HukumNews

Tersangka Lagi, Setya Novanto Digoyang Lagi

JAKARTA – Para elite Partai Golkar mulai gerah dengan kasus yang menjerat Setya Novanto. Status tersangka di korupsi e-KTP yang mendera Novanto diyakini bisa membuat elektabilitas Partai Golkar makin merosot.

KPK sudah dua kali menetapkan Novanto tersangka. Namun status pertama kali telah dibatalkan oleh hakim praperadilan pada akhir September lalu. Selang dua bulan, KPK kembali menetapkan Novanto tersangka dalam kasus yang sama.

Posisi Novanto sebagai ketua umum Golkar pun kembali digoyang. Adalah senior Golkar Akbar Tanjung yang pertama kali mengungkapkan keresahannya. Akbar takut, hanya karena Novanto, partai Golkar gagal di Pemilu 2019 mendatang.

Elektabilitas Golkar kian merosot menjadi dasar kekhawatiran Akbar. Bukan tidak mungkin, Golkar tidak lolos parlemen.

“Kalau tren penurunan itu terus 6 persen, 5 persen, bahkan kemudian bisa di bawah 4 persen. Kalau dia di bawah 4 persen, boleh dikatakan, ya dalam bahasa saya, bisa terjadi kiamat di partai Golkar ini,” kata Akbar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).

Untuk memulihkan citra yang semakin merosot, Akbar berharap Golkar melakukan pembenahan. Dengan begitu, publik bisa mengubah cara pandangnya terhadap partai berlambang pohon beringin ini.

“Perubahan itu artinya bisa macam macam, salah satunya bisa itu (Novanto diganti). Tapi saya tidak mengatakan eksplisit itu. Perubahan bisa berbagai arah,” ucap Akbar.

Tak cuma Akbar, bahkan senior Partai Golkar Fadel Muhammad juga ikut angkat bicara. Dia malah akan menemui mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla untuk membahas penetapan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP. Sayang, Fadel enggan membocorkan waktu dan tempat pertemuan.

“Saya mau ketemu Pak Jusuf Kalla dulu. Agenda ini (bahas Setnov),” kata Fadel di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2017).

Fadel mengklaim mendapat informasi soal elektabilitas partai berlambang pohon beringin merosot usai Setnov kembali dijerat status tersangka. Namun, sebagai senior, dia menyarankan kader tidak membuat goncangan di internal partai.

“Turun. Tetapi kita tidak boleh membuat kegoncangannya lebih parah,” imbuhnya.

Pihaknya menyerahkan proses hukum Setnov kepada KPK sebelum mengambil langkah selanjutnya. Soal wacana pergantian Ketum Partai Golkar, Fadel menyatakan telah berkomunikasi dengan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie.

“Golkar menyerahkan ke proses ini ke hukum. Saya ini kan sudah senior-senior. Kita serahkan ‎proses hukumnya. Dari sana baru kita lihat langkah apa yang diambil. Karena kita enggak bisa intervensi,” tegasnya.

Wapres JK sudah beberapa hari ini berkomentar keras tentang Novanto. Bahkan, dia terlihat geram dengan manuver Novanto mencari cara agar terbebas dari jeratan KPK. Salah satunya dengan mengajukan judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Itu ya namanya usaha. Banyak orang berusaha untuk bebas dengan cara bermacam-macam,” ungkapnya di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (14/11).

Meski demikian, JK tak menyoal sikap Setnov menguji materi UU KPK. Selama aturan membolehkan setiap warga negara mengajukan uji materi UU ke MK, maka dipersilakan.

“Ya selama itu hukum membolehkan ya kita tidak melarangnya. Jadi semua orang yang mempunyai legal standing boleh mengajukan ke MK. Kalau tidak setuju, merasa dirugikan oleh UU yang ada,” ujarnya.

Kegerahan elite Golkar juga terjadi sampai ke tingkat provinsi. Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi bahkan mengungkapkan, dalam satu bulan, elektabilitas partainya di Jawa Barat turun mencapai enam persen.

Berdasarkan data yang diungkap Dedi, Partai Golkar di Jawa Barat pada bulan oktober lalu memiliki elektabilitas sebesar 18 persen. Jumlah tersebut menurun drastis ke angka 12 persen di awal November ini.

“Dalam satu bulan kita kehilangan 6 persen. Ini harus ada tindakan agar kita segera mengambil langkah antisipasi. Jawa Barat ini lumbung suara Golkar di tingkat nasional,” ucap Dedi Mulyadi.

Sementara itu, CEO PolMark Eep Saefullah Fatah mengungkap faktor di balik turunnya elektabilitas Golkar di Jawa Barat. Salah satunya, keputusan Golkar usung Ridwan Kamil di Jabar, bukan Dedi Mulyadi. Eep mengatakan, seharusnya keputusan elite partai berlambang pohon beringin tersebut linier dengan keinginan kader Golkar Jawa Barat.

“Jangan sampai sepucuk surat yang ditandatangani oleh elit di Jakarta berakibat kontraproduktif terhadap kemajuan partai,” ucapnya saat bertindak sebagai pembicara kunci dalam diskusi tersebut.

Sementara, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham mengatakan, Akbar Tandjung belum mendapat informasi soal hasil survei terbaru terkait opini publik terhadap partainya pasca Setya Novanto ditetapkan tersangka korupsi e-KTP. Idrus mengklaim hasil survei terbaru justru menyebut opini publik terhadap Partai Golkar mengalami kenaikan.

“Mungkin Pak Akbar belum dapat informasi hasil survei yang dilaksanakan dan belum dirilis. Pada saat akhir bulan ini tadinya Golkar sekitar 11 turun 10. Ternyata hasil survei itu naik, 13,8 bulatkan katakanlah 14,” kata Idrus di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2017).

Tren kenaikan tersebut, kata Idrus, bisa diartikan dukungan politik masyarakat kepada partai cukup cair. Selain itu, dia menyebut kenaikan itu dikarenakan masyarakat telah mengetahui perkara yang menjerat Setnov.

Namun, Idrus tak mempermasalahkan pernyataan Akbar. Menurutnya, pernyataan Akbar hanya bentuk kekhawatiran kepada partai meski tanpa data yang akurat.

“Bilamana ada pernyataan Pak Akbar seperti itu ya sah sah-saja. Tapi kekhawatiran itu tidak sesuai dengan fakta yang ada, buktinya hasil survei justru naik. Ini bukan internal tapi LSI, nanti dirilis,” klaimnya. [acl]

Sumber : Merdeka.com

Shares: