Opini

Warisan Masalah Itu Bernama PLTU Nagan Raya

Oleh: Yuli Rahmad

Dua hari yang lalu saya menelpon orang tua di kampung untuk bertanya kabar dan aktifitas pribadi. Pembicaraan kami akhirnya bermuara pada masalah pemadaman listrik secara bergilir. Ayah mengaku sangat kecewa karena PLN tidak pernah memberikan garansi maupun dispensasi kepada masyarakat, kendati listrik hidup-mati.

Persoalan pemadaman listrik bukanlah hal baru di Aceh. Masalah ini terjadi setiap tahun, bahkan di bulan suci Ramadhan. Namun tidak banyak stakeholder yang mempelajari masalah ini secara universal. Padahal sudah sejak April 2016, Rektor Unsyiah, Prof Samsul Rizal bicara blak-blakan perihal carut-marut pelayanan listrik di Aceh. Secara tegas, Samsul Rizal menyorot realisasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya yang dinilai dibangun secara politis, bukan teknis. Akibatnya sejak diresmikan pada 2013, PLTU Nagan tak pernah absen dari masalah. Saya menyimpulkan PLTU tersebut sebagai warisan yang sarat masalah. Terimakasih pemerintah dan pemain proyek. Warisannya luar biasa.

Dari beberapa informasi yang saya akses, pada dasarnya Aceh memang dikategorikan sebagai daerah merah dalam hal penyediaan listrik. Bahkan di akhir tahun 2000-an, Aceh masih kategori isolated (mengasingkan). Lambannya upaya penyediaan pembangkit listrik di Aceh dari era orde baru sampai reformasi selalu berkutat pada alasan minimnya perhatian dan keinginan pemerintah pusat, sengketa tanah, hingga ancaman keamanan. Selama ini, Aceh belum memiliki pembangkit listrik mandiri dengan ketersediaan kapasitas yang memadai. Karenanya selama puluhan tahun, Aceh masih bergantung pada trasmisi listrik Sumut-Aceh yang kalau tidak salah baru dibangun pada 1995.

Baru di era Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Program pembangkit listrik lebih serius dikerjakan. Salah satunya PLTU Nagan Raya yang digagas sekitar Tahun 2004. Lalu tiga tahun kemudian, atau pada 2007 ground breaking dilakukan dan diresmikan pada 2013. Selanjutnya, PLTU Nagan selalu bermasalah. Padahal program PLTU Nagan Raya diharapkan bisa memacu pengembangan persediaan listrik di Aceh. PLTU disiapkan untuk memenuhi target produksi listrik sebesar 2×110 Megawatt, dari total perkiraan kebutuhan listrik di Aceh sebesar 400 Megawatt lebih. Lain target, lain lapangan. Dari seorang teman, kabarnya produksi maksimal PLTU Nagan hanya 2×70 Megawatt. Tidak bisa dipaksakan karena alasan kualitas peralatan.

Bila merujuk alasan teknis yang disampaikan Samsul Rizal, persoalan PLTU cukup kompleks. Mulai dari kualitas generator, boyler, hingga material logamnya tidak tahan panas. Bahkan Samsul secara terbuka mengecam pelaksana kontruksi dan penyedia fasilitas PLTU yang bekerja asal jadi dengan mengimpor produk buatan China, yang kualitasnya tidak terjamin.

Apa hubunganya dengan PLTU? Disaat Gardu Induk (GI) di Binjai mengalami kerusakan akibat peningkatan kapasitas saluran listrik dari Sumut ke Aceh dari 240 Megawatt menjadi 480 Megawatt, PLTMG Arun berkapasitas 184 Megawatt yang sudah beroperasi sejak 2015 juga sedang melalui proses pemeliharaan. PLN tidak memiliki alternatif pembangkit listrik yang seharusnya dilakukan oleh PLTU Nagan. Wajar saja kemudian, PLN terpaksa melakukan pemadaman bergilir kendati masih disupport oleh beberapa PLTD seperti Lhueng Bata, dan beberapa PLTD sewaan lainnya. Andai saja PLTU tak bermasalah, pemadaman listrik tidak akan dilakukan separah ini.

Sejauh ini, saya melihat solusi pemadaman listrik untuk jangka pendek belum terjawab kendati pihak PLN berupaya memberikan klarifikasi. Pun kemudian perbaikan PLTU Nagan terus dilakukan secara simultan, saya masih pesimis. Karena pondasinya memang rapuh. Justru dikhawatirkan akan merugikan negara secara simultan. Sementara PLTA Peusangan sendiri dengan kapasitas 88 Megawatt merupakan jawaban solusi jangka panjang atas ketidakpastian PLTU Nagan. Hanya saja, PLTA Peusangan diperkirakan baru beroperasi pada 2019. Saya berharap proses pemeliharaan PLTMG Arun dan penyesuain trasmisi listrik di Sumut bisa diselesaikan dengan baik dan segera agar dapat meminimalir pemadaman.

Audit PLTU Nagan
Kembali ke persoalan PLTU Nagan yang dibangun dengan semangat politis, saya melihat asumsi pemufakatan jahat ini dilakukan secara sistemik mulai dari pejabat di Jakarta sampai ke Aceh. Masih merujuk pada penjelasan Samsul Rizal, biaya generator listrik dan beberapa peralatan serta perlengkapan lainnya yang diimpor dari China bernilai triliunan rupiah. Sulit sekali menolak logika koruptif dengan kenyataan PLTU tidak bisa bekerja optimal.

Anehnya, para pihak terkait di Aceh selama ini seperti tidak paham dengan penjelasan Samsul Rizal. Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf serta pihak DPR Aceh memang beberapa kali memanggil Managemen PLN untuk dimintai penjelasannya terkait pemadaman listrik yang terjadi setiap tahun. Namun itu saja tidak cukup tanpa mendalami masalah ini lebih jauh dan serius.

Yang bikin kecewa, mereka ikut-ikutan merengek-rengek di media sosial. Harusnya pelaksana pemerintah baik di eksekutif maupun legislatif bisa meminta pertanggungjawaban Pemerintah Pusat dan pelaksana kontruksi secara normative dan hukum. DPR Aceh sebagai representasi masyarakat juga bisa membuat panitia khusus untuk investigasi lebih dalam terhadap PLTU Nagan. Masalah ini tidak boleh berakhir di media sosial dan media massa. DPR Aceh wajib bergerak secara militan untuk mengungkap permainan korupsi yang jelas-jelas merenggut hak listrik warga Aceh.

Selain itu saya juga berharap para pegiat hukum dapat menggalang protes ke pengadilan dengan menggugat PLTU Nagan. Gerakan hukum ini akan memudahkan masyarakat untuk mengawal upaya pendalaman fakta terhadap pihak terkait bilamana unsur pemerintah masih pasif.

*Penulis merupakan Alumni Teknik Elektro Unsyiah

(Sumber : Ajnn.net)

Shares: