Opini

Tak Perlu Alergi, Referendum Diatur Konstitusi

REFERENDUM adalah hal yang wajar dan dibenarkan secara konstitusi, bahkan tak ada larangan dalam UUPA dan undang-undang lainnya di Indonesia. Dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia. Sementara referendum itu adalah jajak pendapat yang berasal dari bahasa latin, dengan pengertiannya yaitu suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang memengaruhi suatu negara secara keseluruhan. Misalnya adopsi atau amandemen konstitusi atau undang-undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara.

Pada umumnya terdapat dua jenis referendum, yaitu referendum legislatif dan referendum semesta.

Referendum legislatif dilakukan apabila suatu adopsi atau perubahan/pembaharuan konstitusi atau undang-undang mewajibkan adanya persetujuan rakyat seluruhnya. Sedangkan referendum semesta adalah sebuah aksi referendum yang diselenggarakan berdasarkan kemauan rakyat, yang didahului oleh sebuah aksi demonstrasi atau petisi yang berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas. Yang ingin dilakukan di Aceh itu referendum seperti apa, ya tinggal disesuaikan keinginannya seperti apa.

Terkait referendum ini sendiri sebenarnya tak ada larangan secara konstitusi. Toh dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang referendum sudah diatur sedemikian rupa. Jadi, wacana yang dilemparkan Mualem itu wacana konstitusional dan dibenarkan secara undang-undang RI sendiri. Referendum itu bagian proses demokrasi yang dibenarkan secara konstitusi di negeri ini.

Pada 2014 silam kita dari kalangan muda dan mahasiswa juga pernah menyampaikan usulan yang sama, yakni referendum. Kala itu, kita meminta legislatif Aceh melakukan referendum terkait 3 aturan turunan UUPA yang hingga Oktober 2014 belum juga diterbitkan. Saat itu kita menyampaikan jika pada Februari 2015, tiga aturan turunan UUPA itu tak diselesaikan, maka mesti digalang referendum. Kala itu kita sempat ingin tawarkan minimal dilakukan referendum legislatif. Namun, pada 31 Januari 2015 pemerintah pusat telah menyelesaikan 3 turunan UUPA berupa 2 Peraturan Pusat (PP) dan 1(satu) Perpres. Jadi, tawaran referendumnya tak perlu lagi karena tuntutannya terjawab.

Pada tahun 2017 Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) juga pernah menawarkan wacana referendum di depan sidang MK. Jadi, referendum itu hal yang wajar di alam demokrasi ini.

Terkait adanya pihak yang melaporkan Mualem (Muzakir Manaf) karena melemparkan wacana referendum itu dinilai sebagai respon yang berlebihan akibat kepanikan. Jadi wacana yang diutarakan Mualem itu kan dibenarkan secara undang-undang, jadi kenapa harus ada pihak yang panik dan main lapor sana sini. Wacana yang disampaikan itu kan wacana demokratis, kenapa harus risih.

Kalau memang diperlukan, ya lakukan saja. Lagipula kita belum tahu hasilnya seperti apa, referendum yang diwacanakan itu referendum semesta atau referendum legislatif. Saya menilai tak perlu risih berlebihan jika konstitusi di Indonesia membenarkan jejak pendapat itu dilakukan sebagai bentuk upaya demokrasi. Saya juga merasa tak perlu alergi dengan wacana itu.

Biasanya isu-isu yang kental seperti ini akan diiringi dengan propaganda memecah belah Aceh, misalkan munculnya isu pemekaran wilayah dan seterusnya. Harapan kita, masyarakat Aceh tetap kompak dan tak terpecah belah. Sementara masalah adanya perbedaan pendapat nanti tinggal disampaikan aspirasi dan pilihannya ketika jejak pendapat (referendum) dilakukan.

Jika benar upaya referendum itu dilakukan, maka hal itu bisa didaftarkan segera ke Mendagri sehingga upaya itu dapat dilakukan secara demokratis dan konstitusional. Jika dipertanyakan masalah itu datangnya dari Mualem dan atas dasar apa, tentu yang bersangkutan memiliki dalil kuat. Tinggal saja Mualem dan tokoh-tokoh Aceh yang mendukung upaya itu mendaftarkannya sesuai mekanisme dan aturannya.

Munculnya wacana menggelar referendum saya rasa juga tidak berkaitan dengan Pilpres. Apalagi Aceh justru menjadi salah satu daerah yang paling kondusif di Indonesia. Jadi saya rasa tidak perlulah dikembangkan kemana-mana. Anggap saja itu jalan tengah yang ditawarkan untuk solusi atas kondisi. Tinggal wacana itu direspon, karena pasti ada yang dirindukan, apa yang dirindukan oleh masyarakat Aceh, ya tentunya masyarakat Aceh sendiri yang lebih paham.

Pihak di luar Aceh juga tidak perlu melangkah terlalu jauh, apalagi sampai melaporkan Mualem. Saya kira upaya-upaya seperti itu justru semakin memperkeruh suasana alam demokrasi. Wacana yang dilemparkan oleh Mualem itu harus kita hargai. Ini ide cerdas yang dilemparkan Mualem untuk membuka ruang demokrasi di bumi Aceh.*

Penulis adalah Delky Nofrizal Qutni, mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa Pemuda Aceh (FPMPA), dan pemerhati isu sosial politik di Aceh.

Catatan: Isi opini menjadi tanggung jawab penuh dari penulis. Redaksi tidak bertanggung jawab atas semua pendapat yang disampaikan terlebih jika mengandung unsur SARA.

Shares: