News

Alasan Pansus Usul Jabatan Wali Nanggroe Tak Dibatasi

Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar | Repro

POPULARITAS.COM – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyetujui perubahan ketiga atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe Aceh dalam rapat paripurna DPRA, Kamis (3/9/2021).

Perubahan tersebut akan dibahas oleh panitia khusus yang telah dibentuk, yakni Mawardi sebagai anggota, Saiful Bahri sebagai wakil ketua, dan Nurdiansyah Alasta sebagai sekretaris.

Adapun anggotanya masing-masing Anwar, Iskandar Usman Al-Farlaky, Sulaiman, Nora Indah Nita, Teuku Raja Keumangan, Ilham Akbar, Asip Amin, Jauhari Amin, Amiruddin Idris, Fakhrurrazi H. Cut, Haidar, Irawan Abdullah, Syarifuddin, dan Ridwan Nektu.

Ketua Pansus Lembaga Wali Nanggroe, Mawardi mengatakan, perubahan qanun tersebut salah satunya untuk memberi kewenangan yang cukup kepada Lembaga Wali Nanggroe melalui peran Wali Nanggroe Aceh.

“Tujuan lainnya adalah Lembaga Wali Nanggroe melalui Wali Nanggroe diharapkan memiliki kedudukan yang terhormat dan memberi solusi atas permasalahan yang dialami rakyat Aceh,” katanya, Jumat (3/9/2021).

Mawardi menjelaskan, setidaknya ada tujuh poin yang bakal menjadi titik fokus pembahasan dalam rancangan qanun perubahan tersebut, yakni periodesasi jabatan wali nanggroe, kewenangan wali nanggroe dalam penegakan Dinul Islam.

Selanjutnya, kata Mawardi, kewenangan wali nanggroe sebagai pemimpin adat, hak keuangan wali nanggroe, syarat wali nanggroe dan waliyul ahdi wali nanggroe, bendera dan lambang.

“Dan terakhir adalah kewenangan dan peran wali nangggroe dalam kekhususan dan keistimewaan,” kata Mawardi.

Mawardi menyampaikan, pada poin periodesasi jabatan wali nanggroe, hendaknya dalam rancangan qanun Wali Nanggroe periodesasi jabatan tidak dibatasi dalam 2 periode jabatan.

Hal ini, katanya, karena jabatan ini tidak mewakili jabatan di pemerintahan dan atau mempunyai kewenangan keuangan/anggaran dan atau kewenangan eksekutorial, serta tidak termasuk dalam lingkup tugas eksekutif, legisllatif dan yudikatif.

Ia menjelaskan, kedudukan Lembaga Wali Nanggroe yang mulia dan individual serta independent sehingga tidak mudah mencari figur yang tepat dan dapat dihormati semua pihak, baik di tingkat Aceh, tingkat nasional maupun internasional.

Baca: Qanun Lembaga Wali Nanggroe Akan Diubah

Sementara poin kedua, tambah Mawardi, yakni kewenangan wali nanggroe dalam penegakan Dinul Islam. Menurutnya, kewenangan dalam Dinul Islam, agar tidak terjadi dualisme atau duplikasi kewenangan.

Hal tersebut, kata Mawardi, sebaiknya dalam Raqan Wali Nanggroe dapat diserahkan sepenuhnya kepada Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Aceh, namun harus ada bentuk koordinatif dan konsultatif di antara kedua Lembaga ini.

“Sehingga terdapat klausula saling memperkuat dan saling mendukung,” tutur Mawardi.

Adapun poin ketiga adalah kewenangan wali nanggroe sebagai pemimpin adat. Mawardi menjelaskan, kewenangan sebagai pemimpin adat sebaiknya dalam Raqan Wali Nanggroe lebih diperkuat lagi sehingga punya dampak dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Ia menyebutkan bahwa ini bisa disambungkan dengan kewenangan wali nanggroe dalam menjaga kekayaan khazanah Aceh, maupun kewenangan wali nanggroe sebagai penjaga perdamaian Aceh dan sebagai pemersatu rakyat Aceh.

Dalam hal adat ini, lanjut Mawardi, wali nanggroe sebaiknya diberi kewenangan yang cukup untuk bisa memanggil dan memberikan nasehat dan atau pendapatnya terhadap sebuah masalah yang ada dalam masyarakat Aceh, baik untuk lembaga/organisasi Pemerintahan Aceh, maupun lembaga/organisasi vertikal yang ada di Aceh.

“Melindungi wali nanggroe dari aspek pencemaran nama baik.  Dan kewenangan menggali atau membentuk suprastruktur/infrastruktur adat Aceh, meliputi semua potensi adat yang bisa dilaksanakan, seperti peradilan adat, tanah adat, dan lain-lain,” ucapnya.
Kewenangan lainnya, katanya, juga menyangkut dengan implementasi masalah adat sebaiknya diserahkan kepada Majelis Adat Aceh (MAA) agar tidak ada duplikasi dan atau dualisme dalam hal kewenangan adat.

“Termasuk ada klasifikasi antara LWN dan MAA dalam hal pemberian gelar kehormatan dan gelar adat. Namun harus ada bentuk koordinatif dan konsultatif diantara kedua Lembaga ini yang akan saling memperkuat keduanya,” jelas Mawardi.

Sedangkan poin keempat adalah hak keuangan wali nanggroe. Mawardi menjelaskan bahwa poin ini menekankan agar dalam rancangan qanun tersebut harus dibuatkan tentang hak keuangan wali nanggroe yang tidak terikat dengan peraturan gubernur (Pergub) Aceh.

Sehingga, katanya, ada standar anggaran yang tersedia, sehingga peran dan kedudukan serta kemuliaan wali nanggroe Aceh dapat lebih maksimal dalam kehidupan masyarakat Aceh, nasional maupun internasional seperti anggaran protokoler dan lainnya untuk memfasilitasi tamu negara maupun tamu negara asing yang berkunjung.

Selain itu, katanya, juga perlu biaya perjalanan yang cukup, guna mempromosikan perdamaian Aceh maupun kepentingan pembangunan Aceh kepada masyarakat nasional maupun masyarakat dunia.

Menurut Mawardi, banyaknya pihak internasional yang terlibat dalam proses perdamaian Aceh di Helsinki serta bantuan dunia internasional untuk rehab rekon Aceh pasca tsunami, adalah potensi besar untuk pembangunan kesejahteraan rakyat Aceh di masa depan.

“Hendaknya juga tersedia anggaran untuk riset atau kajian, diplomasi dan lainnya,” kata Mawardi.

Sementara poin kelima, tambah Mawardi, adalah syarat wali nanggroe dan waliyul ahdi wali nanggroe. Ia menjelaskan, kedudukan wali nanggroe Aceh diharapkan sebagai lembaga mulia dan terhormat serta merepresentasikan kehormatan rakyat Aceh masa kini dan masa depan.

Oleh karena itu, kata Mawardi, sebaiknya dalam Raqan Wali Nanggroe Aceh ini dipersyaratkan untuk seorang calon wali nanggroe dan waliyul ahdi (wakil) wali nanggroe, dapat menguasai dinamika politik dan sosial masyarakat Aceh sendiri.

“Dan juga dinamika politik dan sosial nasional serta dinamika politik dan sosial masyarakat dunia,” ungkap Mawardi.

Adapun poin keenam adalah bendera dan lambang. Mawardi menjelaskan, dalam Raqan Wali Nanggroe hendaknya ada penegasan untuk bendera dan lambang wali nanggroe, yang dapat dikenali sebagai ciri khusus dan istimewa oleh rakyat Aceh, nasional maupun dunia dalam kedudukannya sebagai representasi rakyat Aceh yang personal dan independent.

Sedangkan poin ketujuh adalah kewenangan dan peran wali nangggroe dalam kekhususan dan keistimewaan. Mawardi menyebutkan, Aceh memiliki 3 perangkat hukum yaitu UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Lalu, Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Keistimewaan Aceh serta Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 Tentang Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang.

Ia menjelaskan, Aceh di samping memiliki Lembaga Wali Nanggroe juga memiliki lembaga independent dan otonom seperti  Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU), Majelis Pendidikan Aceh (MPA-MPD), Baitul Mal, dan Mahkamah Syariah Aceh.

Namun, lanjut Mawardi, bentuk koordinasi dan konsultasi di antara lembaga khusus dan istimewa ini tidak tersambung dan tidak terkoordinir secara baik dan kuat, sehingga terlihat seperti tidak saling mendukung dan memperkuat guna kepentingan politik, sosial dan budaya untuk mencapai kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.

Mawardi menyampaikan, dalam Raqan Wali Nanggroe ini hendaknya lembaga khusus dan istimewa yang dimiliki oleh Aceh dapat dibuat bentuk kordinasi dan konsultasi di antaranya, sehingga akan menjadi pilar demokrasi keempat yang dimiliki oleh rakyat Aceh untuk membawa dan menyuarakan kepentingan Aceh pada tingkat nasional maupun internasional.

“Mungkin dibutuhkan revisi qanun untuk semua lembaga khusus dan istimewa agar dapat tersambungkan secara baik dan kuat guna membawa kepentingan Aceh untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran,” katanya.

Sebagai ilustrasi, lanjut Mawardi, jika lembaga pemerintahan pusat ada Forkopimda yang terdiri ketua atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di Aceh, maka Aceh bisa punya musyawarah pimpinan rakyat Aceh yang dilakukan secara priodik satu bulan, tiga bulan dan atau enam bulan sekali.

“Atau jika ada hal mendesak menyangkut nasib rakyat Aceh yang perlu dimusyawarahkan dan disuarakan secara bersama. Dalam forum koordinasi ini Wali Nanggroe Aceh akan diposisikan sebagai ketua,” demikian Mawardi.

Editor: dani

Shares: