HukumNews

Rizieq, Antara Dugaan Hasutan dan Denda Rp50 Juta yang Lunas

Rizieq, Antara Dugaan Hasutan dan Denda Rp50 Juta yang Lunas
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab usai diperiksa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (13/12/2020) dini hari. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

– Polda Metro Jaya melakukan penahanan terhadap Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) MUhammad Rizieq Shihab selama 20 hari ke depan terhitung sejak Sabtu (12/12/2020). Rizieq ditahan sebagai tersangka penghasutan dan pelanggaran protokol kesehatan.

Rizieq dijerat Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan Pasal 216 KUHP. Ancamannya maksimal enam tahun penjara. Pihak Rizieq, khususnya FPI tak habis pikir.

Ketua Bantuan Hukum FPI, Sugito Atmo Prawiro menilai kepolisian terlalu memaksakan kehendak. Sebab jerat untuk Rizieq berbeda dengan sangkaan kepada lima tersangka lainnya dalam kasus kerumunan acara di Petamburan, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir juga mempertanyakan motif kepolisian menjerat Rizieq dengan dua pasal tersebut. Ia bahkan menilai dua pasal tersebut merupakan pasal ‘pesanan’.

“Tiba-tiba dalam konteks kerumunan massa, di mana letak perbuatan Rizieq yang terkait dengan Pasal 160?” ujar Muzakir saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (14/12/2020)

Muzakir menjelaskan, Pasal 160 KUHP pada intinya adalah tindakan provokasi atau menggerakkan orang untuk berbuat jahat. Menurut dia, kepolisian harus membuktikan terlebih dulu kejahatan yang disangkakan itu.

Ia mempertanyakan keterkaitan pemeriksaan kasus kerumunan massa dengan pasal penghasutan tersebut. Sebab, menurutnya, tidak ada unsur kejahatan dari ajakan tersebut.

“Kalau terkait pemeriksaan kerumunan massa, di mana letak dia memprovokasi orang untuk berbuat jahat, melakukan perbuatan pidana,” tutur Muzakir.

Muzakir juga sepakat dengan pernyataan Sugito yang menyebut bahwa kepolisian memaksakan kehendak untuk menjerat Rizieq Shihab. Terlebih, menurutnya, jika kasus kerumunan massa itu menyangkut Pasal 93 Undang-undang Kekarantinaan.

Menurut Muzakir, jika memang kasus yang menyeret Rizieq terkait dengan pelanggaran kerumunan massa di tengah pandemi, maka hal itu sudah tak dapat ditindaklanjuti. Sebab, dalam perkara itu, Rizieq sudah membayar denda kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Rizieq diketahui sudah membayarkan denda sebesar Rp50 juta kepada Pemprov DKI lantaran melanggar ketentuan mengumpulkan massa saat PSBB Jakarta.

“Kalau sudah dibayar denda, menurut saya, perkara itu sudah selesai. Kalau masih diproses lagi, namanya dalam bahasa hukum ne bis in idem. Artinya, satu perkara yang sudah selesai dan diselesaikan, itu diproses kembali, itu namanya satu perbuatan dilakukan dengan dua pelanggaran hukum, padahal teorinya tidak boleh,” ujarnya.

Muzakir juga mempertanyakan motif kepolisian yang menjerat Rizieq dengan pasal-pasal tersebut. Ia curiga polisi tidak memahami aturan-aturan hukum yang berlaku.

“Kita pertanyaan pokoknya di situ. Kalau polisi tidak memahami hukum seperti itu, tiba-tiba memaksakan diri, ini motifnya apa polisi itu?” jelas Muzakir.

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho mengatakan saat ini yang menjadi fokus penyidikan kepolisian adalah penghasutan yang dilakukan oleh Rizieq.

Menurutnya, soal dugaan kerumunan massa di tengah pandemi virus corona (Covid-19) masalah itu selesai setelah Rizieq membayar denda ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Saya kira soal kerumunan sudah dibayar denda kan sudah selesai. Tapi yang sekarang jadi ramai kan penghasutannya. Ini yang harus dipahami,” kata Hibnu.

Hibnu menilai tidak ada pemaksaan kehendak dari kepolisian yang tengah mengusut kasus tersebut. Namun demikian, kepolisian harus bisa membuktikan dugaan pelanggaran pasal 160 dan 216 yang dijeratkan kepada Rizieq.

“Bagaimanapun juga bukti yang bicara, bicara hukum bicara bukti. Barang siapa menuduh harus membuktikan,” ungkap dia.[]

Shares: