News

Tuntaskan Perkara Bendera Aceh Tahun Ini

BANDA ACEH (popularitas.com) – Persoalan Bendera Aceh menjadi salah satu polemik yang tidak tuntas hingga hari ini, sejak Qanun Bendera Aceh disetujui oleh DPRA pada tahun 2013 silam. Akhir-akhir ini, muncul isu Keputusan Mendagri Nomor 188.34-4791 Tahun 2016 tentang pembatalan beberapa ketentuan dalam qanun bendera tersebut yang keluar tahun 2016 dan booming di tahun 2019.

“Tentu hal ini menjadi suatu yang menjadi tanya tanya dalam masyarakat,” ujar Koordinator Gerakan Muda Peduli Aceh (GeMPA), Muhammad Rizal seperti rilis yang diterima popularitas.com, Rabu, 7 Agustus 2019.

GeMPA menilai persoalan Bendera Aceh sudah sangat berlarut tanpa ada kepastian, sehingga masyarakat  sangat jenuh akan hal ini. Apalagi menurutnya persoalan bendera hanya digaungkan ketika tahun politik untuk komoditi politik belaka kemudian didiamkan.

“Mirisnya, setiap ada momen politik, isu bendera ini kembali menjadi isu yang digoreng oleh elit-elit politik tertentu, padahal telah dua kali dewan dan gubernur berganti hal tersebut tak kunjung tuntas. Sehingga publik menilai legislatif dan eksekutif Aceh hanya berani memprovokasi masyarakat terkait bendera, seakan-akan qanun tersebut sudah bisa dijalankan. Padahal nyatanya, di kompleks dan kantor DPRA, di gedung-gedung pemerintahan, bahkan di tempat yang sudah didirikan juga tak berani dikibarkan oleh pihak pemerintah. Lalu, persoalan itu ternyata belakangan ini disebut-sebut sedang coolling down oleh DPRA, padahal setiap momen politik isu itu seakan begitu manis didengungkan, ini kan aneh,” kata Muhammad Rizal.

Belakangan, kata Rizal, ibarat cacing kepanasan, DPRA kembali bereaksi pasca beredarnya SK Mendagri Nomor 188.34-4791 tentang Pembatalan Beberapa Ketentuan dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013. “Suratnya tahun 2016, ributnya tahun 2019. Artinya ada 3 tahun waktu yang dibuang sia-sia oleh eksekutif dan legislatif Aceh. Mungkin waktu itu (2016) lagi sibuk sama politik menjelang pilkada, 2017 pelaksanaan pilkada, 2018 menjelang persiapan pemilu dan 2019 sudah pemilu. Jadi, wajar saja jika persoalan bendera yang jadi komoditas politik semata dilupakan dengan dalih coolling down,” katanya.

GeMPA menilai selama ini Pusat tidak melarang Aceh untuk memiliki bendera dan lambang karena telah termaktub dalam Pasal 246 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal tersebut dicantumkan, bahwa selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.

Kemudian, lanjut Rizal, seharusnya Wali Nanggroe turun tangan untuk mengambil sikap untuk menyelesaikan persoalan ini apalagi hal ini menyangkut dengan MoU Helsinki butir 1.1.5. tentang Simbol Wilayah Bendera, Lambang dan Himne.

“Pusat harus berikhlas hati menyelesaikan polemik bendera, DPRA dan Gubernur Aceh turut aktif bukan hanya diam setelah diputuskan (dibatalkan). Tawarkan kepada rakyat Aceh untuk menentukan simbolnya karena Aceh memiliki beragam bendera,” imbuhnya.

Anehnya lagi, sebut Rizal, SK Mendagri hanya memutuskan pembatalan beberapa ketentuan yang dinilai bertentangan aturan di atasnya, bukan keseluruhan qanun. “Tapi isu yang didengung-dengungkan seakan-akan keseluruhan dari Qanun Nomor 3 Tahun 2013 itu telah dibatalkan, padahal cuma beberapa ketentuan. Ini kan dua hal yang beda,” bebernya.

Pihaknya berharap tahun ini persoalan bendera sudah bisa dikelarkan sebelum terkesan harapan palsu bagi masyarakat yang didengungkan para elit. “Sudah saatnya dicari jalan tengah agar persoalan bendera tuntas tahun ini juga. Kita harap Plt Gubernur dan DPRA serius,” katanya.

Menurutnya, jika persoalan bendera ini dapat tuntas, maka pemerintah dapat fokus ke persoalan lain. Dia mencontohkan, persoalan pembangunan dan kesejahteraan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat. “Jadi, jangan berbelit-belit dengan persoalan bendera berkepanjangan, kasihan rakyat,” pungkasnya.*(RIL)

Shares: