News

Pakar Sebut Buktikan Pelanggaran TSM Tantangan Sangat Berat Tim 02

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019) | (Liputan6.com/Johan Tallo)

JAKARTA (popularitas.com)  – Tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga memiliki tantangan dalam membuktikan pelanggaran yang didalilkan, yakni Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menyatakan, tim hukum 02 (pemohon) harus bisa meyakinkan hakim konstitusi bahwa pelanggaran TSM tersebut mampu membalikkan perolehan suara hasil pemilu presiden.

“Tim hukum Prabowo-Sandiaga harus membuktikan bahwa TSM itu benar adanya dan mampu membalikkan perolehan suara hasil pemilu presiden. Ini susah atau berat banget karena tim 02 membutuhkan sekitar 8,5 juta suara kalau ingin menang,” ujar Bivitri kepada Kompas.com, Sabtu 15 Juni 2019.

TSM, lanjut Bivitri, merupakan tolok ukur yang harus dibuktikan oleh tim Prabowo-Sandiaga agar bisa menang sengketa pilpres di MK. Dimulai dari terstruktur, misalnya, tim 02 perlu memiliki bukti adanya menteri yang memerintahkan bawahannya untuk memiliki paslon Jokowi-Ma’ruf.

Sementara pada aspek sistematisnya, seperti diungkapkan Bivitri, Bambang Widjojanto dan kawan-kawan juga ditantang bahwa terdapat perintah dari menteri yang telah didesain dari awal guna memilih paslon Jokowi-Ma’ruf.

“Untuk masifnya, tim 02 tidak bisa hanya membuktikan bahwa 100-200 orang saja yang diperintah memilih Jokowi-Ma’ruf, tapi harus lebih banyak dan signifikan untuk membalikkan suara hasil pilpres 2019,” paparnya kemudian.

Dalam sidang permohonan sengketa atau gugatan pilpres yang dibacakan tim hukum Prabowo-Sandiaga dalam sidang pendahuluan sengketa pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (15/6/2019), tim 02 memiliki argumentasi kuantitatif dan kualitatif yang disampaikan ke hakim Mahkamah Konstitusi.

Dugaan adanya pelanggaran TSM tersebut terdapat pada argumentasi kualitatif. Terdapat lima poin dalam argumentasi tersebut, yakni diduga ada penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program kerja pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, ketidaknetralan aparatur negara, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakkan hukum. (RED)

Sumber: Kompas.com

Shares: