EditorialHeadline

Sehari Bersama Rizal Ramli

Sang begawan ekonomi itu pun berpulang ke penciptaNya
Dr Rizal Ramli, mantan Menteri Kemaritiman, periode pertama Presiden Joko Widodo bersama CEO popularitas.com, Hendro Saky.

JUMAT, 6 Maret 2020, pesawat Boeing 737-800, milik perusahaan penerbangan Batik Air, mendarat mulus di landasan pacu Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar.

Beberapa menit setelahnya, pada pintu kedatangan, muncul tiga pria, satu diantaranya adalah Dr Rizal Ramli. Kehadiran mantan Menteri Kemaritiman, periode pertama Presiden Joko Widodo itu ke provinsi ujung pulau Sumatera ini, dalam rangka memenuhi undangan penulis.

“Bagaimana Aceh,” tanya pada penulis, saat menumpangi mobil yang membawa menjauh dari Bandara Sultan Iskandar Muda.

Rizal Ramli melanjutkan, pada 2001, saat dirinya masih menjabat Menteri Keuangan di era Presiden KH Abdurahman Wahid. Ia pernah mengeluarkan kebijakan kemudahan impor mobil bagi provinsi Aceh. Hal itu membawa keberkahan tersendiri bagi masyarakat, terutama warga Sabang.

Saat kebijakan itu dikeluarkan, banyak ATPM Mobil yang marah, tapi Ia bergeming. Niatnya saat itu hanya ingin memberikan kebahagiaan pada orang Aceh. “Aceh itukan perang terus, konflik, jadi saya pikir policy itu dapat memberikan kemanfaatalah,” ungkapnya.

Kami terus berdikusi banyak hal. Kemudian penulis mengusulkan pada sosok mantan Kepala Bulog tersebut untuk menikmati Kopi Wine, seraya menjelaskan tentang proses pembuatannya, dan bagaimana proses pengolahannya.

“Menarik itu,” sambutnya.

Satu botol kopi wine yang disuguhkan pramusaji Arabica Seulawah Coffee, tempat kami berehat, tanpa sisa. Sebelum melanjutkan perjalanan, Rizal Ramli berujar, wah, ini dahsyat kopi winenya, katanya sambil menghabiskan sisa kopi terakhir dari gelasnya.

Sebelum menuju hotel, penulis mengajak Rizal Ramli berkunjung ke sejumlah tempat sejarah di Banda Aceh. Seperti Museum Tsunami, perkuburan Kherkof, sebelum akhirnya penulis mengusulkan untuk menunaikan salat jumat di Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue.

“Hanya masjid ini satu-satunya bangunan tersisa, saat gelombang berkecepatan 380 kilometer perjam, menyapu daratan Banda Aceh,” jelasku pada Rizal Ramli.

Dalam suatu kesempatan, usai Rizal Ramli mengisi acara, menyantap gulai kambing di Rumah Makan Lem Bakrie, menghabiskan sajian ikan bakar di RM Banda Seafood, dan lima buah durian di Blang Oi,  Ia mengungkapkan kegusarannya tentang Aceh.

Menurutnya, Aceh memiliki sejarah yang panjang, dari kemampuan bertahan dalam peperangan, ekspansi perdagangan hingga ke banyak Negara. Namun saat ini, negeri ini sepertinya kehilangan momentum untuk maju dari sejarah besarnya.

“Saya melihat, ada yang missing link, dari sejarah besar bangsa Aceh, dengan kondisi Aceh hari ini, what wrong,” tanyanya pada penulis.

Rizal Ramli mencontohkan, saat 2002 dirinya pernah diminta menilai rencana pembangunan 20 tahun Vietnam. Kala itu ia memperkirakan negara tersebut akan maju dalam kurun dua dekade.

“Prediksi saya terbukti kan hari ini,” katanya.

Karenanya, sambung Rizal, jika peperangan menjadi alasan sebagai faktor hambatan kemajuan ekonomi Aceh. Hal tersebut kurang tepat, terangnya. Sebab, Vietnam merupakan negeri yang alami perang tanpa henti, sejak dengan Francis dan Amerika.

Namun begitu damai, mereka kerja dengan serius dan fokus membangun negerinya. Karena, sebut Rizal Ramli, peperangan telah membentuk pribadi yang disiplin, dan keorganisasian yang kuat masyarakat disana.

Nah, lanjutnya, Aceh itu dibangun oleh generasi yang punya visi dan sejarah besar. Namun kok hari ini, mencari 100 pengusaha saja tidak ada. ini ada apa? Apakah mental para pengusaha di sini juga sudah seperti karakter birokrat, yang membangun usahanya melalui faktor-faktor kedekatan dengan kekuasaan.

“Ayolah, berpikir untuk membangun daerah kalian,” tukasnya.

Mantan Menteri Ekuin pada era Presiden Gusdur itu juga berpesan kepada para politisi di Aceh, untuk berpikir dan mengurus rakyat Aceh, dan jangan selalu memikirkan kehidupannya sendiri. “Rakyat Aceh itu pihak yang paling merasakan dampak perang dan tsunami, uruslah mereka,” pesan Rizal Ramli.

Tanpa terasa, waktu terus bergerak. Lalu Rizal Ramli meminta izin untuk beristirahat. Keesokan harinya, pada jam yang sama saat penulis menjemputnya, dan dengan Maskapai yang sama, Rizal Ramli, beserta staf pribadinya, terbang meninggalkan Kota Banda Aceh.

Ya, hampir seharian, atau kurang dari 24 jam, penulis bersama sosok ekonom dan politikus yang masih konsisten. Sedikit dari politisi yang benar-benar berpikir untuk rakyat. Terimakasih Pak, atas keluangan waktu berkunjung ke Serambi Mekkah ini. [Hendro Saky]

Shares: