HeadlineNews

Pemerintah Optimis Kopi Gayo Kian Mendunia

BANDA ACEH (popularitas.com) – Sebanyak 80 Persen kebun kopi di Tanah Gayo saat ini dikelola oleh masyarakat. Kendati ada beberapa lahan yang dikelola perusahaan besar, tetapi jumlahnya relatif kecil.

“Karena itu keberhasilan Aceh mengembangkan kopi Arabica merupakan keberhasilan rakyat dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada di Tanah Gayo. Semangat ini harus kita tingkatkan agar kopi Aceh semakin mendunia,” kata Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, saat membuka pertemuan Forum Kopi Arabica Aceh, di rumah dinas Plt Gubernur Aceh, di Banda Aceh, Jumat, 28 Juni 2019.

Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh diketahui, setiap tahunnya Tanah Gayo mampu mengekspor biji kopi ke 18 negara. Diantaranya Korea, China, Jepang, Hongkong, Malaysia, Singapura, Amerika dan Australia. Sementara total nilai ekspor untuk kopi mencapai 52 juta US$. Adapun jumlah masyarakat petani yang terlibat dalam usaha Kopi Gayo ini mencapai 78.624 KK dengan luas lahan 101.473 Ha. Total produksi kopi Arabica Aceh ini mencapai 61.761 ton per tahun, dengan rata-rata produktivitas 773 ton/hektar.

Selain Arabica, masyarakat Gayo juga menanam biji kopi jenis Robusta, khususnya di kawasan yang suhunya relatif hangat. Luas kebun kopi Robusta di Gayo berkisar 22.276 hektar. Jumlah ini memang relatif kecil dibanding kopi Arabica. Namun, menurut Plt Gubernur, daya tarik kopi Robusta Gayo juga tidak bisa dipandang enteng. Kombinasi antara kedua jenis kopi membuat Gayo semakin terkenal dengan kopinya.

“Saya sangat optimis kalau permintaan internasional akan kopi Gayo terus meningkat, terutama setelah melihat perilaku masyarakat Eropa yang sangat candu dengan kopi. Dengan jumlah penduduk mencapai 500 juta jiwa dan konsumsi kopi rata-rata 5 kg per kapita per tahun, Uni Eropa merupakan pasar potensial bagi kopi Aceh. Kita tentu akan memanfaatkan peluang ini untuk mempromosikan kopi Aceh di pasar dunia. Dalam rangka memperluas pasar ini, tentu langkah-langkah inovasi harus kita kembangkan agar pergerakannya tidak stagnan,” katanya.

Untuk mendorong meningkatnya produktivitas Kopi Arabica Aceh, pada tahun 2017 Pemerintah Aceh mendapat dana dari APBN yang dikelola oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, yang digunakan untuk penanganan pasca panen dan pengelohan kopi di Bener Meriah dan Aceh tengah.

“Kita juga mengembangkan pelatihan bagi petani tentang sistem pengembangan kopi di dua wilayah itu,” kata Nova.

Sementara di tahun 2018, dengan menggunakan dana APBA, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh melakukan kegiatan rehabilitasi tanaman kopi seluas 230 hektar di Aceh Tengah dan 175 hektar di Bener Meriah. Selain itu, ada pula peremajaan areal seluas 250 hektar di 3 (tiga) kabupaten Tanah Gayo itu.

Untuk tahun ini, kata Nova, ada pula pengembangan kopi Arabica rakyat di Aceh Tengah seluas 300 hektar dan pemeliharaan tanaman kopi rakyat di wilayah yang sama, di areal seluas 680 hektar. Program yang sama juga dilaksanakan di Bener Meriah untuk areal seluas 1.255 hektar dan di Gayo Lues seluas 400 hektar.

“Dengan program itu, kita berharap produksi kopi Gayo lebih meningkat di tahun-tahun mendatang. Tapi kita juga harus ingat, bahwa persaingan pasar kopi dunia cukup ketat. Beberapa negara penghasil kopi, seperti Brazil, Jamaika, Chili, Afrika dan sebagainya, juga menyasar pasar yang kita tuju,” ungkap Nova.

Di tengah persaingan itu, kata Plt Gubernur, bukan tidak mungkin kampanye hitam terhadap kopi Aceh akan mencuat. Menurutnya semua kemungkinan itu harus diantisipasi sejak dini.

“Karena itu, forum ini sengaja kita selenggarakan untuk membahas langkah-langkah yang perlu kita rancang ke depan guna meningkatkan kualitas, produktivitas dan perluasan pasar Kopi Arabica Aceh. Melalui pertemuan ini, kita juga berharap bisa lahir ide-ide yang mampu meningkatkan ekonomi petani, pedagang dan pelaku agribisnis kopi Aceh.
Kemitraan antara petani dan pengusaha juga perlu kita perkuat. Dengan demikian kopi Arabica Aceh bisa menjadi daya tarik bagi pengembangan investasi sektor agroindustri
di daerah kita,” ujarnya.

Ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan dalam Forum Kopi Aceh tersebut. Pertama, para peserta berharap adanya peningkatan dana APBA/APBN tahun 2020-2024 untuk sektor produktif petani kopi. Selanjutnya, peserta juga berharap adanya dukungan dari pihak perbankan, terutama dalam hal pengendalian hama atau penyakit bagi pengusaha kopi dan industri kopi dari green bean.

Selain itu, para peserta forum juga menyepakati adanya program replanting kopi di atas 1.000 mdpl. Tak hanya itu, pemerintah juga diharapkan menyalurkan bantuan benih kopi bermutu, mengadakan alat pengolahan pupuk organik, membangun prasarana pengairan untuk daerah yang memerlukan air, serta memudahkan kredit usaha tani.

Program lainnya yang muncul dalam forum adalah perlunya pembangunan kebun induk dan kebun entres kopi, serta memperbanyak penangkar kopi rakyat.

Lebih lanjut, Forum Kopi Aceh juga sepakat adanya program perbaikan pasca panen kopi rakyat, pengembangan kelembagaan koperasi petani kopi, dan memberikan bantuan sarana pasca panen kepada koperasi petani kopi, serta beberapa saran positif lainnya dalam hal mengoptimalkan budidaya kopi Gayo.*

Shares: