HeadlineNews

Respons ‘Korban’ di Aceh: UU ITE Rentan Dipakai Untuk Kriminalisasi

Anggota KIP Langsa diperiksa polisi terkait UU ITE
Ilustrasi UU ITE. Foto: Internet

POPULARITAS.COM – Presiden Joko Widodo membuka peluang untuk merivisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika penerapannya tidak menjunjung tinggi prinsip keadilan.

Salah satu alasan dilakukan revisi adalah karena ada beberapa pasal di dalam undang-undang tersebut dinilai pasal karet. Sehingga, sejumlah warga saling melapor menggunakan undang-undang itu.

Salah satu korban UU ITE di Aceh, Mento ikut memberi respons terkait peluang revisi tersebut. Selaku warga, Mento mengaku mendukung rencana revisi undang-undang itu.

“UU ITE penting untuk negara yang mayoritas penduduknya masih bermentalitas rendah ini, harus tetap ada,” kata Mento sapaan karib pria bernama lengkap Marwardi tersebut, saat dihubungi popularitas.com, Selasa (16/2/2021).

Mento merupakan salah satu warga Aceh Besar yang dijerat dengan UU ITE. Pada 2019 silam, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Mento dengan hukuman penjara 3 bulan, gara-gara komentarnya di facebook dianggap mencemarkan nama baik orang lain.

Mento berharap, jika memang dilakukan revisi, pasal-pasal dalam UU ITE tersebut harus lebih dipertegas lagi, terutama soal ukuran kerugian korban.

“Harapan revisi, agar bisa lebih dipertegas ukuran kerugian korban. Minimal tidak hanya berdasarkan ‘perasaan’ korban saja,” ujar Munto.

Mento memberi contoh, dalam pasal ujaran kebencian atau penghinaan misalnya, seseorang merasa terhina relatif sekali.

“Mungkin di sini UU ITE disebut UU ngaret, standarnya nggak pasti, sehingga UU ini rentan dipakai untuk kriminalisasi.  Idealnya ujaran kebencian tidak dimasukkan ke dalam unsur pidana UU ITE, cukup unsur fitnah saja yang dimasukkan. Karena fitnah itu bisa dibuktikan secara fisik, bukan berdasarkan perasaan,” jelasnya.

Editor: dani

Shares: