News

Polisi Harap Kejahatan Lingkungan Menjadi Extra Ordinary Crime

Polisi Harap Kejahatan Lingkungan Menjadi Extra Ordinary Crime
Kepala Subdit IV Tipiter pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Aceh, AKBP Mulyadi

 – Kepala Subdit IV Tipiter pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Aceh, AKBP Mulyadi berharap kejahatan lingkungan dimasukkan ke dalam kategori extra ordinary crime (kejatahan luar biasa).

“Teman-teman jurnalis perlu mendorong pemerintah agar kejahatan lingkungan ini dikategorikan kejahatan luar biasa,” ujar Mulyadi saat menjadi pemateri dalam diskusi di AJI Banda Aceh, Selasa (1/12/2020).

Menurut Mulyadi, kejahatan lingkungan harus dimasukkan ke dalam kategori extra ordinary crime karena selama ini polisi membutuhkan tenaga dan materi yang besar dalam setiap mengungkap sejumlah kasus besar di Aceh.

“Misalnya kami harus berjalan kaki dua hari dua malam ke lokasi rencana pengungkapan karena sulitnya medan, mobil kami nyangkut, ini butuh tenaga ekstra,” jelas Mulyadi.

Kata Mulyadi, apabila kejahatan ligkungan dimasukkan ke kategori extra ordinary crime, maka akan seperti lembaga yang menangani narkoba, korupsi dan lain-lain.

“Lembaga khusus ini tugas dan fungsinya nanti seperti lembaga yang menangani narkoba, ada Badan Narkotika Nasional (BNN), kalau kasus korupsi ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seharusnya juga ada untuk menangani kasus kejahatan lingkungan,” ujarnya.

“Dengan adanya lembaga tersebut diharapkan juga mempunyai wewenang bisa mengawal kasus yang diusut sampai ke pengadilan,” pungkasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Tezar Pahlevie dari Forum Konservasi Leuser (FKL). Menurutnya, gagasan membentuk lembaga khusus menangani tindak pidana kejahatan lingkungan, sangat mendesak dibentuk untuk memutus mata rantai kerusakan hutan di Indonesia.

“Saya sepakat dengan Pak Mulyadi tadi, saya rasa kasus lingkungan terutama perdagangan dan perburuan satwa liar pantas disebut extra ordinary crime. Perlu upaya yang besar dan konsen menangani kejahatan ini,” kata Tezar.

Dalam kesempatan itu, Tezar juga menuturkan bahwa deforestasi hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sepanjang 2016-2019 cenderung menurun.

Namun, katanya, bukan berarti deforestasi di KEL telah berhenti. Kerusakan lingkungan masih saja terjadi setiap tahun dan ikut berdampak terhadap satwa liar di dalamnya.

“Penyebab deforestasi di KEL umumnya adalah karena pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan, penebangan liar, dan pertambangan ilegal,” kata dia. []

Editor: Acal

Shares: