EditorialHeadline

Pemilu: Aceh, Pelawak dan Petahana

Hasil Pemilu 2019 di Aceh sangat menyakitkan bagi calon presiden petahana. Jumlah suara yang diraih justru jauh berada di bawah suara badan sang komedian, Haji Uma.
Ilustrasi Joko Widodo dan Haji Uma (Sudirman) | Repro

KOALISI partai pendukung calon presiden RI Joko Widodo dan Ma’ruf Amin nampaknya tak mampu berbuat banyak di Aceh. Begitupula dengan relawan dan sekretariat bersama Jokowi-Ma’ruf yang dibentuk untuk memenangkan petahana di Pilpres 2019.

Alih-alih meraup suara seperti target yang diinginkan, masyarakat Aceh yang memilih capres nomor urut 1 itu justru jauh lebih sedikit dibandingkan perolehan suara badan Sudirman alias Haji Uma.

Berdasarkan hasil rapat pleno Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh pada Minggu, 12 Mei 2019 malam, diketahui hasil akhir perolehan suara Jokowi-Ma’ruf hanya mencapai 404.188 suara. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan pencapaian rival petahana, Prabowo-Sandiaga yang mengantongi suara total 2.400.746 suara. Perolehan tersebut juga sepertiga dari perolehan suara badan Sudirman yang naik sebagai calon legislatif DPD yaitu 960.033 pemilih.

Baca: Hasil Pleno: Prabowo Unggul Dua Juta Suara dari Jokowi di Aceh

Hasil ini tentu saja mengecewakan para pendukung dan simpatisan Jokowi di Aceh. Padahal, tim yang dibentuk untuk membela Jokowi-Ma’ruf jauh-jauh hari sudah terbilang maksimal mempromosikan pasangan tersebut di Aceh. Hampir setiap tikungan jalan terlihat spanduk Jokowi atau Jokma. Ini berbeda dengan tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi di Aceh, yang terlihat lebih santai di belakang meja.

Kekalahan Jokowi dan Ma’ruf Amin mendapat sorotan tajam dari sejumlah media nasional. Apalagi petahana pada Pemilu kali ini menggandeng sosok Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabenenya mendapat penghormatan tinggi dari warga Aceh. Ma’ruf bukanlah sosok ulama karbitan. Di belakang namanya kerap ditabalkan gelar Kyiai yang artinya dia tergolong ulama sepuh.

Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Aceh, Irwansyah, mengungkapkan kekecewaan dengan perolehan suara Jokowi-Ma’ruf di Aceh. Dia lantas menyalahkan kabar hoax yang sering menimpa pasangan tersebut sebagai biang kekalahan mereka di Serambi Mekkah.

“Pak Jokowi terus menerus diserang dengan berita penista agama, PKI, tidak boleh azan dan yang lain. Serangan tersebut menjadi ideologinya pemilih. Fitnah yang dilakukan para elit politik terus menerus itu menjadikan satu pilihan keputusannya pemilih yang tanpa dasar,” kata Irwansyah, kepada awak media, Jumat 19 April 2019 lalu.

Baca: Ini Dugaan Penyebab Jokowi-Ma’ruf Kalah di Aceh

Lain Irwansyah, lain pula alasan kekalahan Jokowi-Ma’ruf yang diungkap Mahfud MD. Sempat heboh karena istilah yang dipakainya, Mahfud MD menyebut warga Aceh sebagai daerah penganut garis keras. “Artinya garis keras itu dalam arti bahwa mereka tidak bisa didikte, bukan radikal, bukan ekstrem.”

Mahfud MD menilai orang Aceh memiliki pendirian teguh yang tidak dapat dibayar dengan apapun. “Sehingga saya katakan, orang Aceh dan orang lain yang saya sebutkan itu adalah orang garis keras, seperti saya orang Madura juga garis keras,” kata Mahfud.

Baca: Penjelasan Mahfud MD Soal Lakap Garis Keras

Lalu apa yang melatarbelakangi penilaian Mahfud MD tersebut?

Diduga kuat sikap orang Aceh berubah terhadap Jokowi pasca meninggalkan kursi Gubernur DKI Jakarta kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hal itu menyebabkan Ahok dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara sempat menyinggung soal Surat Al Maidah ayat 51 tentang pedoman memilih pemimpin. Pernyataan Ahok belakangan menuai kemarahan, aksi prihatin dan juga murka ummat Muslim di Indonesia.

Inilah yang kemudian memantik gelombang massa ke Jakarta pada 2 Desember 2016 lalu. Saat itu, muslim Indonesia menuntut Ahok dikenakan hukuman penistaan agama. Kemudian hakim memvonis Ahok bersalah. Pasca pengerahan massa inilah kemudian popularitas Jokowi merosot, terutama di Aceh. Hal ini kemudian diakui oleh Muzakkir Manaf, salah seorang mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menyatakan memberikan dukungan penuh terhadap Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.

“Kami rakyat Aceh memang garis keras dalam menentang penjajah, penista agama, dan orang-orang culas dalam merusak demokrasi. Apalagi terhadap komunisme,” kata pria yang akrab disapa Mualem tersebut melalui staf khususnya, Wen Rimba Raya, kepada awak media, Senin, 29 April 2019.

Baca: Mantan Panglima GAM: Mahfud MD Harus Minta Maaf Terhadap Rakyat Aceh

Tak hanya itu, kekalahan Jokowi di Aceh juga diduga dipicu hasil ijtima’ ulama beberapa waktu lalu. Berdasarkan hasil ijtima’ tersebut, ulama di Indonesia memutuskan untuk memberikan dukungan penuh kepada Prabowo. Ada beberapa rekomendasi yang dikeluarkan ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa atau GNPF-Ulama tersebut. Salah satunya adalah Prabowo direkomendasikan untuk merangkul tokoh yang berlatarbelakang religius. Masih berdasarkan hasil ijtima’ ulama versi GNPF, ada dua nama yang dimunculkan yaitu Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Salim Segaf Al-Jufri, dan Ustadz Abdul Somad (UAS).

Namun, belakangan UAS menolak pinangan Prabowo sebagai cawapres RI di Pilpres 2019. Penceramah asal Riau tersebut beralasan ingin fokus menjadi ustadz hingga akhir hayat.

Prabowo dihadapkan pada satu pilihan, mengajak Salim Segaf untuk sama-sama berjuang di Pilpres 2019. Akan tetapi, Prabowo tak serta merta menyetujui pilihan hasil ijtima’ tersebut. Alih-alih langsung mendaftar, malah sempat muncul beberapa nama lain yang digadang-gadang lebih tepat mendampingi Prabowo di posisi cawapres. Nama-nama tersebut antara lain Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono. Anies adalah Gubernur DKI Jakarta, sementara AHY merupakan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kosgama) yang dibentuk Demokrat.

Kemunculan nama-nama ini bukan tanpa alasan. Prabowo butuh nilai tambah agar elektabilitasnya mampu mengalahkan petahana. Akhirnya, Prabowo malah menggaet Sandiaga Uno. Sementara Joko Widodo justru merangkul Ketua Umum MUI, Kyai Ma’ruf Amin. Besar dugaan, manuver Jokowi tersebut untuk meredam sorotan publik ihwal dirinya anti terhadap Islam, sekaligus menangkis serangan hoaks yang gencar dialamatkan padanya.

Pun demikian, sikap politik Jokowi tersebut kadung terlambat. Ibarat kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. Di Aceh popularitas Joko Widodo kian tergerus dengan tingkah Ahok. Hal ini kemudian terbukti ketika Pemilihan Umum (Pemilu) serentak berlangsung pada 17 April 2019 lalu.

KIP Aceh kemudian mengumumkan Jokowi-Ma’ruf hanya mampu memperoleh 404.188 suara. Sementara Prabowo menang telak di Aceh dengan perolehan 2.400.746 suara.

Baca: Abdullah Puteh Akhirnya Lolos ke Senayan

Lalu siapa pula Sudirman yang mengagetkan publik dengan perolehan 960.033 suara badan di Aceh? Sudirman adalah seorang komedian Aceh yang tenar melalui film komedi berjudul Eumpang Breuh. Berkat perannya itu Sudirman berhasil melaju ke Senayan pada Pileg 2014 lalu.

Di Pileg 2019 ini, bagi warga Aceh, Sudirman tak hanya populis dengan karakter Haji Uma saja. Namun, perannya dalam memboyong orang-orang Aceh yang bermasalah di luar daerah atau luar negeri, serta kerap mengunjungi orang sakit turut mendongkrak elektabilitas sang komedian jauh di atas Joko Widodo sang Presiden RI, dan Kyai Ma’ruf Amin sang Ketua MUI.

Rekapitulasi suara di tingkat provinsi telah selesai. KIP Aceh menuntaskan perhitungan suara tepat pada Senin, 13 Mei 2019 pukul 01.00 WIB. Komisioner KIP Aceh, Munawarsyah, mengatakan, hasil akhir tersebut sesuai dengan data rekapitulasi dari 23 kabupaten/kota seluruh Aceh.

“Hasil ini akan kami bawa ke Jakarta (KPU RI) besok untuk diplenokan di sana,” katanya. Hasil yang sangat menyakitkan bagi sang petahana, tetapi menggembirakan bagi Haji Uma.*(RED)

Shares: