HeadlineNews

85 Persen Gajah di Luar Kawasan Konservasi di Aceh

BKSDA: Konflik gajah-manusia hampir setiap hari terjadi di Aceh
Arsip Foto. Kawanan gajah liar masuk ke kebun warga di Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Minggu (10/2/2019). (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)

POPULARITAS.COM – Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Agus Arianto mengatakan, populasi gajah di Aceh saat ini 85 persen berada di luar kawasan konservasi.

Akibatnya konflik hewan berbadan tambun ini dengan manusia tidak dapat dihindari, karena lebih sering berada di kawasan perkebunan warga, hingga masuk pemukiman.

Akibat konflik tersebut tidak sedikit timbul kerugian di tengah masyarakat. Baik berupa rusaknya harta benda seperti pondok di kebun, sawah hingga tanaman dalam kebun. Bahkan bisa mengakibatkan korban jiwa, baik mengalami luka-luka hingga meninggal dunia.

BKSDA Aceh mencatat hingga 21 Desember 2020 terdapat 102 konflik gajah terjadi di Provinsi Aceh. Meskipun sedikit mengalami penurunan dibandingkan 2019 terdapat 107 kali konflik satwa gajah. Sedangkan 2018 lalu hanya 73 kali konflik.

Kendati demikian pada 2017 lalu relatif tinggi terjadi konflik satwa, yaitu mencapai 103 kali dan 2016 lalu hanya 44 kali terjadi konflik.

Dari jumlah tersebut, Kabupaten Pidie merupakan daerah paling tinggi terjadi konflik satwa dengan manusia sejak 2016 hingga 2020, yaitu terdapat 87 kali terjadi konflik.

Daerah yang paling rawan konflik satwa lainnya terdapat di Kabupaten Aceh Timur sebanyak 76 kali, lalu Aceh Jaya 69 kali, Aceh Utara 43 kali, Subulussalam 36 kali dan Aceh Barat 28 kali.

Kemudian disusul Gayo Lues 14 kali terjadi konflik satwa gajah, Pidie Jaya dan Aceh tengah 13 kali, Aceh Besar 12 kali, Bener Meriah 9 kali. Sedangkan Aceh Tenggara 7 kali, Aceh Selatan 6 kali, Bireuen 5 kali, Nagan Raya 7 kali dan Aceh Tamiang hanya 4 kali.

Agus Arianto mengatakan, hingga 21 Desember 2020 kematian gajah liar di Aceh sebanyak 10 ekor. Yaitu 6 ekor terjadi di Aceh Jaya, lima di antaranya ditemukan berupa tulang belulang dan satu jantan.

Lalu di Kabupaten Aceh Timur ditemukan 2 ekor gajah mati dengan jenis kelamin betina dan Kabupaten Pidie 2 ekor, satu jantan dan 1 tidak diketahui jenis kelaminnya.

Kata Agus, penyebab kematian gajah di Aceh sejak 2016 hingga 21 Desember 2020, 57 persen akibat konflik satwa dengan manusia. Hanya 10 persen kematian gajah akibat perburuan dan 33 persen mengalami kematian secara alami selama ini.

“57 persen itu kematian gajah karena konflik,” kata Agus Arianto, Jumat (25/12/2020).

Agus memaparkan kondisi penyebab kematian gajah di Aceh selama lima tahun terakhir. Pada 2016 lalu, kematian gajah akibat perburuan dan kematian alami hanya 1 kasus dan konflik terdapat 3 kasus.

Angka tahun berikutnya, yaitu pada 2017 justru kematian gajah secara alami meningkat drastis menjadi 6 kasus, perburuan 3 kasus dan mati alami tiga kasus.

Selanjutnya pada 2018 tidak terdapat kematian gajah akibat perburuan. Tetapi kematian akibat konflik relatif masih tinggi yaitu mencapai 6 kasus. Hanya saja kematian secara alami mengalami peningkatan mencapai 5 kasus.

Pada 2019 BKSDA Aceh mencatat angka kematian gajah sempat menurun, yaitu kematian akibat perburuan tidak ada, kematian akibat konflik hanya 2 kasus dan mati alami 1 kasus.

Tetapi hingga 21 Desember 2020 angka kematian gajah akibat konflik kembali meningkat, yaitu mencapai 6 kasus dan mati alami juga naik dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 4 kasus.

Meningkatnya kasus kematian gajah akibat konflik pada 2020 tidak terlepas, ditemukannya gajah mati akibat terjerat kawat listrik di Gampong Tuwi Priya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya pada 1 Januari 2020 lalu.

“Kasus kematian gajah di Aceh Jaya masih dalam proses, belum ada tersangka,” tukasnya.

Untuk mengantisipasi konflik satwa Gajah di Aceh. Langkah yang dilakukan ke depan oleh BKSDA Aceh dengan membentuk Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). “Tujuan pembentukan KEE untuk pembinaan habitat,” kata Agus.

Sedangkan untuk penanganan sementara atau jangka pendek, sebut Agus, BKSDA Aceh bersama pemangku kepentingan lainnya membentuk pembatas jenis barrier, baik berupa parit maupun kawat kejut.

Pertimbangan dalam pembangunan barrier, sebut Agus, yaitu jalur migrasi gajah liar yang sering dilintasi, eksisting barrier alami yang efektif, perawatan dan sejumlah solusi permasalahan  dan resiko lainnya.

Agus menyebutkan, langkah mitigasi lain yang dapat dilakukan adalah penyesuaian jenis komoditi yang ditanam di kawasan sering dilintasi gajah.

Ia mencontohkan, gajah cukup suka memakan tanaman seperti sawit, tebu, nangka, pisang dan juga padi. Agar dapat memitigasi untuk mencegah konflik terjadi, disarankan untuk menanam komoditi yang tidak disukai gajah.

Komoditi tersebut seperti kopi, cengkeh, pala, kemiri, lada, lemon dan juga sereh wangi. Kata Agus, gajah bila menemukan komoditi ini akan menghindar dan tidak dimakan oleh hewan berbadan besar itu.[]

Shares: