Editorial

Nasib Irwandi Merujuk Yuresprudensi

Ilustrasi

SENIN, 1 April 2019 sekira pukul 19.00 WIB, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan atas terdakwa Gubernur Aceh nonaktif, Irwandi Yusuf. Agenda persidangan adalah pembacaan nota pembelaan terdakwa atau pledoi.

Pada persidangan yang disiarkan secara langsung oleh salah satu akun media sosial, pledoi Irwandi setebal 500 halaman, namun yang dibacakannya hanya tiga lembar. Intinya, Irwandi Yusuf berharap agar majelis hakim membebaskannya dari semua tuntutan jaksa terkait dugaan tindak pidana korupsi kasus dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) dengan barang bukti senilai Rp1,05 miliar.

“Saya harap bebas murni, dan hakim membebaskan saya dari segala tuntutan jaksa,” kata Irwandi dalam pledoinya.

Jaksa KPK sendiri dalam persidangan sebelumnya, 25 Maret 2019, menuntut Irwandi Yusuf 10 tahun penjara, dengan kewajiban membayar ganti rugi Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan serta pencabutan hak politik mantan petinggi GAM tersebut selama lima tahun.

Selain meminta bebas murni, dalam pledoinya, Irwandi Yusuf juga mengungkapkan sejumlah prestasinya saat memimpin Aceh periode 2007-2012, dan setelah terpilih kembali memimpin Aceh periode 2017.

“Banyak prestasi yang sudah saya lakukan untuk Aceh,” beber Irwandi Yusuf. Mungkinkah hakim membebaskan Irwandi Yusuf?

Kita ketahui bersama, bahwa majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara adalah berdasarkan surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan jaksa penuntut umum. Vonis hakim atas pemidanaan terhadap seorang terdakwa, sepenuhnya bergantung pada penilaian dan keyakinan majelis hakim atas bukti dan fakta yang terungkap di persidangan.

Sesuai bunyi Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana, maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa tersebut.

Hukum acara pidana mengatur, putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan jaksa, secara normatif tidak melanggar hukum acara pidana, ini bermakna, hakim dapat menjatuhkan hukuman kepada Irwandi Yusuf, lebih rendah, sama seperti tuntutan jasak, atau lebih tinggi dari rekuisitor penuntut umum.

Secara aturan, tindak pidana korupsi hukuman paling ringan adalah 4 tahun, dan paling berat adalah 20 tahun. Dari pengertian UU Tipikor ini, artinya, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada ancaman maksimum dalam pasal yang didakwakan dan tidak boleh menjatuhkan jenis pidana yang acuannya tidak ada dalam KUHP atau perundang-undangan lain.

Dari website milik Indonesian Corruption Watch (ICW). www.antikorupsi.org, terdapat sejumlah pengadilan tipikor yang memberikan vonis bebas terhadap terdakwa, yakni Pengadilan tipikor Makassar 20 kasus, pengadilan tipikor Pekan Baru 4 kasus, Pengadilan Tipikor Aceh 6 kasus, pengadilan tipikor Palu 4 kasus, dan pengadilan tipikor gorontalo 2 kasus.

Dari laman www.mahkamahagung.go.id, dari direktori terlihat bahwa, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tempat disidangkannya Irwandi Yusuf, sepanjang 2018 saja, setidaknya telah menyidangkan dan memutuskan 400-an perkara tindak pidana khusus korupsi.

Merujuk yuresprudensi dari ratusan kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, hanya dua kasus yang pengadilan mematahkan dakwaan lembaga anti-rasuah tersebut, yakni kasus Muchtar Muhammad, mantan Walikota Bekasi, yang diberikan vonis bebas oleh hakim, dan kemudian oleh Jaksa KPK diajukan banding ke MA, dan pada akhir putusan yang bersangkutan di vonis 6 tahun penjara.

Selanjutnya, vonis bebas bebas pengadilan tipikor Pekan Baru, yang memberi vonis bebas Suparman, bupati Rokan Hulu non-aktif. Lalu, bagaimana dengan vonis akhir Irwandi Yusuf yang ditangani jaksa KPK di Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat?

Kita tunggu saja pada Tanggal 8 April 2019, saat hakim pengadilan tingkat pertama memberikan vonis terhadap Gubernur Aceh non-aktif tersebut. Jikapun hakim menyatakan Irwandi Yusuf bersalah, yang bersangkutan masih mempunyai hak banding ke pengadilan tingkat kedua dan bahkan hingga ke MA.

Sebaliknya, jika vonis hakim tidak sesuai dengan tuntutan 10 tahun penjara, Jaksa KPK dapat melakukan banding atau kasasi ke pengadilan di atasnya. Jadi, kita tunggu saja. (RED)

Shares: