News

Surat harapan korban pelanggaran HAM di momentum 17 tahun perdamaian Aceh

Ilustrasi, pengunjung membaca "Surat Harapan" korban pelanggaran HAM di momentum 17 tahun perdamaian Aceh di KontraS Aceh, Banda Aceh, Sabtu (13/8/2022). Foto: KontraS

POPULARITAS.COM – Sejumlah lembaga masyarakat sipil dan lintas perkumpulan anak muda di Aceh menggelar peringatan hari perdamaian Aceh, yang jatuh saban tahunnya di tanggal 15 Agustus, atau sekaligus memperingati penandatanganan perjanjian damai MoU Helsinki pada tahun 2005 silam.

Mereka yang terlibat yakni Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), KontraS Aceh, Katahati Institute, Asia Justice And Rights (AJAR) dan Kerajaan Parfum Aceh.

Selain pembacaan ‘Surat Harapan’ yang telah ditulis sejumlah penyintas konflik Aceh, acara ini turut menyuguhkan diskusi publik dengan pembicara dari tokoh perempuan Khairani Arifin, Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra.

Kemudian, perwakilan komunitas korban dari Nagan Raya Syarifah, serta seniman muda Arifa Safura. Tak hanya itu, juga ada pembacaan puisi oleh Vandols dan penampilan musik oleh DJ Rencong.

Kegiatan tersebut berlangsung di KontraS Aceh, Kota Banda Aceh, Sabtu (13/8/2022). Inisiatif merayakan perdamaian Aceh tahun ini terinspirasi dari pembacaan Dokumen Rencana Pembangunan Aceh yang berisi 14 isu, salah satunya Perdamaian Berkelanjutan.

Namun isinya berisi intervensi ekonomi terhadap tapol-napol dan korban konflik tanpa definisi yang jelas mengenai siapa korban konflik yang dimaksud dalam dokumen tersebut. Ini tentu saja ironis.

Lebih lanjut, berdasarkan data yang diekspose Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, terdapat 5.264 pernyataan korban yang telah diambil sebagai bagian dari upaya pengungkapan kebenaran. Tentu saja belum semua korban masuk dalam database. Selain itu, ada banyak sekali permasalahan pasca perdamaian yang harusnya dicicil untuk diselesaikan.

Dokumen panduan perencanaan tersebut perlu dikoreksi dan dipertajam. Salah satunya dengan menghelat kegiatan ini, yang memadukan aspirasi lewat surat-surat yang ditulis korban pelanggaran HAM terkait harapan mereka, sekaligus ungkapan kekecewaan dan kritik atas dokumen RPA yang tidak berperspektif korban.

Kekecewaan serupa juga disampaikan lewat serangkaian karya seniman muda Aceh. Melalui penulisan surat, kolaborasi dengan seniman, akademisi dan organisasi masyarakat sipil lainnya, peringatan 17 tahun perdamaian Aceh ingin menegaskan betapa penting dan mendesaknya agenda pemenuhan hak korban konflik.

Akademisi sekaligus aktivis perempuan Aceh, Khairani Arifin menyayangkan dokumen RPA yang terkesan timpang antara hasil pengamatan pemerintah dan solusi yang ditawarkannya.

Menurut Khairani, RPA 2022-2026 terlihat mampu memotret masalah, yang di dalamnya memuat temuan bahwa banyak sekali bantuan untuk korban konflik yang parsial dan belum komrehensif dan parsial.

Ada dua program yang direncanakan pemerintah soal isu ini, yakni mitigasi terhadap potensi konflik di masa depan, serta penguatan kelembagaan yang concern terhadap upaya pemenuhan hak korban konflik dan tapol-napol.

“Namun justru anehnya saat menentukan arah kebijakan,” kata dia. Salah satu yang dipersoalkannya yakni penguatan kelembagaan korban konflik, yang hanya berkutat pada penguatan Lembaga Wali Nanggroe.

“Kita pasti sangat kecewa dengan ini. Kenapa diarahkan pada lembaga yang tak terlalu signifikan perannya bagi korban, karena itu kita menilai rencana kegiatan itu sama sekali tidak punya sensitifitas terhadap kondisi riil korban saat ini,” ujar Khairani.

Di sisi lain, Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra menyoroti rencana pemerintah pusat melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) tentang program aksi pemulihan korban dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh.

Agenda pemulihan korban ini menjadi bagian dari penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme non-yudisial, alias di luar proses hukum.

Pada prinsipnya, langkah-langkah pemerintah mengenai reparasi korban atas peristiwa kekerasan yang dialaminya di masa lalu, merupakan hal penting dan perlu segera direalisasikan.

Namun, program ini patut juga ditelisik lebih jauh. Aspek pemulihan korban tentunya merupakan tahapan lanjut dari serangkaian aspek-aspek lain yang saling mengikat dan tak bisa dikesampingkan satu sama lain.

Salah satu yang terpenting yakni ‘pengungkapan kebenaran’ bagi para korban sebagai satu tahapan awal untuk menguak secara utuh kekerasan semasa konflik yang dialaminya, meliputi jenis kekerasan, terduga pelaku, pola dan motif kekerasan tersebut hingga dampak yang dialaminya, baik dari sisi sosial, ekonomi dan psikologis korban.

“Tanpa pengungkapan kebenaran, agenda pemulihan korban itu tampak hanya jadi ajang ‘cuci tangan’ negara mengenai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu di Aceh,” ujar Hendra Saputra.

Sementara Syarifah, salah seorang korban konflik Aceh dalam kesempatan itu meminta tanggung jawab pemerintah yang menurutnya telah abai terhadap hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu.

“Badan Reintegrasi Aceh/BRA, KKR Aceh, bahkan juga politisi partai lokal yang kini telah berkiprah besar di Aceh, seharusnya tetap membantu menyuarakan hak-hak korban. Partai lokal merupakan buah dari konflik, jadi jangan lupakan kami-kami yang korban ini,” pintanya.

Peran Generasi Muda

Sebagai strategi mencegah berulangnya konflik, pelibatan orang muda dalam kampanye perdamaian Aceh berarti menambah katalisator perdamaian Aceh. Dalam sebuah rapid assessment yang dilakukan KontraS Aceh ditemukan, bahwa orang muda di Aceh hari ini semakin berjarak dengan kisah-kisah pelanggaran HAM masa lalu.

“Sehingga penting sekali membuat banyak kegiatan yang melibatkan orang muda secara partisipatif. Sebagaimana kegiatan Letter of Hope ini,” ujar Ketua Divisi Kampanye dan Advokasi KontraS Aceh, Azharul Husna.

Acara ini untuk pertama kalinya mengusung konsep kontribusi, salah satunya dengan cara penjualan kaos yang didesain oleh para seniman secara sukarela, yang seluruh keuntungannya diberikan kepada kelompok dampingan korban KontraS Aceh dalam bentuk paket.

“Kami percaya hanya dengan Droe keu Droe alias dari kita untuk kita. Kekuatan untuk membuat perubahan paling besar ada dikita maka saling memberdayakan adalah kunci. Karena itu paket untuk korban dampingan tersebut dibeli dan merupakan hasil usaha penyintas (seperti kuliner emping yang merupakan hasil usaha korban tragedi Rumoh Geudong, kerupuk buah dari usaha keluarga korban orang hilang dan gula aren dari Samarkilang) lalu diberikan kembali pada korban adalah bentuk keberpihakan kita, terhadap tumbuh kembang serta keberlangsungan usaha korban,” pungkasnya.

Semangat generasi muda di Aceh juga penting didukung. Meski berjarak dari konflik masa lalu, generasi muda saat ini bisa memanfaatkan kreatifitasnya untuk kembali mengarusutamakan narasi pemulihan korban konflik di Aceh.

Editor: Muhammad Fadhil

Shares: