FeatureNews

Simpang Lima Benar-benar Memanggil!

DARI arah Jambotape jalanan ditutup. Sepeda motor tampak terparkir di badan jalan sampai ke jalan Daud Bereueh. Jika hari biasa, jalanan ini penuh sesak. Jambotape, salah satu nadi Kota Banda Aceh itu, Kamis, 26 September 2019 jadi lautan manusia yang sedang melepas amarah kepada para pengurus negara.

Ribuan mahasiswa dan warga sipil membanjiri gedung DPR Aceh yang berdiri di jalan Daud Beureueh. Di atas mobil komando, si orator mewanti-wanti peserta aksi agar tertib.

Bersemuka di hadapan mereka, ratusan polisi tampak berbaris. Mobil penghalau massa, seperti water cannon dan baracuda, beberapa unit terparkir di sisi kiri dan kanan polisi.

Mereka sempat tertahan di depan pintu masuk. Namun dengan jumlah yang ramai, polisi tak punya pilihan lain selain membuka pintu.

“Assalamualaikum pak polisi. Apa kabar hari ini?” pekik si orator.

Kemudian si orator meminta massa memenuhi halaman DPR Aceh. “Tertib kawan-kawan. Tertib,” ujarnya dengan pelantang suara. “Jangan beri ruang untuk penyusup.”

Dipandu koordinator kampus masing-masing, mahasiswa dari berbagai universitas di Banda Aceh itu kemudian duduk tertib di halaman DPR Aceh.

Halaman yang tak kurang dari setengah lapangan bola itu penuh sesak. Mahasiswa yang tak kebagian tempat terpaksa berdiri di jalanan. Jalan Daud Bereueh dibuat lumpuh oleh lautan mahasiswa dan masyarakat sipil di Aceh.

“Dari kampus mana, dek?” tanya saya ke seorang peserta aksi. Dia mengenakan almamater kampus warna hijau.

“Dari Unsyiah bang, tapi ini kami tak bawa nama Unsyiah. Kami bawa nama Mahasiswa Aceh,” ujarnya bersemangat.

Saya melihat memang bukan hanya mahasiswa beralmamater hijau berlogo Unsyiah saja di gedung DPR Aceh. Namun, juga ada mahasiswa dari UIN Arraniry yang mengenakan alamamater warna biru.

Juga ada mahasiswa beralmamater merah. Orange. Dan kuning. Tapi saya tak tahu pasti mereka dari kampus mana.

Sejurus kemudian beberapa orator mulai unjuk aksi. Satu dua orang bergantian menyampaikan orasi.

Aksi yang mereka sebut ‘Simpang Lima Menanggil’ itu membawa empat tuntutan di hadapan anggota DPR Aceh.

Secara garis besar, saya mencatat tuntutan mereka; pertama meminta pemerintah (Presiden) untuk mengeluarkan Perppu pembatalan UU KPK, serta menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Mereka juga mendesak DPR RI membatalkan RUU KUHP yang bermasalah, di antaranya Pasal 218, 220, 241 dan 340. “Jangan seenak jidat DPR merevisi KUHP itu,” pekik seorang orator.

Selanjutnya, seruan dari massa aksi mahasiswa dan masyarakat sipil Aceh itu juga mendesak DPR RI untuk mengindahkan aspek transparansi, aspirasi dan partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU.

Mereka juga menyinggung soal gagapnya pemerintah menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

“Adili oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah Indonesia itu,” sebut orator yang disambut yel-yel peserta aksi, “Adili… Adili… Adili… tangkap mereka pak polisi.”

Aksi ini juga diwarnai dengan penampilan teatrikal. Empat orang maju ke tengah. Mereka melumuri sekujur tubuh dengan lumpur. Diiringi pukulan rapai—alat musik tradisonal Aceh—mereka menari meronta-ronta sebagai simbol matinya keadilan.

Massa kemudian meneriaki anggota DPR Aceh agar keluar dari ruangan. Satu persatu mereka keluar.

Saya mencatat, para politisi yang menemui mahasiswa diantaranya Abdurrahman Ahmad, Ermiadi, Dahlan Jamaluddin, Nurzahri, H. T. Ibrahim, M. Saleh dan Asrizal Asnawi.

Mereka semua berdiri di depan ribuan mahasiswa. Aksi teatrikal melumuri diri dengan lumpur itu masih berlanjut. “Salami anggota dewan terhormat kita, salami,” teriak massa aksi.

Sontak kemudian, satu per satu anggota DPR Aceh itu disalami dengan tangan berlumur lumpur oleh aktor teatrikal. Tak ada anggota dewan yang menolak. Mereka hanya bisa tersenyum. Pasrah.

Pukul 12.30 WIB. Matahari bertengger tepat di kepala. Massa aksi mulai beranjak mencari tempat teduh. Mereka terpecah di beberapa lokasi. Sebagian berteduh di emperan toko dan kantor, di sepanjang jalan Daud Bereueh. Sebagian menjalar di trotoar Jambotape. Ada yang hendak pulang menuju arah Darussalam, wilayah yang menjadi kantong-kantong mahasiswa bermukim. Sebagian lainnya masih bertahan di gedung DPR Aceh.

“Kawan-kawan silahkan istirahat dulu. Masjid Raya sudah memanggil kita. Jam 2 kembali lagi di sini,” pekik orator dari atas mobil komando. Dari kejauhan, sayup-sayup suara orang mengaji, pertanda azan Zuhur akan segera tiba, merambat ke gedung DPR Aceh dari pelantang suara Masjid Raya Baiturrahman.

***

“Anak STM datang… Anak STM datang…,” teriak mahasiswa dari arah badan jalan Daud Beureuh.

Auman sepedamotor mereka membelah konsentrasi massa di gedung DPR Aceh. Semua bertepuk tangan menyambut pelajar sekolah teknik menengah yang mendatangi gedung DPR Aceh itu. Mereka turut membawa sejumlah karton bertuliskan nada keresahan atas sejumlah kebijakan pemerintah.

“Hidup anak STM.. Hidup… mari kita rebut keadilan,” seru mahasiswa.

Pelajar yang masih mengenakan seragam sekolah tersebut, lantas membalasnya dengan membunyikan klakson. Rentetan bunyi klakson sambung-menyambung. Mereka tersenyum girang.

Tepat di samping kantor perwakilan Pertamina di jalan Daud Bereueh, mereka lalu memarkirkan motor. “Ayo.. Ayo.. masuk DPR. Kita udah ditunggu,” kata seorang pelajar.

Jumlah mereka lebih kurang ratusan orang. Dari seragamnya, saya melihat ada yang datang dari STM Sigli—sebuah daerah yang berjarak 100 Kilometer dari Banda Aceh.

Mereka lantas berbaur dengan ribuan mahasiswa yang kembali memadati halaman DPR Aceh pukul 14.20 WIB.

Anak-anak STM itu disambut mahasiswa dengan lantunan Salawat Badar. Mereka laksana pahlawan, kehadiran mereka di tengah-tengah massa aksi disambut dengan tepuk tangan yang panjang.

“Mereka mau bersolidaritas saja, itu lebih tinggi nilainya daripada harus paham politik,” ujar Sammy Khalifa, seorang peserta aksi dari masyarakat sipil. Dirinya mengaku terharu melihat kemunculan anak-anak STM itu di gedung DPR Aceh.

Pukul 15.00 WIB. Massa meminta masuk ke dalam ruang Paripurna DPR Aceh. Terjadi negosiasi sesaat dengan pihak keamanan. Mereka bermaksud ingin berbicara kembali dengan anggota dewan.

“Adik-adik silahkan masuk, tapi tertib ya,” kata polisi.

Massa masuk ke dalam ruang Paripurna diiringi Salawat Badar. “Mari masuk ke rumah kita kawan-kawan. Ada AC-nya lho,” seru peserta aksi.

Anak-anak STM pun turut ikut masuk. Lantai satu dan dua ruang Paripurna seketika penuh. Peserta aksi yang tak kebagian masuk, memilih merapatkan barisan di halaman.

Lebih kurang satu jam mereka di dalam. Berbicara dengan anggota DPR Aceh.

Saya tak kebagian tempat untuk mendengar apa yang mereka bicarakan di dalam.

Tapi tak kadung pasrah, saya mencoba menghampiri salah seorang koodinator aksi yang masih berdiri di atas mobil komando. Namanya Bobi Rizki Darmawan.

Kepada saya Bobi mengatakan, tuntutan massa bertambah. Empat isi petisi yang disampaikan kepada anggota DPR Aceh tadi, mereka yakini tidak akan sampai ke anggota DPR RI di Jakarta.

“Kita tidak percaya dengan tuntutan itu akan sampai nanti ke sana (anggota DPR RI),” ujarnya.

Massa aksi bersepakat meminta anggota DPR Aceh agar menghubungi semua anggota DPR RI asal Aceh untuk pulang menjumpai para mahasiswa.

“Mereka semua harus pulang ke Aceh. Mereka harus tahu seperti apa keadaan dan tuntutan kita di sini. Kita kasih waktu mereka untuk pulang 1×24 jam,” tegasnya.

Usai negosiasi di dalam ruang Paripurna itu, massa keluar tertib. Tampaknya aspirasi mereka ditampung anggota DPR Aceh. “Besok kita kembali lagi kalau mereka ingkar janji,” seru massa. Jarum jam menunjukkan angka 17.30 WIB.

Dari atas mobil komando, melalui pelantang suara, Bobi meminta peserta aksi mengutip sampah. “Tolong kawan-kawan, di samping sepatu kawan-kawan itu ada sampah. Tolong kumpulkan dan letakkan di tengah sebelum kita pulang,” katanya.

“Pak polisi, terima kasih ya. Salam damai, pak,” ucap peserta aksi sebelum meninggalkan gedung DPR Aceh. Sekumpulan polisi itu lantas membalasnya dengan senyuman.*(ASM)

Shares: