EditorialNews

Surat “Gurdacil” Darni Daud

SURAT Darni Daud, eks Rektor Unsyiah tertanggal 9 September 2017 kepada Presiden RI Joko Widodo, seakan telah membuka kembali lembaran lama raibnya dana Guru Daerah Terpencil (Gurdacil) dan Jalur Pengembanag Daerah (JPD) Unsyiah tahun 2009-2010.

Satu sisi surat Darni Daud ini patut diapresiasi demi keadilan.  Sebab anggaran untuk dua program itu mencapai Rp 3,6 miliar dengan kerugian negara sesuai audit BPKP Perwakilan Aceh Rp 1,7 miliar. Bukankah uang sebanyak itu terbilang banyak?.  Isi suratnya juga sebatas untuk memohon keadilan hukum kepada orang nomor satu di Indoensia.

Apalagi jauh sebelumnya Darni Daud juga sudah beberapa kali menyampaikan di media massa bahwa pada dana Gurdacil dan JPD Unsyaih ini ada pihak lain yang lebih bertanggung jawab.  Ada cek yang menurutnya dihilangkan oleh mantan Pembantu Rektor (Purek) I Unsyiah, Prof. DR. Ir. Samsul Rizal, M.Eng yang kini menjabat Rektor Unsyiah.

Jumlahnya tidak sedikit, sekitar Rp 877 juta dana Gurdacil Tahun 2009 dan Rp 26 juta di Tahun 2010.  Konon, menurut Darni, uang itu telah dipindahkan ke rekening pribadi Purek I secara sepihak tanpa sepengatahuan Darni Daud selaku Rektor Unsyiah waktu itu. Namun mengapa hanya Rektor Darni Daud, Yusuf Azis, dan Mukhlis yang dihukum?.

Di sisi lain kita akui surat tersebut dapat menimbulkan persepsi berbeda. Terlebih, surat dilayangkan menjelang pemilihan Rektor baru untuk universitas jantung hate rakyat Aceh itu, sementara Prof. DR. Ir. Samsul Rizal, M.Eng kembali ikut mencalonkan diri untuk kali kedua memimpin Unsyiah.

Iya, harapan kita semoga saja surat itu tidak mengandung nuansa politis. Namun benar-benar untuk keadilan sesuai apa yang dialami dan bukti fakta yang  dimiliki.

Menyurati presiden adalah hal lumrah dilakukan oleh seorang warga negara. Siapapun warga negara dapat menyurati presiden mengajukan permintaan apa saja dan mengutarakan keluhan yang dialami.  Baik hukum, sosial, budaya dan lain-lain. Namun kalaulah permintaan itu dikabulkan, bukankah persoalan juga akan dilimpah ke pihak yang berwenang?.

Kalau kasus korupsi di daerah tentu kepada kejaksaan dan kepolisian, sosial kepada pemerintahan daerah,  begitu juga budaya dan lainnya.  Sebagai pengambil kebijakan, presiden tidak dapat bekerja sendiri tanpa didukung oleh kabinetnya. Dan, kabinet sudah barang  tentu akan melimpahkan persoalan itu, kembali pada jajaran di bawahanya.

Intinya kalaulah kasus Gurdacil dan JPD Unsyiah ini dibuka kembali sesuai permintaan Darni Daud dalam surtanya ke Presiden. Kasusnya tentu kembali akan ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Aceh. Pertanyaannya apakah penanganan kasus kali kedua ini akan berlaku adil?  Jawabannya tentu hanya ada pada Darni Daud yang meminta keadilan dan oleh penyidik itu sendiri.

Semoga saja surat Darni Daud kepada Presiden RI Joko Widodo dapat mengungkap sebuah hal baru dalam lika –liku kasus Gurdacil dan JPD Unsyiah 2009-2010. Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dan tidak ada lagi surat “Gurdacil” kedua dari Darni Daud.[]

Shares: