Feature

Pedagang yang Digusur Zaman

LAKI-laki berkemeja putih itu telah mendaratkan seribu jurus rayu. Namun perempuan paruh baya yang duduk di bangku kecil di hadapannya, masih kekeh dengan harga yang ditawar.

“Ya udalah kak, ini untuk kakak ya, harga untuk pelanggan nih. Rp450 ribu bungkuslah,” ucapnya.

“Rp400 ribu aja lah. Apa mahal-mahal kali,” sanggah balik perempuan itu sembari tersenyum.

“Janganlah kak. Han sep keujeulame meunyoe bit nan (tidak cukup ke mahar kalau segitu),” timpal balik laki-laki itu dengan raut wajah memelas.

Keduanya lantas berbarengan tertawa.

Begitulah percakapan yang terjadi antara pembeli dan pedagang sore itu, Jumat, 24 Mei 2019, di sebuah toko pakaian perempuan di Pasar Aceh, Banda Aceh. Tawar-menawar berlangsung alot. Sesekali dilempari dengan rayuan. Si pedagang mempertahankan harga biar dapat untung. Si pembeli tak mau kalah, mengincar pakaian idamannya dengan harga yang pas di kantong.

Riuh rendah suara pembeli dan pedagang di Pasar Aceh memenuhi bangunan tiga lantai tersebut.

Di lantai tiga, tepat di blok pedagang baju perempuan, di sanalah Rizal Fahmi (29) menggelar lapak dagangannya. Ia mendiami toko berukuran 3×4 meter. Tampak beberapa manekin dibalut abaya, gamis, dan aneka macam pakain muslimah lainnya, mematung menyambut pembeli di toko milik laki-laki yang sudah berjualan baju di Pasar Aceh sejak 10 tahun lalu itu.

“Coba dulu, keluarkan yang lain, yang lagi ngetrend.”

“Oh hai kak meutuah, memang ini lah kak yang lagi banyak dicari, model Nissa Sabyan pakai,” kata Rizal, seraya menyodorkan baju muslimah motif terusan sederhana ke muka perempuan itu.

Tahun ini kata Rizal, banyak masyarakat, khususnya perempuan muda dan ibu-ibu melek fashion, gandrung mencari baju santun yang dipakai pelantun tembang Deen Assalam tersebut. Berkat suaranya yang lembut ketika bernyanyi, dan punya wajah rupawan berbalut hijab, Nissa Sabyan cepat mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Dan seketika menjadi kiblat mode baju lebaran 1440 Hijriah. Termasuk di Aceh, daerah paling ujung Barat Indonesia.

“Kalau yang lain, orang banyak minta kayak model baju Shireen Sungkar,” tambah Rizal lagi.

Atas dasar itu lah, mulutnya tak berhenti menyapa pelanggan yang melintas di depan toko dengan melempar nama dua artis tersebut.

“Singgah kak, singgah. Ada Nissa Sabyan, Ada Shireen Sungkar juga nih,” ucapnya.

Sekali dua bujuk rayu Rizal berhasil menarik pembeli mampir. Namun menurutnya, menjelang 10 hari lagi lebaran, Pasar Aceh sepi.

“Tahun ini beda, bang. Biasanya pertengahan Ramadan begini sudah ramai. Tapi ini sepi,” keluhnya.

Dia menduga, salah satu penyebabnya mungkin Tunjangan Hari Raya (THR) sebagian masyarakat yang belum diterima. Akan tetapi Rizal juga sadar betul, ada pola belanja yang berubah di masyarakat sekarang.

“Belanja online itu membuat kita-kita di sini jadi sepi, bang,” paparnya.

Lain lagi saingan yang datang dari pedagang buka lapak tanpa bayar pajak. Rizal mencontohkannya seperti pedagang yang berjualan di pinggir jalan dan hanya bermodalkan mobil.

“Di jalan-jalan itu coba lah lihat, di Ulee Lheue misalnya sore hari,” sebutnya.

Dulu kala menjelang Hari Raya, dari pagi sampai sore begini Rizal bisa mengantongi uang Rp8 juta- Rp10 juta. “Tahun ini standarlah kita bilang Rp5 juta, itu pun kalau ada.”

Senada dengan Rizal, Ira Agustina (38) pedagang lainnya di Pasar Aceh mengaku tahun ini pengunjung memang menurun. Namun ia tidak terkejut dengan hal itu. Jauh-jauh hari saat heboh belanja online di Indonesia merebak, dia sudah memprediksi akan punya efek terhadap pedagang di toko.

“Kita udah baca itu, tapi ya kembali lagi, rezeki udah ada yang atur, kan,” katanya.

Perilaku belanja masyarakat kini memang bergesar ke belanja online. Terutama banyak digandrungi kalangan usia muda. Hal itu pun turut membuat pedagang mengikutinya. Secara fisik, memang tidak diperlukan lagi toko, cukup memanfaatkan sosial media saja. Namun pedagang harus dua kali lipat bekerja. Mereka harus mendeskripsikan pakaian sampai ke hal yang terkecil.

“Ribet dek, kita harus foto, harus kasih tahu ini itu lah, detailnya lah. Belum lagi kalau pelangganya chat tengah malam. Harus juga dilayani kan,” tutur Ira.

Soal kerumitan itu yang membuat dirinya masih bertahan berjualan di Pasar Aceh. Ia tak ingin ikut-ikutan pedagang online. Sekalipun saban bulan Ira harus mengeluarakan uang kebersihan dan keamanan sebesar 400 ribu rupiah, belum lagi per tahun uang sewa sebesar Rp6 juta setengah atas lapak seluas 4×4 meter yang didiaminya. “Udahlah, kita pelangganya biar emak-emak saja,” ujurnya tersenyum.

Ira juga menuturkan, faktor lain yang membuat sepi lapak pedagang di Pasar Aceh adalah boomingnya fashion Bangkok. Trend belanja di kalangan anak muda yang marak belakangan ini.

Mereka sembari melancong ke Bangkok, juga menyempatkan diri mengunjungi pasar-pasar di sana. Menurut Ira, hal itu dilakukan oleh anak-anak muda tersebut karena diuntungkan oleh harga tiket dari Aceh ke Bangkok yang lumayan murah, tenimbang dari Aceh ke Jakarta.

“Kalau udah belanja ke Bangkok gitu udah wah ya, udah dianggap keren sama orang sekarang. Makanya dibilang fashion Bangkok,” urainya.

Sekalipun kini banyak anak-anak muda yang enggan berbelanja ke pasar, Ira tetap memasok pakaian untuk mereka di tokonya. Pakaian itu didatangkannya dari Jakarta. Ia percaya satu dua anak muda, masih senang bertransaksi langsung di pasar.

Jenis pakaian yang dipasok Ira untuk kalangan muda, mulai dari model blues, kaftan, blouse tonik, abaya, gamis, dan jenis pakaian yang populer tahun lalu, baju syar’i.

“Tahun ini tuh yang paling laku gamis-gamis yang simple-simple gitu. Orang-orang udah nggak mau ribet kali ya,” ujarnya.

Ira menyebut, kalangan pembeli yang mampir ke tokonya, kerap menanyakan gamis yang sederhana. Bertolakbelakang dengan tahun lalu, banyak kaum perempuan lebih menyukai kaftan terusan yang dibubuhi payetan dan corak motif beragam.

Mereka yang ingin tampak rupawan di hari lebaran nanti, akan tetapi tak mau berurusan dengan hal ribet, cenderung memilih gamis berwarna hitam. “Sekarang lagi in gamis-gamis Dubai warna gelap gitu,” tutur Ira.

Soal pakaian perempuan yang bisa diterima semua usia, dirinya memberi tahu satu pengetahuan penting kepada saya. Perempuan yang nyaris satu dekade berjualan pakaian itu berseloroh, “momen lebaran begini, pakaian yang masuk ke semua usia adalah abaya. Dari nenek-nenek sampai yang muda-muda, cocok. Bentuknya simple, casual, dan terlihat elegan.”

Untuk mendapatkan satu abaya, Ira menuturkan pembeli harus merogok kocek 300-500 ribu rupiah. “Standar harga abaya segitu lah,” ujarnya.

30 menit berbicara dengannya, saya lalu minta izin pamit. Sebelum pulang, Ira coba menggoda saya, “Beli lah dek, untuk mamak di rumah. Kita kasih murah-murah aja nih,” katanya merayu. Saya cuma tersenyum.

Dari lantai tiga pusat pakaian di Pasar Aceh, saya lalu turun ke bagain bawah ke lapak pedagang jilbab. Di sana saya melihat Azhari (27) tengah sibuk melipat-lipat jilbab dagangannya.

Melihat tak ada pembeli yang harus dilayaninya, saya memberanikan diri mengajak Azhari berbicara. Laki-laki asal Aceh Besar itu pun menyambut saya ramah.

Tahun ini, banyak perempuan kata Azhari, lebih senang dengan jenis jilbab persegi empat. Selain bentuknya yang polos, jilbab segi empat ini lebih elegan kelihatannya. Dan juga mudah saat dipakai.

“Anak-anak muda sukanya yang model begini. Mudah digunakan. Ada juga memang yang suka phasmina,” sebutnya.

Lain lagi selera ibu-ibu. Mereka lebih menyukai model jilbab berenda. Punya motif payetan dan pernak-pernik, hal itu tampak memikat karena sesuai dengan pakaian yang dipakai saat lebaran. “Kesannya kan lebih mewah.”

Semua jenis jilbab di toko Azhari didatangkan dari Tanah Abang, Jakarta. Kisaran harganya bervariasi. Mulai dari puluhan sampai ratusan ribu rupiah. Namun Ia mengakui, dari sekian banyak jenis jilbab yang dijual, yang paling banyak laku adalah jilbab persegi empat.

“Padahal harganya murah. Kisaran 40 sampai 60 ribu. Harganya tergantung jenis kainnya sih. Mungkin karena simple ya, jadi orang banyak suka. Warna-warnanya pun mungkin mempengaruhi, sebab lebih soft,” katanya.

Saat saya singgung tentang pembeli di Pasar Aceh yang santer diakui pedagang di sana menurun, Azhari pun tak menampik. Menurutnya hal itu terjadi karena efek ekonomi di Indonesia kini yang tak stabil. Pola belanja online masyarakat pun katanya juga jadi sebab.

“Kini kan gampang ya, tinggal duduk di rumah barang bisa sampai.”

Mau tak mau, penjual di pasar seperti Azhari, Ira, dan Rizal harus putar otak mengakali biar mendapat untung dari barang dagangannya. Mereka terkadang, untuk menggaet pembeli terpaksa menurunkan harga barang.

“Untung-untung sedikitlah. Tapi itu juga bikin pusing, kita harus bayar lapak, bayar keamanan dan kebersihan. Disitulah banyak pedagang di Pasar Aceh gulung tikar. Coba lihat itu di samping,” tunjuk Azhari dengan ekor matanya ke lapak jilbab yang persis berada di sisi kanan lapaknya.

Saya memperhatikan lapak pedagang itu. Sekelilingnya direntang kain berwarna hijau tua. Tumpukan jilbab tergeletak di lantai. Manekin-manekin yang dipasangi beragam motif jilbab, mematung di sana. Tinggal menunggu dikerabuti sarang laba-laba.*(ASM)

Shares: