News

WALHI Serahkan Kesimpulan Gugatan Terkait IPPKH PLTA Tampur 1

Ilustrasi PLTA Peusangan | Foto: Tribunnews.com

BANDA ACEH (popularitas.com) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menggugat Gubernur Aceh terkait surat keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dalam rangka pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I (443 MW) seluas ± 4.407 Ha. Pembangunan PLTA Tampur tersebut dikerjakan rekanan atas nama PT Kamirzu dan berlokasi di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Timur, tertanggal 09 Juni 2017.

“Penyerahan kesimpulan terkait dengan fakta-fakta persidangan, baik keterangan saksi ahli maupun bukti surat yang sudah diajukan oleh WALHI Aceh. Kebijakan Gubernur Aceh mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan merupakan tindakan melampaui kewenangan,” ujar Kadi Advokasi WALHI Aceh, M. Nasir, Rabu, 14 Agustus 2019.

Dia mengatakan pemberian izin dalam kawasan hutan seluas 4.407 Ha tersebut merupakan kewenangan menteri, sehingga gubernur tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin pinjam pakai kawasan kepada PT Kamirzu. Menurutnya pemberian izin tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penggunaan kawasan hutan.

M Nasir kemudian mengutip Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor P.50/Menlhk/Sekjen/kum.1/6/2016 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan, kewenangan pemberian izin pinjam pakai hutan. Pada pasal 8 ayat (1) disebutkan pinjam pakai kawasan hutan diberikan oleh Menteri, dan ayat (2) menyebutkan kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kepada gubernur, dengan kegiatan untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifaf non komersial.

Menurutnya pemberian izin ini tidak hanya bertentangan dengan peraturan menteri saja, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Selain itu, kata M Nasir, izin yang dikeluarkan tersebut juga bertentangan dengan Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, karena masuk dalam kawasan budidaya dan rawan bencana alam, serta zona patahan aktif.  “Sehingga akan berdampak negatif terhadap kelangsungan lingkungan hidup,” katanya.

“Artinya pemerintah Aceh mengeluarkan izin tidak memperhatikan dampak buruk terhadap masyarakat yang ada di lokasi pembangunan tersebut karena pembangunan PLTA Tampur 1 mencakup tiga Kabupaten, dan ketinggian bendung 197 Meter, sehingga bangunan bendungan yang begitu tinggi menjadi ancaman karena berada dalam patahan aktif,” ujarnya lagi.

WALHI Aceh juga menilai PT Kamirzu belum menjalankan kewajibannya hingga sekarang sebagaimana dimaksudkan dalam diktum kelima keputusan Gubernur Aceh tentang pinjam pakai kawasan hutan.

WALHI Aceh dalam mengajukan gugatan terhadap keputusan Gubernur Aceh menggunakan delapan pengacara yaitu, Muhammad Reza Maulana, SH, Kamaruddin, SH, Khairil, S.H, Jehalim Bangun, SH, MH M. Fahmi, SH, Nurul Ikhsan, SH, Ronal M. Siahaan, SH,  dan Zulkifli, S.H. “Sidang selanjutnya pada tanggal 28 Agustus 2019 dengan agenda Putusan,” pungkasnya.* (RIL)

Shares: