FeatureNews

Warga Pusong Belum Merdeka

Pusong berada di perbatasan Pidie dan Pidie Jaya. Pembangunan di desa ini terbilang jalan di tempat karena dua kabupaten bertetangga saling berharap.

GAMPONG ini berada di bibir pantai Selat Malaka. Namanya Pusong. Untuk menuju ke pemukiman itu, kita harus melalui Baroh Lancok. Kampung lainnya yang berada di Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Sementara Pusong berada di wilayah administratif Pidie.

Ruas jalan menuju Pusong belum sepenuhnya licin. Sepanjang tiga kilometer jalan menuju ke sana masih dipenuhi tanah berbatu. Jalan ini biasanya digunakan warga untuk mengakses kebun.

Jalan menuju ke Pusong juga terbilang sepi. Sepanjang 2 Kilometer tidak ada penghuni. Sementara sisanya hanya diapit oleh tambak-tambak milik warga.

Pusong merupakan desa perbatasan Pidie. Lokasinya cenderung dekat ke Pidie Jaya.

“Masyarakat Pusong yang mayoritas nelayan, hasil tangkapannya dijual ke Pasar Lueng Putu, Kecamatan Bandar Baru. Anak-anak kami sekolah juga di Bandar Baru, untuk berobat juga di Lueng Putu,” kata Ibrahim, salah seorang warga Pusong, Rabu, 12 September 2019 siang. Saat ditemui, pria berusia 48 tahun itu sedang duduk santai di atas balai berukuran 2X2 meter.

Kendati berada di bawah pemerintahan Pidie, tetapi masyarakat Pusong identik dengan kabupaten tetangga. Hampir seluruh aktivitas warganya berlangsung di Pidie Jaya. Seperti mencari rezeki dan juga menempuh pendidikan.

“Hanya untuk kebutuhan pengurusan KK, KTP, ke KUA atau proses administrasi lainnya, baru masyarakat pusong ke Pidie,” ungkap Ibrahim dengan pandangan mata jauh ke selatan.

Ibrahim yang berewokan itu merupakan penduduk asli Pusong. Dia lahir di desa tersebut dan mengakui belum ada satu pun jembatan yang dibangun untuk menyeberangi kuala. Padahal di seberang kuala itu terdapat Gampong Jeumuerang yang lokasinya berada dekat dengan pusat kecamatan Kembang Tanjong. Ibrahim kemudian menghela nafas panjang sembari memainkan sebatang rokok di tangannya.

Tak hanya jembatan, akses menuju Pusong juga masih terbilang jelek. Tidak ada jalan hitam sebagai penghubung desa yang dibangun pemerintah selama ini. Berada di perbatasan ternyata membuat pembangunan Pusong jalan di tempat.

Pria berperawakan tinggi tersebut kemudian menceritakan kondisi gampongnya yang tak kunjung mendapat perhatian dari Kabupaten Pidie. Hingga pada suatu waktu, mereka menuntut agar Pusong dilepas dan masuk ke dalam wilayah Pidie Jaya. “Namun permintaan kami ditolak, seraya (Bupati) Mirza Ismail mengatakan, apa yang dibutuhkan Pusong akan disediakan (seperti pembangunan) jembatan,” kenang Ibrahim.

Pembangunan itu memang sempat direalisasikan pasca 6 bulan tuntutan warga. Namun, jembatan yang diharapkan dapat menjadi akses warga itu roboh akibat gempa yang melanda Pidie Jaya pada 7 Desember 2016.

Jembatan itu kemudian dibangun kembali pada 2018 dengan sumber dana dari rehabilitasi dan rekonstruksi gempa Pijay senilai Rp30 miliar. Sayangnya hingga saat ini jembatan penghubung Pusong-Jeumeurang tersebut tak dapat dimanfaatkan. Selain belum ada oprit penahan timbunan, jalan menuju jembatan tersebut juga belum diaspal.

Ibrahim mengatakan masyarakat saat ini sangat memerlukan adanya pembangunan jalan menuju Pusong. Begitu pula dengan jembatan penghubung diharapkan dapat segera dimanfaatkan. “Pemerintah seakan-akan menganaktirikan kami, karena tidak ada tempat kami mengadu,” keluh Ibrahim.

Masyarakat Pusong sangat berharap pemerintah dapat membangun jalan aspal Pusong-Baroh. Apalagi jika musim penghujan, jalan tersebut akan sulit dilalui karena berlumpur. Belum lagi jika banjir datang, maka akses warga akan terputus total jika air belum surut. Hal inilah yang membuat masyarakat Pusong juga juga membutuhkan jembatan penghubung Pusong-Jeumeurang. “Kami hanya ingin bisa menikmati rasa kemerdekaan. Kami berharap jalan ini dibangun, apakah Pidie yang bangun atau Pidie Jaya. Itu harapan kami,” pungkas Ibrahim.* (C-005)

Shares: