News

Pemerintah Awasi Distribusi Pupuk Bersubsidi

JAKARTA (popularitas.com) – Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengawasi distribusi pupuk, salah satunya dengan menerapkan enam prinsip utama yang disebut 6T.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy menjelaskan, 6T adalah prinsip tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu.

“Prinsip 6T ini juga untuk mengimplementasikan rekomendasi yang diusulkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” ujarnya seperti keterangan tertulisnya, Sabtu, 18 Januari 2020.

Dari rekomendasi tersebut, lanjut Sarwo, Kementan akan mendesain pola penyaluran pupuk bersubsidi langsung kepada petani.

Kementan juga terus membenahi sistem distribusi pupuk bersubsidi agar prinsip 6T terpenuhi, salah satunya lewat e- Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dan penerapan kartu tani serta memperketat pengawasan.

Kementan meminta dukungan semua pihak, terutama aparat, untuk mengawal distribusi pupuk bersubsidi sehingga tidak ada penyalahgunaan.

“Kita sudah menjalin kerja sama dengan pihak kepolisian dan TNI untuk mengawasi peredaran pupuk subsidi,” lanjutnya.

Tak hanya itu, Sarwo berpesan agar masyarakat turut mengawasi dan tak segan-segan melaporkan ke pihak berwenang bila ada kejanggalan.

Selain itu, pemerintah melalui Kementan dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan harga pokok penjualan (HPP) tunggal sebagai acuan maupun evaluasi pembayaran.

Setelah itu, Kementan pun meminta Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) untuk meningkatkan peran supervisi terhadap pengadaan dan pengawasan penyaluran di tingkat anak perusahaan.

Adapun, pupuk bersubsidi diatur dalam Surat Keputusan Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Pebruari 2003, tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian.

“Dalam Pasal 1 peraturan tersebut dijelaskan, pupuk bersubsidi pengadaan dan penyalurannya mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah,” ujar Sarwo.

Anomali subsidi pupuk

Sementara itu, Dosen IPB yang tidak dijelaskan namanya menulis analisa anomali subsidi pupuk yang menyebut lahan baku menurun tetapi kebutuhan pupuk tetap meningkat.

Kementan pun mengklaim penggunaan pupuk sudah sesuai dengan alokasinya mengingat kebutuhan pupuk tidak hanya didasarkan pada luas lahan baku sawah, tapi juga soal luas pertanaman.

Sarwo menjelaskan, luas pertanaman adalah luas lahan baku dikalikan dengan indeks pertanaman (IP/crop intensity) atau berapa kali petani tanam dalam setahun.

“Umpamanya, luas lahan baku 7 juta hektar, petani tanam sekali setahun, berarti luas pertanamannya 7 juta hektare, jika 2 kali luas pertanamannya menjadi 14 juta hektar, dan menjadi 21 juta hektar jika ditanam 3 kali setahun,” jelasnya.

Untuk itu, turunnya lahan baku sebesar 600 ribu hektar (pada tingkat 1,7) akan masih sangat lebih kecil dibandingkan peningkatan luas pertanaman akibat naiknya indeks pertanaman yang sudah melebihi 2 (IP 200).

“Pertambahan luas tanamnya 0,3 x 7 juta hektar setara 2,1 juta hektare. Yang dengan demikian kebutuhan pupuk pasti meningkat,” kata Sarwo.

Faktanya, ia melanjutkan, jumlah kebutuhan pupuk subsidi yang diajukan petani melalui RDKK selalu jauh lebih tinggi dari alokasi yang disetujui DPR RI merujuk paxa kemampuan keuangan pemerintah.

Lebih lanjut, sesuai hasil validasi terakhir dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPB) serta Kementan menyepakati luas lahan baku sawah seluas 74.463.948 hektar.

Sementara itu, dalam 5 tahun terakhir, alokasi pupuk bersubsidi pads 2015-2019, sebagai berikut: tahun 2015 alokasi pupuk sebesar 9,5 juta ton dengan anggaran Rp 28,2 miliar.

Pada 2016, alokasi pupuk yang diberikan sebesar 9,5 juta ton dengan anggaran Rp 30 miliar dan pada 2017 alokasinya sebesar 9,5 juta ton dengan anggaran Rp 31,1 miliar.

Sementara pada 2018, alokasi pupuk sebesar 9,5 juta ton dengan anggaran Rp 28,5 miliar dan pada 2019 alokasi pupuk sebesar 8.874.000 ton dengan anggaran Rp 27,3 miliar.

“Kalau melihat dari luas lahan baku sawah untuk dihubungkan ke subsidi, sebenarnya tidak semua dari hal tersebut. Sebab, selain sawah juga sub sektor lainnya ada juga yang menggunakan,” ujar Sarwo.

Ia menilai tulisan tentang anomali subsidi pupuk tersebut kurang tepat untuk menganalisa permasalahan.

Selain itu, imbuh dia, pendapat akademisi itu tidak merujuk pada data, fakta, dan bisnis proses subsidi pupuk.*

Sumber: Kompas.com

Shares: