News

Pakar Hukum USK: UU ITE Banyak Pasal Multi Tafsir

Anggota KIP Langsa diperiksa polisi terkait UU ITE
Ilustrasi UU ITE. Foto: Internet

POPULARITAS.COM – Pakar Hukum dari Universitas Syiah Kuala (USK), Mawardi Ismail mendukung jika memang Presiden Joko Widodo membuka peluang bakal merevisi UU ITE. Sebab, katanya, UU ITE memang mengandung pasal-pasal yang multi tafsir.

“Saya kurang faham tentang UU ITE, kecuali bahwa UU tersebut banyak mengandung pasal-pasal yang multi tafsir atau pasal-pasal karet, yang bisa ditafsirkan sesuai dengan keinginan penguasa,” kata Mawardi kepada popularitas.com, Rabu (17/2/2021).

Mawardi berharap, jika undang-undang tersebut direvisi, maka bisa melindungi masyarakat banyak, bukan penguasa. Undang-undang ini juga diharapkan tak disalahgunakan.

“Harapannya agar UU tersebut bisa melindungi masyarakt dari penyalahgunaan ITE,” sebut Mawardi.

Seperti diketahui, Presiden RI Joko Widodo membuka peluang untuk merivisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika penerapannya tidak menjunjung tinggi prinsip keadilan.

Salah satu alasan dilakukan revisi adalah karena ada beberapa pasal di dalam undang-undang tersebut dinilai pasal karet. Sehingga, sejumlah warga saling melapor menggunakan undang-undang itu.

Sebelumnya, alah satu korban UU ITE di Aceh, Munto Aceh Besar ikut memberi respons terkait peluang revisi tersebut. Selaku warga, Munto mengaku mendukung rencana revisi undang-undang itu.

“UU ITE penting untuk negara yang mayoritas penduduknya masih bermentalitas rendah ini, harus tetap ada,” kata Munto saat dihubungi popularitas.com, Selasa (16/2/2021).

Mento merupakan salah satu warga Aceh yang dijerat dengan UU ITE. Pada 2019 silam, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Mento dengan hukuman penjara 3 tahun, gara-gara komentarnya di facebook dianggap mencemarkan nama baik.

Mento berharap, jika memang dilakukan revisi, pasal-pasal dalam UU ITE tersebut harus lebih dipertegas lagi, terutama soal ukuran kerugian korban.

“Harapan revisi, agar bisa lebih dipertegas ukuran kerugian korban. Minimal tidak hanya berdasarkan ‘perasaan’ korban saja,” ujar Munto.

Munto memberi contoh, dalam pasal ujaran kebencian atau penghinaan misalnya, seseorang merasa terhina relatif sekali.

“Mungkin di sini UU ITE disebut UU ngaret, standarnya nggak pasti, sehingga UU ini rentan dipakai untuk kriminalisasi.

Idealnya ujaran kebencian tidak dimasukkan ke dalam unsur pidana UU ITE, cukup unsur fitnah saja yang dimasukkan. Karena fitnah itu bisa dibuktikan secara fisik, bukan berdasarkan perasaan,” katanya.

Editor: dani

Shares: