NewsOpini

OPINI: Mudik Versus Pulkam

OPINI: Mudik Versus Pulkam
Dr. Ir. Azhar, M.Sc. Dosen Tamu Akademi Pariwisata Muhammadiyah - Aceh.

 PERBINCANGAN mengenai terminologi mudik dan pulang kampung (Pulkam) masih menghiasi berbagai media cetak maupun elektronik, lebih khusus lagi, diskusi melalui media sosial semisal FB dan WA. Kedua terminologi itu menjadi viral bersebab kondisi wabah covid-19 yang masih menjadi isu hangat di kalangan rakyat Indonesia sehingga pemerintah secara pasti dan tegas melarang warga masyarakat melakukan mudik atau pulang kampung.

Mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik memiliki arti pulang ke kampung halaman. Misalnya seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. Sedangkan pulang kampung memiliki arti kembali ke kampung halaman atau mudik.

Kedua istilah tersebut sejatinya identik. Barangkali penggunaannya yang berbeda. Istilah mudik sering dikaitkan dengan pergerakan (mobilitas) warga masyarakat dari tempat domisili (bermastautin) menuju ke tempat kelahiran (tempat dibesarkan) sebelum mereka hijrah dan menetap serta mendapatkan identitas resmi yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Tulisan ini ingin menelusuri makna filosofis serta dampak terhadap sektor pariwisata akibat keluarnya keputusan pemerintah melarang mudik atau pulang kampung dalam konteks pemutusan mata rantai wabah covid-19.

Bagi kalangan pegiat dunia kepariwisataan, istilah mudik atau Pulkam analoginya sama dengan melakukan perjalanan. Inti dari wisata pada prinsipnya ada tiga, yaitu kegiatan di tempat asal, kegiatan sewaktu dalam perjalanan dan kegiatan di tempat yang dituju (destinasi). Dengan perkataan lain, para pihak akan berusaha sekuat dan semampu mungkin untuk menggerakkan manusia agar melakukan perjalanan sehingga kegiatan lainnya secara ekonomi juga ikut berpengaruh.

Perjalanan diperlukan untuk melakukan ritual seperti pelaksanaan ibadah haji, umrah dan rihlah serta melihat berbagai keindahan alam serta atraksi budaya sesuatu masyarakat.

Para ahli pariwisata sepakat memberi batasan wisata sebagai bentuk pergerakan manusia baik secara individu maupun kelompok meninggalkan tempat tinggal untuk sementara waktu kurang dari enam bulan dengan tujuan bukan untuk mencari nafkah melainkan mengunjungi sanak keluarga, rekreasi mengisi waktu luang seperti untuk mengikuti pertemuan, konferensi, pameran, dan Expo (MICE) maupun kegiatan lainnya yang sifatnya bersenang-senang (leasure).

 

Efek Pengganda dan Bijak Bersikap

Tidak dapat dinafikan bahwa inti dari kegiatan pariwisata adalah melakukan perjalanan. Pertama, pergerakan manusia membutuhkan moda transportasi (darat, laut dan udara). Sudah pasti pelarangan melakukan mudik atau pulang kampung secara langsung berdampak terhadap sektor transportasi dimana dampak dari kebijakan social distancing dan physical distancing memaksa masyarakat untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah, sekaligus penutupan lokasi wisata telah membatasi pergerakan masyarakat di luar rumah.

Kadin Indonesia mencatat penurunan omset angkutan barang telah mencapai 25–50 persen. Sementara, penurunan pada angkutan penumpang telah mencapai 75–100 persen pada seluruh moda baik angkutan antar kota maupun angkutan perkotaan. Bahkan kemerosotan omset untuk angkutan pariwisata telah mencapai 100 persen (beritasatu.com, 10/04/2020).

Laporan Wakil Sekretaris Jenderal Serikat Penyelenggara Umroh dan Haji (SAPUHI) Adji Mubarok, kondisi agen travel saat ini mengalami kerugian yang cukup besar, yakni sekitar Rp 2 triliun karena umrah disetop dengan asumsi jumlah jamaah setiap bulan dari Indonesia sekitar 100.000 dikali Rp 20 juta (Liputan6.com, Senin 16/3/2020).

Jika demikian skenarionya, maka usaha ekonomi riil masyarakat yang terkait langsung maupun tidak langsung pasti terimbas. Usaha agen penjualan tiket, biro perjalanan wisata, haji maupun umrah mengalami “gangguan ekonomi” selama covid-19 ini.

Kedua, masyarakat yang melakukan perjalanan memerlukan hotel dan restoran selama mereka berada di luar tempat tinggal. Sektor ini juga ikut merasakan dampak akibat tidak ada pergerakan serta tidak ada even (seminar, workshop, pelatihan) sehingga tingkat hunian hotel berkurang dan permintaan terhadap restoran juga berkurang.

Bisnis hotel dan restoran semakin lesu ungkap Hariyadi P Sukamdani Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), menyebut tingkat okupansi hotel di Jakarta hanya 30 persen. Artinya, 70 persen kamar tidak terisi alias kosong (cnbcindonesia.com, 13/03/2020).

Kondisi seperti ini mengharuskan pihak manajemen melakukan efisiensi mulai dari mengurangi jumlah karyawan sampai merumahkan para pekerja alias Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mengerikan! Akibatnya bakal terjadi gelombang pengangguran dan peningkatan angka kemiskinan.

Ketiga, lokasi-lokasi pariwisata harus ditutup. Ini juga hantaman terhadap pelaku wisata mulai dari pihak biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, pemandu wisata, pekerja di lokasi wisata menerima dampak yang sama akibat tidak ada kegiatan di lokasi wisata.

Secara global, tempat sakral di Mekkah juga terpaksa di tutup. Arab Saudi meminta umat Islam di penjuru dunia untuk menunggu sampai ada kejelasan lebih lanjut tentang pandemi covid-19.

Ada sekitar 2,5 juta jamaah dari seluruh dunia biasanya berduyun-duyun ke tempat suci di Mekah dan Madinah untuk melakukan ritual. Sementara itu, Arab Saudi telah menangguhkan aktivitas umrah yang memiliki skala lebih kecil dibandingkan dengan ritual ibadah haji sampai kondisi kondusif (Liputan6.com, 01/04/2020).

Bagi umat Islam dimanapun berada, perjalanan yang paling suci dan sakral adalah haji dan umrah. Dibandingkan dengan mudik dan pulang kampung sepertinya ibadah haji dan umrah menjadi idaman setiap penduduk yang telah wajib berhaji.

Mereka harus rela menunggu bertahun-tahun untuk dapat melaksanakan ibadah haji. Terkait dengan instruksi pemerintah tentang larangan mudik atau pulang kampung sepertinya cukup beralasan jika kita melihat bagaimana dinamika penyebaran dan upaya pemutusan pandemi covid-19 ini yang sifatnya global dan berkaitan antar negara dan termasuk kita juga di Aceh.

Terlepas dari silang pendapat mengenai istilah mudik dan Pulkam, sebenarnya upaya pemerintah melarang mudik atau pulang kampung tidak lain dan tidak bukan untuk memutus mata rantai penularan wabah covid-19. Harus disikapi secara cerdas dan bijaksana sebagai antisipasi jatuhnya lebih banyak korban jiwa.

Seharusnya kita arif belajar dari pengalaman negara-negara lain yang telah berhasil keluar dari wabah covid-19. Tidak mudik atau pulang kampung tidak bermakna tidak ada ikatan silaturahmi. Masih ada media sosial lain (Telp, WA, FB, Zoom Meeting) dapat dipergunakan dan hal ini tidak mengurangi kesakralan kita dalam berinteraksi apalagi ditengah-tengah wabah covid-19 ini. Semoga!

Penulis: Dr. Ir. Azhar, M.Sc.

Dosen Tamu Akademi Pariwisata Muhammadiyah – Aceh.

Shares: