo matang itu tampak membesar, saat menyebutkan nilai ganti rugi atas tanah miliknya hanya dihargai Rp 1,2 juta permeter.

Dengan nada suara sedikit tinggi, Iswandi tegaskan menolak keras harga yang sudah ditetapkan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk gantu rugi akibat terdampak pembangunan jalan dan jembatan tersebut.

Duplikasi Jembatan Kr Pante Raja Tua Masalah

Suara emak-emak tampak sahut-menyahut menyampaikan protes atas nilai ganti rumah pembebasan lahan. Iswandi terus melanjutkan ceritanya, pada awalnya pemerintah menjanjikan sebelum ada kesepakatan nominal harga atau sebelum pelunasan dilakukan, lahan masyarakat yang terdampak dalam proyek tersebut tidak akan dikerjakan.

Namun celakanya, proses pembayaran pembebasan lahan tersebut belum dilakukan, pengerjaan pembangunan jalan lajur duplikasi jembatan tersebut sudah mau dimulai, yang ditandai dengan mulai dimasukkan sejumlah material.

“Ini pembayaran belum ada, persetujuan kami sebagai pihak yang bersangkutan (pemilik lahan) belum mengizinkan, tapi sudah langsung dikerjakan,” ungkapnya.

Selain itu, dalam penentuan nilai pembebasan lahan untuk pembangunan jalan nasional tersebut, para pemilik lahan, akui Iswandi, tidak pernah dihadirkan, atau dilakukan negosiasi harga.

Menurutnya, pemilik lahanpun terasa dijadikan seperti bola pimpong yang dibola-bolai terkait harga biaya pembebasan tanah untuk proyek tersebut.

“Jadi siapa yang memberi izin untuk bekerja di tanah kami ini (yang belum dilakukan pembebasan). Ini sudah langsung dikerja, ini barang-barang sudah ada di dalam itu. Pembebasan belum, jadi kok kenapa berani sekali pemerintah memberi izin, orang ini bekerja di tempat (lahan) milik kami,” tanyanya.

Padahal dia bersama sejumlah pemilik lahan lainnya pernah menyampaikan besaran nilai untuk lahan mereka Rp 3 juta permeter. “Kami tidak akan menarok harga di atas Rp 3 juta, atau di atas harga pasaran, tidak demikian kami. Karena harga pasaran di sini Rp 3 juta permeter,” jelasnya.

Sejatinya pemilik lahan yang berdampak itu bukan menolak proyek jalan dua jalur lintas nasional di Kecamatan Pante Raja itu, hanya saja mereka menginginkan harga Rp 3 juta permeter, belum termasuk bangunan.

Sementara itu, Kepala Bagian (Kabag) Pemerintahan Kabupaten Pidie Jaya, Muslim Khadri membenarkan, sejumlah pemilik lahan yang terdampak pembukaan jalan lajur duplikasi jembatan Pante Raja itu menolak nilai harga yang ditetapkan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

“Harganya sudah ada, cuma sebagian masyarakat menolak karena menurut mereka tidak sesuai,” akunya.

Dari rencana garapan pembukaan jalan dua jalur lajur lintas nasional di Kecamatan Pante Raja itu, terdapat 29 persil (petakan) lahan masyarakat dengan 17 kepemilikan dan beberapa bangunan toko yang terkenak dampak.

Namun sekitar 50 persen pemilik lahan sudah menyetujui harga yang ditentukan oleh pihak KJJP itu, bahkan tujuh persil diantaranya saat ini dalam proses pembayaran.

Kata Muslim, dalam proses penentuan harga lahan masyarakat yang terdampak proyek pembangunan itu dilakukan oleh pihak KJPP, yang mana pengukurannya oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN), sedangkan pembayaran dilakukan oleh Kementerian PUPR dengan anggaran bersumber APBN.

“Harga yang sudah dibuat KJPP kan bervariasi karena bentuk bangunan bervariasi, harga tanah juga bervariasi. Harga yang sudah dibuat sesuai dengan KJPP di bawah Rp 1,5 juta, kisaran antara antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta,” paparnya.

Guna menyelesaikan masalah harga pembebasan lahan milik masyarakat tersebut, kata Muslim, Pemerintah Pidie Jaya akan berupaya seobjektif mungkin supaya tidak ada masyarakat yang dirugikan.

“Karena kita juga tidak menginginkan masyarakat begitu sudah menjual itu jatuh bangkrut.  Tapi tentu yang dijual itu sekurang-kurangya mereka beli yang lain. Dan kalau memungkinkan kalau toko yang dijual juga bisa membeli toko yang lain,” ujarnya.

Ikhiwal permintaan pemilik lahan, yang tanahnya harus dihargai Rp 3 juta permeter itu, sejatinya pemerintah Pidie Jaya mendukung jika menurut KJPP selaku pihak yang mentukan harga pembebasan lahan untuk proyek pembangunan menilai harga tersebut bisa dibayar.

Namun begitu jelas Muslim, guna menyelesaikan permasalahan tersebut, Pemerintah Pidie Jaya yang hanya bertindak memfasilitasi dalam proyek Kementerian PUPR, akan mencari jalan tengah, dengan mencoba berkomunikasi kembali dengan pemilik lahan, KJPP maupun Kementerian PUPR.[]

Reporter: Nurzahri

Editor: Acal

Shares: