NewsParlementaria DPR Aceh

Peserta RDPU Sorot Pasal Polhut Aceh Pakai Senpi

Ketua Komisi 2 DPRA Nurzahri saat membuka RDPU tentang Perlindungan Satwa Liar pada Jumat, 30 Agustus 2019 | Foto: Boy NA

BANDA ACEH (popularitas.com) – Rencana membekali personil Polisi Hutan (Polhut) dan Pengamanan Hutan (Pamhut) dengan senjata api dalam rangka menjalankan tugasnya melindungi satwa liar dalam regulasi setingkat qanun mendapat sorotan dari para pihak. Penggunaan senjata api bagi Polhut dan Pamhut juga diminta sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga perlu diperjelas dalam pasal-pasal Rancangan Qanun Perlindungan Satwa Liar.

Seperti diketahui, Komisi 2 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedang menggodok rancangan qanun tentang perlindungan satwa liar pada 2019 ini. Produk hukum ini merupakan Raqan Inisiatif DPRA setelah menyikapi maraknya konflik antara manusia dengan satwa liar di Aceh dalam beberapa tahun terakhir.

Raqan tentang Perlindungan Satwa Liar tersebut terdiri dari 15 Bab dengan 41 Pasal. Sementara terkait pembekalan senjata api bagi Polhut dan Pamhut tersebut termaktub di Bab V tentang Kelembagaan dan Koordinasi Pasal 22 ayat (2), yang bunyinya, “Untuk melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Polisi Kehutanan dan Tenaga Pengamanan Hutan dalam rangka melaksanakan tugas tertentu dapat dibekali dengan perlengkapan lapangan dan senjata api.”

Wacana membekali senjata api inilah yang kemudian memantik tanggapan dari pihak Kodam Iskandar Muda (IM) dan Polda Aceh. Melalui forum rapat dengar pendapat yang berlangsung di Ruang Sidang Paripurna DPR Aceh, Jumat, 30 Agustus 2019 malam, Komandan POM Kodam Iskandar Muda (Dan POM DAM IM), Kolonel CPM Zulkarnaen, saat diberikan kesempatan menanggapi draft Raqan, langsung mempertanyakan tugas tertentu yang dimaksud dalam pasal 22 ayat (2) tersebut. “Sebagai masukan, di dalam pasal ini tidak dijelaskan ‘tugas tertentu’ yang dimaksud. Tugas-tugas apa saja, ini perlu penjelasan,” kata Kolonel CPM Zulkarnaen.

Dalam penjelasannya, Dan POMDAM IM ini menganalisa jika saja pasal penggunaan senjata api tersebut dapat disalahgunakan saat bekerja di lapangan. Semisal Kepala Dinas Kehutanan kemudian juga dalam rangka menjalankan tugasnya turut dilengkapi dengan senjata api layaknya militer atau polisi. “Bukan tidak boleh membawa senjata, tetapi penggunaan senjata api ada batasnya, dibatasi penggunaannya,” katanya lagi.

Dia juga mempertanyakan lembaga berwenang yang dapat menentukan atau mengizinkan penggunaan senjata api bagi Polhut dan Pamhut tersebut. “Yang menentukan dapat itu siapa? Apakah Kodam, apakah kepolisian, apakah kementerian, tentu juga harus tercantum di situ,” tambah Kolonel CPM Zulkarnaen.

Tak hanya itu, perwakilan Kodam IM ini juga mempertanyakan jenis senjata api yang bakal dibekali kepada Polhut dan Pamhut untuk menangani konflik antara manusia dengan satwa liar. Dia khawatir jika tanpa pelatihan khusus justru petugas nantinya menembak satwa liar yang dilindungi tersebut karena ketakutan. Begitu pula jika Polhut dan Pamhut ditugaskan untuk menangani pemburu liar atau pembalak liar. Menurutnya ada prosedur yang harus dilakukan saat menggunakan senjata api sehingga tidak salah tembak ketika berada di lapangan.

“Berburu babi, tetapi yang ditembak malah petani. Banyak kejadian seperti ini. Ini menjadi pertimbangan sehingga menjadi masukan dalam rancangan qanun ini,” tambah Kolonel CPM Zulkarnaen.

Hal senada disampaikan Kabag Wasidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, AKBP Afrizal. Dia juga menyorot Pasal 22 ayat (2) dalam draft Raqan tentang Perlindungan Satwa Liar. “Syarat saya untuk senjata api yang dipergunakan Polhut, itu dibuat qanun tersendiri. Jangan disatukan dalam qanun ini,” katanya. Menurutnya penggunaan senjata api memiliki prosedur dan syarat khusus yang harus dilalui. Selain itu, ada tanggung jawab dari atasan dalam hal penggunaan senjata api tersebut.

“Kenapa senjata api ini sangat rawan? Karena keamanan negara ini dibebankan kepada TNI dan Polri. Jadi ketika nanti tidak terkontrol, akibatnya TNI dan Polri yang harus menangani ini,” katanya lagi.

Dia menganjurkan redaksi bahasa dalam ayat (2) Pasal 22 tersebut diubah menjadi, “untuk melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Polisi Kehutanan dan Tenaga Pengamanan Hutan dalam rangka melaksanakan tugas tertentu dapat melakukan koordinasi dengan kepolisian RI dibackup TNI,” kata AKBP Afrizal.

Rapat dengar pendapat umum tentang perlindungan satwa liar ini langsung dipimpin oleh Ketua Komisi 2 Nurzahri. Ikut mendampingi seperti Abdurrahman Ahmad, Rahmadana Lubis, dan anggota Komisi 2 lainnya.

Nurzahri sebelumnya mengemukakan alasan pihaknya memasukkan penggunaan senjata api untuk Polhut dan Pamhut dalam Raqan tersebut. “Sebenarnya secara nasional sudah dibolehkan, semua Polhut di Indonesia itu dengan aturan-aturan khusus boleh memiliki senjata untuk melindungi hutan, patroli di hutan, tetapi kasus khusus di Aceh sejak darurat militer, kewenangan itu hilang,” kata Nurzahri.

Dia berharap dengan adanya qanun perlindungan satwa liar tersebut, kewenangan Polhut dan Pamhut kembali dipersenjatai dapat dikembalikan. Namun, dia tidak menampik ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar Polhut dan Pamhut di Aceh dapat kembali dipersenjatai saat bertugas agar tidak berbenturan dengan undang-undang darurat tentang senjata api.* (BNA)

Shares: