News

Pemerintah Diminta Tinjau Ulang IUP PT LMR di Linge

Ilustrasi hutan | Pixabay

BANDA ACEH (popularitas.com) – Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-Ko) meminta pemerintah untuk meninjau ulang rencana pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Linge Mineral Resource (LMR) seluas 9.684 Ha di kawasan Linge, Aceh Tengah. Pihak pemerintah juga diminta untuk mengevaluasi IUP tersebut demi keberlangsungan masyarakat Gayo.

“Lokasi pertambangan emas itu merupakan tempat bersemayam raja-raja Linge. Salah satu daerah cikal bakal lahirnya masyarakat Gayo, suku tertua di Aceh. Hal inilah yang menjadi alasan kuat menolak tambang,” kata Koordinator Jang-Ko, Maharadi, dalam siaran pers yang diterima popularitas.com, Selasa, 28 Mei 2019.

Dia menyebutkan keputusan ini lahir setelah dilaksanakannya diskusi yang diikuti oleh sejumlah elemen masyarakat di Gayo. Diskusi yang digelar di Gedung Pendari Aceh Tengah ini juga dihadiri oleh perwakilan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Balai Arkeologi (Balar) Medan dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Maharadi turut membeberkan data rencana usaha atau kegiatan dalam rangka studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan alias AMDAL yang melatarbelakangi IUP PT LMR tersebut. Dalam data ini diketahui perusahaan itu menjalankan rencana penambangan dan pengolahan bijih emas dengan target produksi maksimal 800.000 ton/tahun.

Sementara lokasi proyek penambangan berada di Desa Lumut, Desa Linge, Desa Owaq dan Desa Penarun. Keseluruhan desa ini masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.

Maharadi mengatakan, masyarakat di Kecamatan Linge merupakan kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah tersebut. Secara geografis, kata dia, Linge merupakan wilayah bekas sebuah kerajaan tempo dulu yang pernah berdiri di Aceh.

Masyarakat di Linge, menurutnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Dia mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan berdampak terhadap kerusakan lingkungan, punahnya kopi Gayo akibat cuaca ekstrem yang ditimbulkan aktivitas pertambangan, seerta hilangnya budaya dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat di Linge dan Gayo.

“Wilayah adat Linge seluas 186.266,36 ha merupakan titipan leluhur Kerajaan Linge, dan daerah tersebut secara turun-temurun dimiliki dan dikelola secara lestari hingga generasi sekarang,” katanya.

Akan tetapi, kata Maharadi, aktivitas masyarakat terganggu sejak PT LMR mendapatkan IUP Eksplorasi pada tahun 2009 dengan nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009 dengan luas area 98.143 hektare di Kecamatan Linge dan Bintang Aceh Tengah.

Dari luas tersebut, kata dia, sebanyak 19.628 hektare berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan hutan lindung (HL). Sementara sisanya yaitu 78.514 hektare berada di kawasan Hutan Produksi.

“Izin PT. LMR tidak sesuai dengan RTRW Provinsi Aceh dan RTRW Kabupaten Aceh Tengah, karena wilayah tersebut bukan wilayah pertambangan,” katanya lagi.

Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi diskusi yang digelar di Gedung Pendari. Diskusi tersebut menurutnya untuk mendukung dan mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman pertambangan oleh perusahaan.

Lebih lanjut, Maharadi menyebutkan, berdasarkan RTRW hanya 23 persen wilayah kabupaten Aceh Tengah yang masuk Areal Penggunaan Lain (APL). Sementara 77 persen adalah kawasan hutan.

“Apabila perusahaan mendapatkan izin untuk beraktivitas, wilayah pembangunan untuk masyarakat Aceh Tengah seperti lahan pertanian kopi akan semakin mengecil,” ungkapnya.

Aktivitas perusahaan tambang juga dinilai akan merusak hutan yang telah dijaga dengan lestari. Padahal hutan tersebut berdampingan dengan usaha perkebunan kopi arabika Gayo, yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Terlebih wilayah tersebut juga adalah situs sejarah kerajaan Linge yang wajib dijaga. Menurutnya nilai-nilai ini sangatlah penting untuk kehidupan masyarakat Linge.

“Dengan adanya nilai nilai tersebut, kawasan ini mempunyai potensi besar untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan adat, dimana masyarakat bisa mengelola hutan dan mengedepankan nilai kearifan lokal masyarakat adat Gayo. Penetapan hutan adat menjadi solusi bagi masyarakat Linge agar mampu hidup berdampingan dengan alam serta untuk melindungi tanah-tanah adat dari jamahan tangan-tangan perusak di masa depan. Menurut kami, upaya penetapan Kawasan Hutan Adat sangat mendesak, karena di dalamnya terdapat rumah penduduk, lahan pertanian masyarakat dan beberapa situs budaya,” jelas Maharadi.

Dia berharap dengan diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019, kawasan hutan negara yang sudah diusahakan oleh masyarakat itu akan diusulkan menjadi Hutan Adat atau Hutan Hak.

“Dengan menimbang berbagai dampak jangka panjang akibat adanya eksplorasi dari perusahaan tersebut bagi kesejahteraan masyarakat dari perkebunan kopi, nilai nilai sejarah Kerajaan Linge, dan potensi besar pengusulan hutan adat di kawasan tersebut, maka kami menilai bahwa rencana pemberian IUP PT. LMR perlu ditinjau ulang dan dievaluasi kembali demi keberlangsungan masyarakat Gayo,” tutup Maharadi.*(BNA/RIL)

Shares: