HeadlineNews

Warga Gayo Tolak Tambang Emas di Linge

Aksi Gerakan Bela Linge di kantor Gubernur Aceh, Kamis, 5 September 2019 | Foto: Istimewa

BANDA ACEH (popularitas.com) – Massa yang tergabung dalam Gerakan Bela Linge (Gerbel) melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Aceh, Kamis, 5 September 2019. Dalam orasinya, massa mendesak Pemerintah Aceh agar tidak memberikan rekomendasi kelayakan lingkungan untuk PT Linge Mineral Resource (LMR) yang beroperasi di Aceh Tengah.

PT LMR merupakan jenis perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang pertambangan. Mereka beroperasi di Aceh Tengah dengan mengantongi nilai saham mencapai 80 persen. Perusahaan ini akan beroperasi di empat kampung, yaitu Linge, Penarun, Owaq dan Lumut. Kesemua kampung itu berada di Kecamatan Linge.

Dalam rilis yang disebarkan saat aksi di Kantor Gubernur Aceh, Kamis, 5 September 2019, Gerbel menyebutkan, pada 4 April 2019, PT LMR menerbitkan pengumuman rencana usaha dan kegiatan dalam rangka studi AMDAL. Dalam data tersebut disebutkan, PT LMR bergerak di bidang penambangan dan pengolahan bijih emas DMP (dan mineral pengikutnya) dengan luas area usaha mencapai 9.684 hektare. Selain itu, perusahaan ini juga menargetkan produksi maksimal mineral di Linge mencapai 800 ribu ton per tahun.

Rencana operasi inilah yang kemudian menggerakkan warga Gayo untuk melakukan aksi. Mereka meyakini hingga kini kawasan Linge merupakan asal mula peradaban masyarakat Gayo. Terlebih di kawasan tersebut juga terdapat makam Raja Linge dan berbagai artefak lainnya peninggalan kerajaan tertua di Aceh tersebut.

“Dengan hilangnya situs sejarah tersebut, maka akan mengakibatkan hilangnya pemahaman generasi-generasi selanjutnya tentang peradaban masyarakat Gayo,” bunyi rilis tersebut.

Warga Gayo mengkhawatirkan dengan dibukanya tambang PT LMR akan berdampak di bidang lingkungan. Dampak tersebut bahkan dapat dilihat dari keberadaan PT di atas kawasan hutan produksi dan area penggunaan lain. Disebutkan, pada area penggunaan lain, sistem pertambangan akan dilakukan dengan cara terbuka. Artinya, semua pohon dalam kawasan tersebut akan ditebang, dan tanah akan dilubangi dengan kedalaman yang tidak terbatas.

Sedangkan pada kawasan hutan produksi akan dilakukan dengan metode bawah tanah (under ground), “yang tidak akan ada satu orang pun dapat memastikan sejauh mana pertambangan tersebut akan menggali tanah Linge tersebut.”

Selain itu, hasil pertambangan akan diangkut oleh PT LMR tersebut bukan hanya emasnya saja, melainkan mineral-mineral pengikut lainnya seperti uranium, giok, tembaga, dan batuan mineral lainnya. Semua mineral ini terkandung di dalam kawasan pertambangan tersebut.

Aktivitas penambangan di kawasan Linge juga disebutkan berpengaruh pada atmosfer, yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Hal tersebut tentunya bakal berpengaruh pada prooduksi kopi warga Gayo yang selama ini menjadi andalan dan komoditas unggulan di Aceh.

Ditambah lagi, aktivitas penambangan juga akan mengganggu mata air karena hilangnya kawasan resapan air. Di musim kemarau lahan akan kering sementara di musim hujan bakal terjadi erosi. Tak hanya itu, penggalian tambang dengan metode terbuka juga akan membuat tanah berlubang dengan ukuran dua kali lebih luas dibanding Danau Lut Tawar. Jika aktivitas penambangan selesai, maka lubang ini bakal berubah menjadi Danau Lut Tawar baru. Belum lagi banyaknya areal pertambangan di Indonesia tidak pernah dilakukan reklamasi oleh pihak perusahaan.

Atas pertimbangan itulah Gerbel mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak menerbitkan izin lingkungan kepada PT LMR.

Senada dengan Gerbel, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, M Nur, mengatakan menolak tambang emas di Gayo. Penolakan ini dilakukan demi kepentingan lingkungan hidup, HAM dan sosial budaya.

Walhi Aceh kemudian mengutip data Planologi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh yang menyebutkan sebesar 7.678 dari total 9.684 hektare lahan produksi PT LMR berada di Hutan Produksi. Sementara sisanya berada di APL. “Lokasi izin PT LMR berada di dataran tinggi Gayo yang merupakan kawasan hulu dari sub daerah aliran sungai (DAS) Lumut, Linge, Owaq, dan Penarun. Tentunya kondisi ini cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat di Aceh Tengah dan Bener Meriah,” kata M Nur.

Selain itu, kata M Nur, aktivitas penambangan di Linge juga berdampak pada objek wisata Danau Lut Tawar yang merupakan bagian dari hulu DAS Peusangan. “Akan menjadi ancaman terhadap pemenuhan HAM untuk hidup sehat dan bersih dengan mendapatkan air yang berkualitas tanpa terkontaminasi oleh racun B3,” ungkap M Nur.

Walhi Aceh yakin dengan keberadaan penambangan emas di Linge tidak akan membuat masyarakat Gayo hidup sejahtera. Menurut M Nur, janji kesejahteraan melalui terbukanya lapangan kerja dengan adanya pertambangan tersebut juga dinilai pembohongan publik, karena masyarakat lokal akan menjadi buruh tambang.

“Pemerintah Aceh Tengah dan Pemerintah Aceh kita desak untuk tidak mengeluarkan rekomendasi kelayakan lingkungan dan tidak menerbitkan izin lingkungan kepada PT LMR. Jikapun dipaksakan untuk menerbitkan izin lingkungan, maka Walhi Aceh bersama masyarakat akan melakukan upaya hukum untuk membatalkan izin tersebut,” pungkas M Nur.* (BNA)

Shares: