HeadlineIn-Depth

Ancaman Perumahan di Zona Merah Gempa

Ancaman Perumahan di Zona Merah Gempa
Perumahan di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. popularitas.com | Muhammad Fadhil

BANDA ACEH (popularitas.com) – Gugusan perumahan tampak padat di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Rata-rata memiliki ukuran 8×5 meter dengan cat warna putih, kuning dan krem.

Rangkain perumahan itu terbagi ke dalam beberapa bagian. Setiap bagian memiliki satu lorong yang bisa diakses menuju jalan utama yang menghubungkan langsung ke Jalan Laksamana Malahayati.

Saat gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 2004 silam, Desa Alue Naga termasuk salah satu kawasan terparah. Gelombang air laut meratakan desa ini dengan tanah dan lumpur.

Kawasan ini merupakan daerah yang paling rawan bila sewaktu-waktu terjadi gempa. Selain cukup dekat dengan bibir pantai, daerah ini juga berada di atas patahan sesar Aceh.

Ditambah jalur evakuasi di Desa Alue Naga masih menjadi kendala. Sebab, hanya memiliki satu jalan untuk mengakses ke daratan lebih tinggi jika terjadi tsunami.

Renovasi jembatan Krueng Cut menjadi dua jalur, telah menghambat warga Alue Naga saat lari menyelematkan diri jika sewaktu-waktu terjadi tsunami.

Padahal Syiah Kuala merupakan zona merah gempa dan tsunami. Bahkan ada sejumlah rumah hanya selemparan baru dari bibir pantai. Belum lagi kawasan Syiah Kuala merupakan wilayah yang sangat rawan terhadap gempa yang dapat merusak bangunan.

Reza Gunawan (32), seorang warga yang tinggal di Lorong Beuleunak, hanya terpaut 800 meter dari bibir pantai. Kondisi ini tentu menghadirkan kecemasan setiap terjadi gempa, apalagi dengan kekuatan di atas magnitudo 5.00.

Reza mengetahui kawasan tersebut menjadi zona merah saat terjadi gempa dan tsunami. Namun ia tetap nekat dan tak ada pilihan lain, karena rumah-rumah di perkotaan cukup mahal, sementara yang berada di pinggiran sedikit lebih murah.

“Karena tidak ada pilihan, saya kerja tidak tetaplah, jadi untuk harga rumah perkotaan mahal, kalau di pinggiran murah untuk kontrak atau segala macam,” ujar Reza beberapa waktul lalu.

Karena berada di zona merah gempa dan tsunami, Reza bersama keluarganya berinisiatif membekali diri dengan mitigasi gempa dan tsunami. Hal ini ia peroleh dari hasil bacaan-bacaan di berita atau layanan google lainnya terkait mitigasi bencana.

“Kami di rumah sudah komitmen, jangan lari setelah gempa atau lari setelah tsunami. Jadi kira-kira gempa besar, dalam gempa itu langsung lari, untuk antisipasi macet, tetapi tak boleh panik. Makanya barang-barang penting sudah kami satukan dalam satu map, supaya mudah,” pungkasnya.

Berbeda dengan Ida (57), warga Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Sebenarnya ia juga mengetahui rumahnya berada di zona merah gempa dan tsunami, namun ia tak khawatir.

“Tidak takut, karena kalau sudah ajal tiba, kita tidak bisa menghindarinya. Tetapi soal daerah kami zona merah, kami memang selalu waspada,” ujar Ida.

Ida tinggal bersama dua anaknya di Desa Kajhu sejak 2009 silam. Rumah yang ia tempati sekarang berada persis pada komplek rumah orang tuanya yang hancur diterjang tsunami 2004 silam. Rumah itu dibangun kembali dan mulai ditempati lagi.

Rumah Ida termasuk berada di kawasan padat penduduk, jarak dengan bibir pantai sekitar 3 kilometer. Di sana, rumah-rumah yang dibangun umumnya bantuan tsunami 2004 silam, yakni rumah tipe 45 yang memiliki ukuran kurang lebih 5×8 meter.

Apabila terjadi gempa besar, Ida tak langsung lari mengevakuasi diri dan anak-anaknya. Ida baru memutuskan lari jika orang lain sudah lari. Adapun akses yang ditempuh adalah melewati Kajhu, lalu Blang Krueng, kemudian Rukoh hingga ke Tungkop.

Banda Aceh Daerah Bertemu Dua Patahan Segmen

Kedua wilayah tersebut merupakan kawasan cukup rawan terjadinya gempa dan tsunami.  Karena Banda Aceh dan sebagian Aceh Besar, seperti di daerah Kajhu hingga Krueng Raya adalah titik pertemuan beberapa patahan sesar, baik Segmen Aceh maupun Segmen Seulimuem. Kedua segmen ini masih aktif dan bisa saja terjadi gempa besar dan tsunami.

Ancaman Perumahan di Zona Merah Gempa
Sesar Sumatra Segmen Aceh dan Seulimum (Didik et al, 2010/iburusydy.com)

Usai peristiwa gempa bermagnitudo 9,2 tanggal 26 Desember 2004 lalu yang disertai gelombang tsunami telah membuka mata dunia dan akademisi untuk melakukan penelitian dan membuka literasi. Ternyata sejak dulu Aceh memang rawan terjadi gempa dan tsunami.

Data hasil analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Aceh, ada seratusan lebih gempa bumi yang terjadi Aceh sejak awal tahun dengan jenis dan kekuatan yang berbeda.

Untuk bulan Januari saja ada sekitar 35 kali gempa tektonik yang terjadi di Aceh. bermula pada tanggal 7 Januari sebagai pembuka tahun.

Yakni gempa magnetudo berkekuatan magnitude 6,4 yang terjadi di Sinabang Kepulauan Simeulu, dengan  posisi berada pada titik koordinat 2.29 LU 96.24 BT. Sedangkan kedalaman pusat gempa tersebut adalah 13 Km.

Selama ini, guncangan akibat gempa dengan kekuatan lebih dari magnitudo 5 ada yang bisa dirasakan oleh warga di daratan dan ada juga yang tidak. Status gempa dirasakan atau tidak biasanya dipengaruhi oleh tingkat magnitudo, kedalaman pusat gempa dan jarak lokasinya dengan daratan.

Untuk diketahui, sebagian besar wilayah Indonesia termasuk daerah rawan gempa. Merujuk pada data BMKG, selama 1976‐2006 saja, telah terjadi 3.486 gempa bumi dengan magnitudo lebih dari magnitudo 6,0.

Gempabumi bisa dibedakan dalam 2 kategori. Pertama, gempa tektonik yang terjadi karena pergerakan atau pergeseran lapisan batuan di kulit bumi, secara tiba‐tiba.

Fenomena itu terjadi akibat pergerakan lempeng‐lempeng tektonik. Selain itu, gempa bisa terjadi karena aktivitas gunung api. Jenis kedua ini disebut gempa bumi vulkanik.

Pergerakan lapisan batuan di dalam bumi secara tiba‐tiba dapat menghasilkan energi yang dipancarkan ke segala arah berupa gelombang seismik. Saat gelombang itu mencapai permukaan bumi, getarannya berpotensi memicu kerusakan, seperti pada bangunan, hingga menimbulkan korban jiwa

Sementara untuk periode Juli 2020 telah terjadi 20 kali gempa dalam sepekan perioede 10 Juli – 16 juli 2020 di Aceh. Ini merupakan hasil monitoring dan analisa petugas BMKG Stasiun Geofisika Mata Ie Aceh Besar selama 24 jam dari peralatan yang tersebar di seluruh Kabupaten kota di Aceh.

Kepala BMKG Mata Ie Aceh Besar, Djati Cipto Kuncoro Jumat (17/7/2020) lalu mengatakan, berdasarkan data sebaran informasi Geofisika Aceh Besar (Sigohar) gempa bumi terbanyak terjadi pada segmen patahan Batee.

Sembilan kejadian (gempa bumi) terjadi di patahan Batee, empat kali di Segmen Aceh. Satu kali di patahan Andaman, empat kejadian lainnya di segmen Tripa dan dua kejadian lainnya di segmen WAF Back Trusht.

Dari 20 kejadian gempa bumi di Aceh tersebut, dua di antaranya dapat dirasakan oleh masyarakat, yaitu kejadian di patahan Andaman dan satu kejadian di segmen Selimum.

Djati juga mengatakan wilayah Indonesia , khususnya Aceh, memiliki banyak sumber gempa. Secara umum ada 13 segmentasi sumber gempa megathrust.

Selain itu Indonesia juga memiliki sebanyak 295 segmentasi sesar aktif. Berdasarkan kondisi tektonik yang komple ini maka gempa bisa terjadi kapan saja dalam berbagai variasi magnitudo dan kedalaman.

Mengenal Patahan Segmen Sumatera di Tanah Rencong

Peneliti Tsunami and Disaster Migitation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Ibnu Rusdy menjelaskan, kondisi tektonik dan geologi Banda Aceh berada di atas cekungan berusia Holosen (10.000). Berdasarkan kajian geologi dinilai masih sangat muda.

Kawasan Aceh Besar sampai Kota Banda Aceh itu disebut dengan cekungan Krueng Aceh yang masih berumur muda. Ini terbentuk dari endapan alluvial terdiri dari kerikil, pasur, lanau dan lempung dan semua tidak padat, melainkan lunak.

“Kelunakan endapan alluvial muda ini akan menyebabkan terjadinya penguatan guncangan tanah (amplifikasi) gelombang gempa bumi,” kata Ibnu.

Banda Aceh diapit oleh dua patahan sumatera yang aktif, yaitu segmen Aceh dan segmen Seulimum. Jadi Banda Aceh menjadi kawasan yang cukup rentan terjadi gempa dan tsunami. Karena semua garis patahannya melintasi Kota Banda Aceh dan setiap tahunnya bergerak sekitar 2-5 meter.

Adapun kecamatan yang diperkirakan mengalami rusak parah bila terjadi gempa dan tsunami yaitu Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, Ulee Kareng, Meuraksa, dan Jaya Baru.

Mengutip dari situs ibnurusdy.com, sesar sumatra segmen Aceh membentang mulai dari Aceh Tengah menerus sampai ke Mata Ie dan sampai ke Pulau Aceh. Sejak tahun 1892 belum pernah digoncang gempa di atas magnitude 6. Pada tahun 2013 ini, segmen ini telah mengalami gempa dengan skala di atas magnitudo 6 di sekitar Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Kejadian gempa 22 Januari 2013 tersebut telah mengindikasi bahwa sesar Sumatra segmen Aceh melepaskan energi yang sudah puluhan tahun tidak lepas.

Energi yang sudah lepas ini membuat sedikit lega karena dalam waktu beberapa puluh tahun ke depan mungkin di tempat tersebut tidak akan terjadi lagi gempa namun segmen Aceh bagian lain harus diwaspadai. Segmen Aceh bagian lain meliputi Banda Aceh dan Aceh Besar. Kapan energi gempa tersebut akan lepas? belum ada ilmu yang bisa memprediksinya.

Sesar Sumatra Segmen Seulimuem sedikit berbeda dengan segmen Aceh. Pada Segmen Seulimuem telah beberapa kali terjadi gempa pada tahun 1964 dan 17 Desember 1975 sebesar magnitudo 6,2 di kawasan Krueng Raya. Sesar Sumatra segmen Aceh dan Seulimuem ini merupakan patahan di Aceh yang banyak diketahui oleh orang.

Patahan Segmen Batee

Patahan di Aceh lainnya adalah sesar/patahan Sumatra segmen Batee. Menurut Danny Hilman dan Kerry Sieh bukan merupakan sesar aktif. Sesar geser kanan ini juga tidak menunjukkan gejala gempa sejak beberapa puluh ribu tahun yang lalu.

Patahan yang ada di Aceh, 1A: Segmen Aceh, 1B: Segmen Seulimum, 3: Segmen Batee, dan 1C: Segmen Tripa (Danny Hilman, 2007, iburusydy.com)

Di daratan Aceh, sesar ini dimulai dari Aceh Selatan menujuk arah Barat-Laut sampai jalur tengah antara perbatasan Aceh Barat dengan Aceh Tengah. Pada tahun 1995, Bellier and Sebrier juga mendapakan bahwa sesar ini bergerak sekitar  1,2 – 0.5 cm/tahun. Nilai pergerakan ini didapat berdasarkan perkiraan perubahan marfologi.

Walaupun segmen ini tidak menunjukkan gempa sejak beberapa ribu tahun yang lalu, Takeo Ito, dkk dari ITB, Nagoya Univ, BPPT dan Universitas Syiah Kuala menemukan indikasi pergerakan segmen. Namun energi yang tersimpan tidak begitu besar.

 

Patahan Segmen Tripa

Patahan Sumatra Segmen Tripa berada di antara Aceh Tenggara dengan Aceh Tengah. Pada segmen patahan ini pernah terjadi gempa sesar pada tahun 1990 di Kabupaten Gayo Lues dengan magnitudo sebesar magnitudo 6,8  dan di Aceh Tenggara pada tahun 1936 dengan magnitudo sebesar magnitudo 7,2.

Menurut Irwan Meilano, patahan Sumatra segmen Tripa bergerak secara menganan (sesar geser kanan) dengan kecepatan (laju geser/slip rate) sebesar 3,5 mm/tahun dengan kedalaman potensi sumber gempa 10 Km.

Patahan Segmen Peusangan

Berbeda dengan segmen lainnya, patahan segmen Peusangan ini merupakan patahan yang jarang sekali ditemukan dalam beberapa tulisan. Kalau segmen Aceh, Seulimuem, Batee dan Tripa bagi sebagian orang sudah sangat familiar, namun tidak dengan segmen Peusangan.

Patahan segmen Peusangan dari Bireun ke Blang Pidie (H.D. Tjia, 2011, iburusydy.com)

Prof. Emeritus H.D. Tjia (Geologis senior Indonesia), pada tahun 2011 melalui Annual Intenational Workshop on Sumatra Tsunami Disaster and Recovery (AIWEST-DR) yang dilaksanakan di Aceh memaparkan tentang patahan segmen Peusangan ini.

Dia menduga bahwa, patahan Peusangan yang bergerak secara geser-kiri menjadi penyebab gempa magnitudo 8,7  pada tanggal 28 Maret 2005.

Di daratan Aceh, patahan Peusangan bagian utara berada di Bireun dan menerus ke Selatan sampai ke Blang Pidie. Kondisi batimetri pulau Banyak yang linear juga menunjukkan bahwa kawasan tersebut zona patahan Peusangan. Di bagian utara, patahan Peusangan ini membentuk tepi lereng yang curam teras Mergui.

Menurut Ibnu Rusdy, gempa yang terjadi 16 tahun silam di Aceh itu hanya 160 kilometer utara Pulau Simeulue pada kedalaman 30 kilometer di bawah laut. Gempa ini menyebabkan patahan sepanjang 1600 kilometer. Akibatnya terjadilah tsunami ke daerah pantai di Indonesia, India, Malaysia, Myanmar, Thailand, Singapura, dan Maladewa.

Tsunami Aceh paling besar yang pernah tercatat tinggi mencapai 30 meter, telah memporak-poranda bangunan di sepanjang pantai di Banda Aceh dan beberapa derah lainnya.

“Patahan tersebut  dimulai dari epicenter gempa dekat pulau Simeulue sampai ke kepulauan Andaman,” jelasnya.

Berdasarkan literasi yang ditemukan oleh peneliti. Aceh pada 4 Januari 1907 pernah terjadi tsunami dan gempa magnitudo 7,6 pada kedalaman 20 kilometer dengan episenter  2.48 LU dan 96.11 BT (Hiro Kanamori, dkk, 2010).

Bagi masyarakat Aceh di daratan, gempa dan tsunami 2004 silam terparah dibandingkan tahun 1907 lalu. Namun berbeda bagi masyarakat pulau Simeulue, justru tsunami 1907 yang paling parah. Di sana ditemukan, bongkahan koral dengan ukuran sama, terbawa lebih jauh smong 1907 dibandingkan 16 tahun silam.

Kawasan Aceh Besar sampai Kota Banda Aceh itu disebut dengan cekungan Krueng Aceh yang masih berumur muda. Ini terbentuk dari endapan alluvial terdiri dari kerikil, pasur, lanau dan lempung dan semua tidak padat, melainkan lunak.

“Kelunakan endapan alluvial muda ini akan menyebabkan terjadinya penguatan guncangan tanah (amplifikasi) gelombang gempa bumi,” kata Ibnu.

Segmen Aceh dan Seulimum

Peneliti Geological Hazard Research Group TDMRC Unsyiah lainnya, Muksin Umar menjelaskan, segmen Aceh dan Seulimeum merupakan patahan Sumatera dari Teluk Semangko di Lampung sampai ke Aceh.

Sesar Sumatra Segmen Aceh dan Seulimum (Didik et al, 2010, iburusydy.com)

Dari Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, patahan sumatera terpecah dua bagian. Satu segmen menerus sampai ke Indrapuri Mata Ie Pulau Breuh Pulau Nasi. Segmen ini dinamakan segment Aceh. Segment kedua menerus ke Seulimuem Krueng Raya Sabang, dan dinamakan segmen Seulimuem.

“Semua itu melintas kota Banda Aceh. Banda Aceh memang cukup rawan, karena semua bersinggungan,” sebut Muksin.

Sedangkan patahan sesar yang ada di Aceh, yaitu sesar Seulimum yang membentang dari kecamatan Tangse, Pidie ke Sabang sepanjang 181 kilometer, sesar Bate 131 kilometer, sesar Lhokseumawe 36 kilometer.

Lalu sesar Tripa sepanjang 286 kilometer dan Aceh sepanjang 232 kilometer. Sedangkan segmen lokal di Lampahan sejauh 32 kilometer, Pidie Jaya atau Samalanga 17 kilometer dan Lhok Tawar 21 kilometer.

“Segmen Tripa itu termasuk berada di Beutong Ateuh,” ungkapnya.

dini melalui teknologi yang dibuat manusia, karena bisa saja salah atau eror atau tak berfungsi.

“Banyak korban itu karena tidak ada ilmu pengetahuan. Kalau ada gempa besar, baiknya segera menjauh dari laut dan mencari tempat tinggi,” jelasnya.

 

Kondisi Banda Aceh Bila Gempa Magnitudo 7

Masih menurut Ibnu Rusdy seperti dikutip dari situs pribadinya. Kota Banda Aceh dan sebagian kecil Aceh Besar berada di atas endapan alluvium yang berumur sangat muda secara geologi (berumur Holosen).

Endapan alluvium yang muda termasuk dalam kategori tanah lunak sehingga akan menimbulkan efek amplifikasi (penguatan goncangan tanah) apabila gempa bumi terjadi.

Selain itu, kota Banda Aceh diapit oleh 2 patahan aktif, patahan segmen Aceh di sisi Baratdaya dan segmen Seulimeum di sisi Timurlaut.

Kondisi ini menjadikan kota Banda Aceh sangat rentan terhadap bahaya gempa bumi, terlebih gempa darat yang berasal dari segmen Aceh dan Seulimeum.

Lalu apa yang terjadi bila Kota Banda Aceh dilanda gempa sesar Aceh dan Seulimum, karena kedua sesar mengimpit ke ibu kota provinsi Aceh.

Ibnu Rusdy mencoba merangkum dampak gempa dari kedua segmen tersebut. Untuk dapat memperkirakannya, tahap awal harus dilakukan adalah membuat model gempa.

Saat ini banyak sekali rumus matematika yang bisa digunakan untuk membuat model sebuah gempa, namun pada penelitian ini, Ibu Rusdy menggunakan model rumus atenuasi yang dibuat oleh  Allen dkk pada tahun 2012.

Selain itu, berapa besar magnitudo gempa yang berpotensi terjadi juga harus dipelajari dengan detail dan seksama berdasarkan penelitian sebelumnya.

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa patahan segmen Aceh dan segmen Seulimeum mampu menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 7.

“Apabila gempa tersebut terjadi di masa yang akan datang, maka Kota Banda Aceh akan mengalami kerusakan yang sangat parah,” tulis Ibnu Rusdy dalam laporannya dimuat di situs pribadinya.

Menurutnya, tingkat kerusakan bangunan di Banda Aceh bila terjadi gempa di kedua segmen tersebut dipengaruhi oleh jenis bangunan dan besarnya tingkat goncangan.

Dampak kerusakan yang terjadi terhadap bangunan di Banda Aceh bila terjadi gempa di kedua segmen tersebut, disebebkan oleh besarnya honcangan tanah dan efek likuifaksi tanah.

Ibu menjelaskan, kerusakan bangunan juga diperkirakan cukup parah. Bila gempa terjadi dengan magnitude 7 dari segmen Aceh. Bangunan di Banda Aceh diperkirakan rusak antara 40-70 persen.

Bila gempa dari segmen Seulimuem bermagnitudo 7 masing-masing bangunan diperkirakan kerusakan 20-60 persen yang berada di Kreung Raya, Kabupaten Aceh Besar.

sebaran kerusakan bangunan akibat gempa bumi magnitudo 7 gempa bumi dari segmen Aceh (kiri) dan segmen Seulimeum (Kanan) (Sumber: Rusydy dkk, 2020)

“Kerusakan bangunan juga mempengaruhi korban akibat tertimpa bangunan,” jelasnya.

Ibnu Rusdy juga menghitung kerugian jiwa bila gempa terjadi di kedua segmen tersebut. Kerusakan bangunan akibat gempa bumi terjadi akan berdampak kepada jumlah korban luka-luka. Waktu gempa bumi yang berbeda akan memberikan jumlah korban yang berbeda pula.

Apabila gempa bumi terjadi di malam hari, jumlah korban luka yang paling terjadi rumah-rumah penduduk.

Berdasarkan hasil simulasi, diperkirakan sekitar 20.000 orang akan mengalami luka-luka apabila gempa bumi terjadi di segmen Aceh dan sekitar 15.000 orang apabila gempannya bersumber dari patahan segmen Seulimeum.

Sebaran korban luka-luka apabila gempa bumi.(Sumber: Rusydy dkk, 2020)

“Korban luka yang paling banyak terdapat di Kecamatan Kuta Alam, Baiturrahman, dan Syiah Kuala,” jelasnya.

Menurutnya, selain menyebabkan korban jiwa, apabila gempa bumi terjadi dengan magnitudo 7 terjadi dari segmen Aceh atau Seulimeum, kerugian ekonomi akibat kerusakan bangunan sangat besar.

Semua pakar gempa sepakat bahwa gampa tidak dapat diprediksi kapan terjadi dan berapa kekuatannya. Namun berdasarkan ilmu geologi, semakin panjang lempeng yang terangkat ke permukaan, maka semakin besar pula kekuatan magnitudo terjadi guncangan.

Muksin maupun Ibu Rusdy meminta kepada masyarakat agar lebih siap menghadapi gempabumi. Hal yang terpenting adalah perencanaan pembangunan ke depan harus mempertimbangkan parameter bencana. Setiap bangunan merujuk konsep rumah dan bangunan tahan gempa.[tim]

Editor: A.Acal

Shares: