News

Peringati Woman Day, Aktivis di Aceh Minta Perempuan tak Didiskriminasi

POPULARITAS.COM – Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kaum millenial di Aceh mengagendakan aksi kampanye virtual International Woman Day (IWD) 2021 dalam rangka memeringati Hari Perempuan Sedunia yang diperingati setiap 8 Maret.

Kampanye virtual dengan tema “Generasi muda memandang martabat manusia (Human Dignity) dan keindonesiaan” itu digelar oleh Institut Ungu di salah sagu warung kopi di Banda Aceh, Senin (8/3/2021).

Pengelola Sekolah Hak Asasi Manusia (HAM) Flower Aceh, Gabrina Rezky menuturkan, kampanye tersebut sengaja digelar untuk memberikan edukasi kepada masyarakat banyak bahwa perempuan itu mempunyai hak sama dengan yang lain.

“Kita lakukan kampanye seperti ini bahwa perempuan itu mempunyai hak kebebesan untuk beraktivitas, untuk tidak diskriminasi,” ujar Gaby, sapaan akrab Gabrina kepada wartawan.

Ia menyampaikan, pada peringatan Woman Day, kegiatan tersebut dilakukan dengan cara turun ke lapangan. Namun, karena tahun ini masih dalam pandemi Covid-19, kampanye digelar dengan terbatas dengan mengedepankan protokol kesehatan.

“Biasanya, kegiatan ini kita lakukan dengan cara turun ke lapangan, karena pandemi, kali ini dilakukan dengan peserta terbatas. Dan juga partisipan secara virtual, melalui zoom,” ucap Gaby.

Dalam kesempatan itu, Gaby yang juga mewakili kaum perempuan dan millenials ini menyebutkan perempuan punya peran strategis dalam pemenuhan HAM di Aceh. Pada masa konflik perempuan di komunitas mengambil alih peran sosial ketika laki-laki meninggalkan desa untuk mencari perlindungan karena ancaman di masa konflik.

Selain itu, perempuan secara terorganisir mendorong penyelesaian konflik Aceh secara damai melalui pelaksanaan kongres perempuan Aceh atau dikenal dengan Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) pada Febuari 2000 menghadirkan 437 orang perempuan dari berbagai wilayah di Aceh yang merekomendasikan penyelesaian Aceh secara damai.

”Hari ini, partisipasi gerakan perempuan berlanjut dengan berbagai aksi, pengorganisasian kelompok perempuan di desa, diskusi kritis untuk peningkatan kapasitas,membangun dukungan, kampanye dan advokasi terkait pemenuhan hak asasi perempuan dan HAM di Aceh,” imbuh Gaby.

Sementara itu, Pembina Yayasan Suara Aksi Orang Muda (YouthID), Farhan Atidi Dhaifullah, mengatakan, berdasarkan hematnya banyak kelompok muda yang sudah melakukan aksi baik di berbagai bidang dan isu. Namun aksi tanpa jaringan advokasi tidak cukup untuk membuat perubahan yang besar.

“Perlu adanya aksi kolaborasi dan jaringan yang luas untuk tujuan yang lebih besar,” kata Farhan.

Dalam hal ini, katanya, YouthID hadir untuk memberi ruang aman dalam mendukung penguatan dan pengembangan kapasitas kelompok muda.

“Karena kami percaya, saat anak muda diberdayakan, harga dirinya lebih tinggi dan kualitas hidupnya lebih baik,” ujarnya.

Bersamaan dengan itu, Fasilitator Young Voices, Heriyan Tuan Miko, menyampaikan pemenuhan HAM dimulai dari pengertian HAM itu sendiri, HAM melekat pada diri manusia sejak lahir dan berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat. Termasuk bagi penyandang disabilitas.

Ada sejumlah praktik baik saat ini yang masih perlu di tingkatkan yaitu, tersedia aksesibilitas di tempat umum, kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan, peluang yang setara untuk disabilitas bisa terlibat aktif dalam perumusah kebijakan, hak untuk berpartisipasi dalam memilih maupun dipilih, terbebas dari stigma negative, mendapatkan pelindungan hukum yang aksesibel dan lain sebagainya.

Koordinator Millennials Empowerment, Syarifah Zahra Salsabila, menyebutkan setiap kita memiliki peran dan tanggungjawab yang sama, baik itu dari orang tua atau orang muda, pria atau wanita ketika berbicara mengenai perempuan, banyak hal yang bisa kita lakukan mulai dari aksi sederhana sampai aksi yang sangat luar biasa menuju “#ChooseToChallenge”.

“Perempuan harus berani berpikir, berani bertindak dan berani mengambil resiko yang besar serta mampu mengembangkan bakat sesuai dengan potensi yang dimilikinya tanpa rasa takut,” tutur Syarifah.

Selain LSM dan aktivis millenial, kampanye tersebut juga dihadiri oleh sejumlah jurnalis dari berbagai media, baik lokal maupun nasional.

Salah satu jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Nova Misdayanti mengatakan, beberapa tahun terakhir, wartawan dari kalangan perempuan terus lahir di pusat ibu kota provinsi Aceh itu.

Namun, kata Nova, hal ini belum begitu terlihat di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Sebagian masyarakat bahkan masih menganggap profesi jurnalis kalau digeluti oleh perempuan akan terlihat tabu.

“Selama ini dianggap jurnalis perempuan itu terlihat tabu, padahal di daerah-daerah lain, terutama daerah metropolitan, jurnalis perempuan dan jurnalis laki-laki itu sama, artinya kesetaraan gender mereka itu tidak terasa berbeda,” ucap Nova, yang juga anggota di komunitas Pewarta Kutaraja.

Dalam perjalanannya sebagai jurnalis, Nova mengakui sudah mendapat berbagai pengalaman, termasuk soal meliput isu-isu hak asasi manusia (HAM).

“Di Aceh kalau bicara soal HAM, suka duka itu pasti sudah kita lalui. Artinya, berita-berita terkait HAM itu kembali disuarakan, digaungkan, terutama untuk memperjuangkan hak-hak kaum minoritas,” katanya.

Editor: dani

Shares: