News

Profesor Jepang berupaya hilangkan “mitos” bom atom Amerika

Profesor Jepang berupaya hilangkan "mitos" bom atom Amerika
Daftar nama korban perang diberikan kepada Wali Kota Hiroshima Kazumi Matsui dari seorang perwakilan keluarga yang berduka akibat korban bom atom 1945 di Peace Memorial Park di Hiroshima, barat Jepang, Kamis (6/8/2020), pada peringatan 75 tahun pengeboman kota tersebut. ANTARA FOTO/Kyodo/via REUTERS/nz/cfo (REUTERS/KYODO)

POPULARITAS.COM – Selama hampir dua dekade, Yuki Miyamoto (54 tahun) telah mencoba untuk mengajarkan murid-muridnya di sebuah universitas Amerika Serikat tentang dampak mengerikan dari senjata nuklir.

Miyamoto merupakan seorang profesor dan generasi kedua “hibakusha”, yakni penyintas yang terdampak oleh bom atom, di Hiroshima.

Ia bingung dengan pembenaran yang disebarkan di Amerika Serikat (AS) untuk aksi penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.

Untuk itu, Miyamoto pergi ke AS untuk menempuh studi tentang etika dan pekerjaannya sekarang sebagai dosen di Universitas DePaul di Chicago berfokus pada mata kuliah tentang nuklir.

Bahkan sekarang, dia mengatakan banyak orang di AS yang masih percaya “mitos” bahwa bom atom membantu menyelamatkan banyak nyawa orang Amerika dengan mempercepat berakhirnya Perang Dunia II dan sebagian besar orang menunjukkan sedikit minat terhadap isu nuklir.

Namun, beberapa muridnya tidak mempercayai mitos itu dan sangat menentang senjata nuklir. Mereka melihatnya sebagai objek penghancuran yang tidak manusiawi, kata Miyamoto menjelaskan.

Dia mengatakan bahwa sejak sesi mengajar pertamanya di AS, dia telah memberi tahu siswa, “Saya tidak akan mengajari Anda apa yang benar.” Miyamoto melakukan itu karena ia ingin para siswanya menyimpulkan sendiri bahwa senjata nuklir harus dihapuskan.

Ibu Miyamoto selamat dari serangan bom atom.

Sejak ia masih kecil, sudah ada sejumlah protes oleh hibakusha atas uji coba nuklir. Namun, seiring waktu, dia melihat bahwa reaksi protes semacam itu “gagal beresonansi” dengan (gagal menarik simpati) masyarakat Amerika Serikat.

Pada usia 27 tahun, Miyamoto pergi ke Amerika Serikat. Sejak 2003, dia telah memberikan pelajaran yang menjelaskan kekejaman bom atom dan dia telah mendebat para mahasiswa yang membenarkan aksi bom atom oleh AS itu sebagai hal yang perlu dilakukan untuk mengakhiri perang.

Hampir setiap tahun sejak 2005, ia telah memimpin murid-muridnya dalam kunjungan lapangan ke Hiroshima dan Nagasaki.

Miyamoto mengatakan dalam kuliah dan seminarnya, “Kebanyakan (siswa) awalnya apatis”.

Meskipun AS telah melakukan lebih dari seribu tes senjata nuklir, ketika diminta untuk menebak jumlah tes nuklir yang telah dilakukan AS, sebagian besar siswa menjawab dalam angka satu digit.

Bahkan, beberapa siswa tersinggung saat ada pembahasan tentang senjata nuklir yang kritis terhadap Amerika Serikat.

Menurut analisis Miyamoto, sebuah citra tertentu telah terbentuk di benak kalangan warga AS dari cara media mengekspresikan tentang senjata nuklir dan tenaga nuklir sebagai “simbol kekuasaan” dan “kendali”.

Dia mengatakan objek-objek budaya seperti buku komik tentang “pahlawan super”, yang menyelamatkan dunia dengan kekuatan yang berasal dari sentuhan dengan zat radioaktif, menanamkan gagasan bahwa kekuatan dan narasi nuklir terkait erat dan tidak bersifat berbahaya.

Miyamoto juga menunjukkan suatu hal yang dia yakini sebagai kebenaran yang tidak lazim di mana militer AS memberikan “bantuan” dengan mensubsidi biaya kuliah siswa yang mau mendaftar masuk militer.

Namun, dia juga mengatakan bahwa kritik terhadap langkah semacam itu adalah hal yang “tabu” di AS — sebuah negara yang kelompok militernya harus dimuliakan dan diagungkan.

Dia yakin bahwa faktor-faktor “berakar dalam” semacam itulah yang berada di balik teori pembenaran aksi bom atom oleh AS. Dia pun menekankan bahwa faktor-faktor tersebut juga menghalangi pemahaman warga AS tentang aspek negatif dari senjata nuklir.

Miyamoto mengatakan pelajaran yang ia sampaikan untuk siswanya berfungsi untuk menghilangkan hambatan psikologis (yang membenarkan penggunaan bom atom) yang secara tidak sadar telah dilontarkan.

Seorang murid Miyamoto bernama Jade Ryerson (23 tahun), yang telah menghadiri seminar dan kunjungan lapangan ke Hiroshima dan Nagasaki, mengaku ia tidak tahu banyak mengenai dampak senjata nuklir sebelum perjalanannya ke Jepang.

“Saya benar-benar sadar bahwa ini bisa terjadi. Kami diajari bahwa bom atom digunakan untuk mengakhiri perang, tetapi dari partisipasi kami di kelas itu dan belajar lebih banyak tentang sejarah, kami tahu bahwa ada lebih banyak hal yang perlu diketahui,” ujar Ryerson.

Ketika Miyamoto ditanya tentang gambar paling mengerikan yang muncul setelah mengunjungi Museum Peringatan Perdamaian Hiroshima, dia berkata, “Saya ingat foto dampak medis (dari bom atom) seperti luka bakar parah yang diderita seorang pria di seluruh punggungnya…Saya tidak mengerti bagaimana bisa orang melihat gambar seperti itu dan tidak percaya bahwa penggunaan senjata nuklir tidak etis”.

Seorang mahasiswa lainnya bernama Saira Chambers (39 tahun), yang telah mengambil bagian dalam kunjungan lapangan ke Jepang, mengadakan pameran secara mandiri pada 2016 di Chicago untuk mendidik orang-orang tentang sifat menghancurkan dari senjata nuklir.

Chambers mendukung tujuan Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir untuk melarang penggunaan senjata tersebut karena dia menilai sebuah status quo berdasarkan langkah pencegahan nuklir adalah “dunia yang terlalu gelap” untuk ditinggali.

Akan tetapi, Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir itu pun tidak diadopsi baik oleh Amerika Serikat maupun Jepang.

Saat ditanya cara untuk meyakinkan warga Amerika bahwa dunia dapat menjadi lebih baik tanpa senjata nuklir, Miyamoto mengatakan bahwa argumen yang menjelaskan kehancuran akibat ledakan nuklir pada lingkungan alam cukup persuasif, seperti halnya dampak radiasi pada tubuh wanita. “Contoh ini saja seharusnya sudah cukup,” kata Miyamoto.

Melalui kuliah yang ia ajarkan, Miyamoto berharap dapat menyampaikan pesan bahwa senjata nuklir merupakan suatu ancaman lingkungan yang “terkait erat dengan nilai-nilai yang dianggap paling berharga bagi orang Amerika”. (ant)

Shares: