News

WALHI Aceh: Konflik Satwa Gajah Bukti Kerusakan Hutan di Aceh Utara

Sebelum Ollo Mati, Gajah Jinak Tampak Sehat di CRU Sampoiniet
Ilustrasi gajah

BANDA ACEH (popularitas.com) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai, konflik satwa gajah dengan manusia yang terjadi di Gampong Pase Sentosa, Kecamatan Simpang Keramat, Kabupaten Aceh Utara sebagai bukti laju kerusakan hutan yang cukup masif.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Muhammad Nur mengatakan, konflik satwa dilindungi ini dengan warga akibat kebijakan pemerintah dan pembiaran praktek illegal logging.

“Hingga saat ini belum ada penanganan dari pihak BKSDA untuk melakukan penghalauan kawanan gajah tersebut ke kawasan hutan, sikap ini menunjukan ketidak mampuan Negara mengatasi masalah,” kata Muhammad Nur dalam siaran pers, Rabu (1/7/2020).

Menurutnya, kebijakan yang diambil justru mempermudah izin yang dibantu oleh lembaga teknis kepada pengusaha atas nama investasi akan menimbulkan masalah baru. Sayangnya ketika konflik terjadi warga selalu menjadi korban.

Data yang diperoleh WALHI Aceh, serangan gajah liar di kawasan Gampong Pase Sentosa telah merusak 70 hektar lahan perkebunan milik warga yang di dalamnya sudah ditanami pinang, sawit, kakao, pisang dan palawija.

Kendati hingga saat ini belum ditemukan adanya korban jiwa dalam serangan gajah liar tersebut. Namun kawanan gajar liar yang berjumlah sekitar 20 ekor tersebut masih berada di kawasan perkebunan dan meresahkan warga.

“Para petani telah melakukan upaya dengan membentuk tim antar petani untuk menghalau gajah liar dengan menggunakan mercon yang difasilitasi oleh BKSDA Aceh konservasi Wilayah I Lhokseumawe, akan tetapi upaya tersebut masih belum membuahkan hasil dan gajah belum bisa digiring kedalam hutan,” tukasnya.

Pola penghalauan menggunakan mercon secara tiba-tiba, sebutnya,  seperti itu bisa saja membuat gajah mengalami stress hebat dalam waktu jangka panjang. Gajah sebagai satwa lindung ini akan punah jika terus berkonflik dengan manusia.

“Ini disebabkan oleh perilaku pemerintah tidak memperhatikan kekayaan flora fauna dan species kunci lainnya dalam setiap pemberian ruang untuk berbagai rencana pembangunan,” jelasnya.

Kata Muhammad Nur, keberadaan HTI di Aceh Utara seperti PT RPPI menguasai 10.300 ha, dan PT Mandum Payah Tamita (MPT) 8.015 ha, Proyek Energi, Pertambangan mineral bukan logam dan batuan seluas 28,1 ha, Perkebunan dengan luas 25.815 ha yang dikuasai oleh 20 HGU, pembangunan waduk Keureuto menghabiskan ruang 9.420 ha, dan praktek illegal logging di hutan telah merusak sumber sumber kehidupan bagi satwa lindung. Ini juga  membuktikan pemerintah gagal melindungi manusia maupun satwa yang bernama gajah atas nama investasi di dalam kawasan hutan.

Muhammad Nur meminta pemerintah tidak hanya cerdas mengeluarkan kebijakan seperti UU Minerba No 3 tahun 2020, dan RUU Cipta Lapangan Kerja yang terus dibahas sampai kini. Tetapi harus bijak mengeluarkan kebijakan yang menjawab masalah lingkungan hidup, sosial dan HAM atas nama investasi.

Artinya investasi yang harus dikejar yang diluar kawasan hutan, jangan maksa diri untuk melakukan dalam kawasan hutan. Masih banyak potensi yang belum digarap baik di tempat lain. Seperti di laut maupun di darat masih banyak,” jelasnya.

Menurut Muhammad Nur, jika Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota belum mampu bantu rakyat secara menyeluruh untuk kesejahteraan. Jangan mengeluarkan kebijakan yang justru mengubah hutan secara massif yang pada akhirnya rakyat juga menanggung beban dalam waktu jangan panjang.

“Salah satunya konflik satwa manusia dan bencana ekologis lainnya,” tutupnya.[acl]

Shares: