FeatureHeadline

Pergub Cambuk Masih Terkendala Juknis

Pelaksanaan cambuk di Masjid Baitul Rahmah, Jaya Baru, Banda Aceh | Foto Al Asmunda

RATUSAN orang tampak memadati halaman Masjid Baiturrahmah, Lampoh Daya, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh. Sekalipun berdiri di terik matahari, tetapi tak sedikit pun bikin surut langkah mereka menghadap ke sebuah panggung setinggi satu meter.

Panggung ukuran 4×3 meter itu dilingkari pagar pembatas bercat hitam. Tingginya kurang lebih satu meter. Warga banyak berdiri di sekelilingnya.

Tepat di sebelah kanan masjid, terdapat jalan Abdurrahman yang padat dilalui kendaraan. Jalanan bahkan sedikit macet akibat warga yang melintas memilih berhenti di badan jalan karena penasaran dengan keramaian di halaman masjid.

Beberapa petugas dari Wilayatuh Hisbah (WH) atau yang populer dengan sebutan Polisi Syariat Islam, terlihat siaga berjaga-jaga di sekitaran masjid.

Hari ini, Rabu, 20 Maret 2019 kembali dilakukan eksekusi hukuman cambuk di depan umum terhadap 10 orang pelanggar Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Eksekusi hukuman bagi pelanggar Syariat Islam itu berlangsung tepat pukul 11.00 WIB.

Dalam putusan dakwaan yang dibacakan petugas dari Mahkamah Syariah Banda Aceh itu, beberapa kasus pelanggaran syariat terjadi di beberapa tempat. Salah satunya di Kecamatan Syiah Kuala yang banyak dihuni mahasiswa dari berbagai daerah yang memilih indekost di sana.

“Rata-rata yang kita tangkap kadang mahasiswa dari luar. Mungkin selama mereka di kampung, mereka diawasi, tapi ketika di sini ngekost jadi agak bebas,” kata Kabid Penegakan Syariat Islam Sapol PP WH Banda Aceh, Safriadi.

Untuk mengatasi pelanggaran syariat di kost-kostan mahasiswa tersebut, Safriadi menghimbau warga agar partisipatif membantu personil WH dalam mengawasi.

“Kita berharap (tindakan mengawasi) secara preventif. Jadi, sebelum terjadi harus kita cegah. Jangan menunggu dulu,” sebutnya.

Tehitung sejak Januari 2019, sudah tiga kali eksekusi cambuk dilakukan di Kota Banda Aceh. Tepat pada 31 Januari, bilah rotan mendera punggung 4 orang terpidana hukuman cambuk yang digelar di masjid Gampong Rukoh Darussalam, Syiah Kuala, Banda Aceh.

Selang satu bulan ke depannya, 4 Maret eksekusi hukum cambuk kembali dilakukan terhadap 12 terpidana pelanggar Syariat Islam, di masjid Syuhada, Gampong Lamgugop, Kecamatan Syiah Kuala.

Sekalipun cambuk dilakukan di depan umum, tampaknya hal tersebut tak memberikan pelajaran apa-apa kepada masyarakat, pelanggaran demi pelanggaran terus saja terjadi. Petuah-petuah dari ustadz yang berceramah sebelum uqubat (hukuman) dilaksanakan, dan tentu saja harapan dari pemerintah agar Syariat Islam dijalani secara kaffah (menyeluruh), seperti dianggap “angin lalu” saja oleh masyarakat.

“Kalau masyarakatnya belum terlalu peduli, ini (pelanggaran syariat) akan terus merajalela dan akan menjadi bumerang bagi masyarakat Aceh yang sudah menerapkan syariat Islam,” papar Safriadi.

Menyikapi hal tersebut, dia berharap agar semua lapisan masyarakat mampu mengambil peran memberantas pelanggaran syariat di wilayah tempat tinggal masing-masing.

“Kita berharap semua lapisan masyarakat menjadi WH sebenarnya, memantau, mengawasi, dan mencegah. Karena ada juga masyarakat berfikir, setelah (pelanggar syariat) melakukan pelanggaran baru ditangkap, kita tak mengharapkan itu, harapan kita masyarakat mencegah,” pintanya.

Namun, fakta meningkatnya pelanggaran syariat Islam di kota dengan tagline Gemilang dalam bingkai Syariah tersebut, ditanggapi santai oleh Kabid Penegakan Syariat Islam Sapol PP WH Pemkot itu. Dia mengatakan, dibandingkan dengan daerah lain kota Banda Aceh masih terbilang minim kasus pelanggaran syariat.

“Kalau kita lihat, dibilang meningkat sebenarnya tidak meningkat. Tapi hari ini kan, apa istilahnya ya, dibandingkan dengan daerah lain kita juga nggak terlalu banyak ya. Tidak ada peningkatan sebenarnya. Cuma hari ini kita beharap kasus-kasus seperti ini bisa diminimalisir lah,” ucapnya.

Safriadi berdalih, pelanggaran syariat tersebut tak bisa teratasi dengan baik akibat personil Wilayatuh Hisbah kota Banda Aceh yang terbatas.

Nggak mungkin mengawasi dengan personil terbatas sampai ke setiap lorong, kan,” katanya.

***

Sebelum eksekusi berlangsung petugas beberapa kali melarang anak-anak di bawah usia 18 tahun menyaksikan prosesi cambuk terhadap pelanggar. Namun, imbauan tersebut terlihat tak digubris. Di antara mereka bahkan ada yang masih berpakaian sekolah saat dijumpai di lokasi.

Orang-orang tua yang membawa anak di lokasi cambuk pun tak menghiraukan imbauan petugas WH, yang berkali-kali mengulang imbauan larangan tersebut melalui pengeras.

Mereka hanya mundur sejenak, sembunyi-sembunyi menjauh dari lokasi cambuk, untuk kemudian kembali berdiri menonton bilah rotan yang dilepas algojo berjubah coklat dengan wajah tertutup menghatam punggung pelanggar.

Padahal salah satu poin penting Qanun Nomor 7 tahun 2013 yang mengatur tentang hukum acara jinayat, menyatakan larangan bagi orang di bawah usia 18 tahun berada di lokasi pencambukan.

Kenyataannya, sering kali ketika hukuman cambuk digelar di depan umum, masih ditemukan kehadiran anak-anak.

Hal lain yang sulit diatur petugas WH adalah soal berbaurnya penonton laki-laki dan perempuan. Sekalipun hal tersebut telah berulang-ulang kali petugas mengingatkan melalui pengeras suara.

“Aturannya kan sudah jelas, anak-anak dilarang menyaksikan prosesi cambuk. Kita sudah imbau, kadang bahasa kita sudah agak kasar, tapi orang tuanya juga tidak menggubris. Padahal ini kan nanti berdampak pada psikologis anak,” terang Safriadi.

Dia menambahkan, “hari ini mungkin karena baru di sini. Ini baru pertama (cambuk) di kecamatan Jaya Baru, jadi ke depan kita harus antisipasi ini jauh-jauh hari.”

Pelaksanaan eksekusi cambuk diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran disertai sari tilawah, serta kemudian dilanjutkan tausiyah dan doa.

Eksekusi pertama dilakukan terhadap terdakwa perempuan berinisial NY yang menerima 4 kali cambukan. Berikutnya, pasangan NY, MR dicambuk 6 kali.

Selanjutnya MI (laki-lali) dicambuk 19 kali, WR (perempuan) 19 kali, KM (laki-laki) 22 kali, SF (perempuan) 22 kali, HS (laki-laki) 19 kali, RF (perempuan) 19 kali.

Pasangan yang terakhir dicambuk, RI (laki-laki) mendapati 20 kali cambukan, dan pasangan perempuannya KF 19 kali.

Hukuman cambuk tersebut diterima masing-masing terdakwa setelah dipotong masa tahanan 4 kali.

Dua terdakwa pertama dijatuhi hukuman cambuk setelah terbukti bersalah melakukan khalwat (mesum), yang diatur Pasal 23 ayat (1) Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014.

Delapan lainnya terbukti bersalah melakukan jarimah ikhtilat (bermesra-mesraan), yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Qanun Aceh nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat.

Pelaksanaan eksekusi cambuk di Masjid Baiturrahmah ini sempat tertunda sesaat, tepatnya seusai eksekusi cambuk terhadap terpidana pertama NY. Penyebabnya, petugas masih mendapati kehadiran anak-anak di bawah usia 18 tahun di lokasi masjid. Setelah petugas menghalau anak-anak agar menjauh, eksekusi cambuk kembali dilanjutkan.

***

Bulan April 2018 lalu, sebuah Pergub nomor 5 tahun 2018 yang ditandatangani gubernur Aceh nonaktif, Irwandi Yusuf, menyatakan pelaksanaan hukuman cambuk wajib dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).

Irwandi punya alasan, selama ini hukuman cambuk yang digelar secara terbuka banyak ditonton anak di bawah umur. Hal Ini menurutnya berpotensi buruk pada kejiwaan anak-anak yang sering melihat kekerasan. Di sisi lain, ia menilai penerapan cambuk di muka umum lebih cenderung menimbulkan euforia.

Namun pergub tersebut belum berjalan dengan semestinya, meskipun Mahkamah Agung sudah mengeluarkan putusan setelah digugat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA. Dalam Putusan MA Nomor 39 P/HUM/2018 tertanggal 4 Januari 2019 menyebutkan permohonan diajukan pihak pemohon dalam hal ini DPRA, tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, maka permohonan pengujian peraturan perundang-undangan tidak diterima. Atas keputusan tersebut, permohon juga dihukum membayar biaya perkara Rp1 juta. Dengan demikian, status hukum Pergub ini sudah sudah berkekuatan tetap.

Salinan putusan itu sudah disampaikan kepada Pemerintah Aceh melalui Biro Hukum. “Salinan putusan sudah kami terima, baru tadi siang,” kata Kepala Biro Hukum, Amrizal J Prang, Senin 4 Maret 2019 malam.

Amrizal belum memberi penjelasan soal pelaksanan terkait sosialisasi Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan hukum acara Jinayat, atau eksekusi cambuk akan dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kepada pihak pelaksanaan cambuk di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Kabid Penindakan Perundang-undangan Daerah Satpol PP-WH Aceh, Marwan Jalil juga memberi penjelasan serupa, ia menyebutkan Pergub itu belum bisa dilaksanakan karena masih terkendala teknis.

Lalu sampai kapan, hukuman cambuk yang seharusnya memberi efek jera dan meminimalisir pelanggaran syariat di Aceh, bisa dijauhi dari pandangan anak-anak? Tampaknya hanya waktu yang mampu menjawab.* (ASM)

Shares: