NewsOpini

OPINI: Aceh dalam Bingkai Kekerasan Seksual

OPINI: Aceh dalam Bingkai Kekerasan Seksual
Firdaus Mirza Nusuary, M.A (Dosen Sosiologi Fisip Unsyiah)

– Ada apa dengan Aceh? Kenapa kasus kekerasan seksual di Serambi Makkah terus meningkat dari waktu ke waktu.

Mengutip data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh, kekerasan seksual di Aceh ada sekitar 379 kasus selama tahun 2020 dan terus bertambah.

Mirisnya bahwa pelaku adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga dan  sekitar, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, dan lingkungan sosialnya. Korban tidak hanya kalangan dewasa, tapi juga remaja, anak-anak, bahkan balita.

Perempuan dan anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya, dan anak memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Sehingga hal itu yang menjadikan anak tidak berdaya ketika diancam untuk tidak memberitahukan apa yang telah dialaminya.

Hampir dari seluruh kasus yang diungkap, pelaku adalah orang terdekat korban dan merupakan orang yang memiliki dominasi kuasa atas korban, seperti orang tua, kerabat, tetangga dan orang di lingkungan sosialnya.

Tidak ada karakteristik khusus yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Fenomena kekerasan seksual yang terus meningkat ini, menunjukkan betapa tempat yang aman di bumi Aceh ini bagi perempuan dan terutama anak seakan kian sempit dan bahkan sulit ditemukan.

Perlu disadari bahwa tindakan kekerasan seksual membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Dimana secara emosional, korban akan mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah bahkan menyalahkan diri sendiri.

Serta muncul rasa takut untuk berinteraksi dengan orang lain, selalu muncul bayangan kejadian ketika menerima kekerasan seksual, bahkan muncul keinginan untuk bunuh diri. Dan secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya.

Dampak lainnya akan memberi pengaruh terhadap perubahan perilaku, misalnya pada anak menjadi trauma secara psikologis dan bahkan memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari.

Dan pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual akan cenderung menolak hubungan seksual, dan konsekuensinya akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Belum lagi perubahan perilaku lainnya, yakni akan memilih berhubungan dengan pasangan sesama jenis, dikarenakan merasa nyaman serta aman.

Peran Masyarakat atas kekerasan seksual

Perlu adanya peran dari masyakarat di Aceh, dengan memerhatikan aspek pencegahan yang bertujuan memberikan perlindungan di tingkat akar rumput. Upaya perlindungan dilakukan dengan membangun mekanisme yang bertujuan untuk menciptakan jaringan dan lingkungan yang protektif berbasis pada komunitas masyarakat, yang sadar dan peduli pada berbagai permasalahan khususnya kekerasan seksual.

Masyarakat harus ikut membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban, dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi labelisasi untuk korban. Bentuk perlakuan tersebut sebagai perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat

Tanggungjawab Negara atas fenomena kekerasan seksual

Fenomena kekerasan seksual yang kian bertambah sangatlah memprihatikan, hal tersebut menunjukkan gagalnya Negara dalam menjamin rasa aman dan perlindungan. Negara seakan telah melakukan “pembiaran” atas kekerasan seksual yang kerap terjadi dilingkungan sosial.

Padahal Negara (pemerintah) memiliki tanggungjawab paling besar terhadap penanganan kekerasan seksual, dan sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, serta melindungi warga negaranya dari korban kekerasan seksual.

Tetapi dalam kenyataannya, meskipun sudah ada jaminan peraturan yang mampu melindungi korban, faktanya saat ini peraturan tersebut belum dapat melindungi perempuan dan anak dari tindakan kekerasan seksual.

Oleh karena itu, upaya yang harus menjadi prioritas utama untuk melindungi perempuan dan anak dari tindakan kekerasan seksual adalah dengan memperkuat hukum yang dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan dan hak korban.

Khususnya di Aceh yang memiliki dualisme hukum yang digunakan, yakni UU perlindungan anak (UUD 45) dan qanun jinayat (dalam UUPA), dan memberi pengaruh pada putusan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual.

Selain memperkuat hukum juga perlu adanya rehabilitasi sosial, sebagai proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar korban, dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat.

Dari banyaknya fenomena kekerasan seksual yang terjadi, serta persoalan penegakan hukum yang perlu penguatan dan perbaikan, saat ini Aceh darurat kekerasan seksual. Sehingga perlunya sinergisitas antara keluarga, masyarat dan pemerintah Aceh dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang kian bertambah.[]

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary, M.A (Dosen Sosiologi Fisip Unsyiah)

Shares: