News

Muhammad Nazar: Ada yang Lebih Strategis Dibanding Bendera Aceh

BANDA ACEH (popularitas.com) – Muhammad Nazar, aktivis sekaligus Dewan Presidium Sentral Informasi for Referendum Aceh (SIRA), yang juga mantan Wakil Gubernur Aceh pada saat awal-awal masa perdamaian dan permulaan transisi konflik Aceh ke damai 2007-2012, bersyukur perdamaian di daerah tersebut sudah bertahan hingga 14 tahun. Diharapkan perdamaian yang terjadi kali ini bertahan lebih lama jika dibandingkan masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang usianya tidak mencapai 20 tahun.

“Kita doakan semoga perdamaian kali ini yang telah dihasilkan pada 2005 lalu akan terus menerus berlanjut,” ujar Muhammad Nazar melalui sambungan telepon kepada popularitas.com, dinihari Jumat, 16 Agustus 2019.

Dia menyebutkan saat ini hal paling penting bagi semua pihak adalah mengisi perdamaian Aceh dengan menjalankan setiap yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. Baik poin-poin MoU yang telah dikonversi atau diterjemahkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) ataupun yang tidak berhasil dimasukkan.

Lebih lanjut Nazar meminta rakyat Aceh termasuk mantan anggota GAM untuk memahami bahwa tidak seluruh lembaga pemerintahan RI menyetujui perdamaian di Aceh. Hal senada juga terjadi di kalangan kaum pejuang kemerdekaan Aceh. “Ada yang secara pribadi kurang sepakat, tetapi yang paling tidak sepakat dengan perdamaian adalah pihak-pihak yang ingin menuai untung dan sangat nyaman jika ada konflik, serta memperkirakan akan hilang keuntungannya jika tidak ada konflik,” ungkap Muhammad Nazar.

“Kita jangan lupakan, sebahagian komponen pemerintahan RI dan kaum ultra nasionalis RI memprotes, mengkritik dan ada yang tidak ikhlas waktu terjadi perundingan RI dan GAM. Tetapi waktu itu, SBY-JK kompak serta berhasil mempengaruhi banyak unit pemerintahannya untuk ikut mendukung,” tambah Nazar.

Karena hal itu pulalah, lanjut Nazar, pada saat poin-poin MoU Helsinki dicoba konversi dan terjemahkan dalam redaksi hukum dalam bentuk RUU PA, tentu saja tidaklah mudah, karena tidak semua komponen pemerintahan RI itu memahaminya. Menurutnya jika seluruh klausul MoU Helsinki dipertahankan, maka waktu itu berpotensi terjadi ketegangan baru, sementara rakyat sedang euforia damai kala itu. “Lagipun tidak semua klausul MoU itu perlu dikonversi dalam UU PA, karena sebagian bersifat penerapan teknis jangka pendek,” tambahnya lagi.

Dia menceritakan bagaimana situasi keamanan pada saat awal-awal GAM berupaya merajut damai dengan pemerintah Indonesia. Menurutnya perdebatan dan kecurigaan masih tinggi.

“Saya merasakan itu karena saya bersama Faisal Putra, SH dan beberapa yang lain waktu itu dipercayakan menjadi representasi mewakili GAM dalam urusan drafting, pengawasan dan negosiasi RUU PA versi GAM yang kami buat. Saya sering meminta arahan pimpinan GAM setiap ada hambatan atau kendala politis. Lalu pimpinan GAM menghubungi Wapres JK atau Hamid Awwaludin atau bahkan Marti Ahti Saari, lalu saya mendapatkan petunjuk baru, lalu kita jalankan bersama tim sesuai arahan,” beber Nazar lagi.

Dia mencontohkan beberapa hal yang tidak menyenangkan tersebut bahkan juga ditemui dari kalangan orang Aceh sendiri, yang saat itu bekerja di lembaga pemerintahan termasuk di kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kecurigaan tersebut bertambah-tambah saat mereka melakukan pembahasan usulan damai GAM di DPR RI dan Kemendagri.

“Jangankan sewaktu pembahasan di DPR RI dan Kemendagri misalnya, berhadapan dengan DPRD dan Pemda provinsi yang masih orang Aceh saja tidak mudah. Meski kala itu suasana lagi hangat dengan isu damai Aceh yang baru saja digelar dengan sukses bahkan disambut gegap gempita secara seremonial di Aceh, tetapi mentalitas birokrasi dan politisi yang bercokol di DPRD waktu itu tetap mentalitas lama, serta semua mereka dari Partai Nasional, otomatis tidak mudah lekang dari efek pengrusakan cara berfikir serta budaya politk tentang Aceh dan RI yang terlanjur tertanam puluhan tahun,” ujarnya.

Nazar menyebutkan untuk melakukan tekanan kepada pemerintah, waktu itu SIRA berkali-kali menggelar aksi demo serta kampanye untuk mengkomplain poin-poin RUU PA yang tidak sesuai MoU Helsinki hingga ke gedung DPR RI. “Jadi bicara itu memang mudah, tapi kalau sudah masuk dalam kerja perjuangan kongkrit ya jadi susah jalannya,” katanya lagi.

Dia mengaku seluruh korespondensi dengan pimpinan GAM di Swedia, draft RUU PA dan dokumen-dokumen lainnya selama proses penyiapannya masih disimpan hingga saat ini. Bahkan dirinya turut menitip dokumen tersebut ke beberapa orang lain untuk kepentingan yang mungkin saja ada di kemudian hari.

“Selain itu kita terjemahkan juga dalam bahasa Inggris karena beberapa advisor yang kita gunakan waktu itu adalah dari beberapa negara, terutama dalam hal sinkronisasi dengan MoU Helsinki yang aslinya memang berbahasa ingris. Selain ada beberapa hal dalam poin MoU Helsinki itu yang akan berkelanjutan aksinya meskipun tak berhasil dimasukkan dalam UU PA, seperti hak-hak sipil dan politik berdasarkan konvenan internasional Perserikatan bangsa-bangsa,” katanya.

Pemerintah RI, kata dia, sudah meratifikasi hak itu juga pada tahun 2010. “Kalau saya tidak salah,” katanya.

Itu salah satu klausul dalam MoU Helsinki yang diusulkan oleh SIRA melalui GAM maupun CMI. Selain klausul partai lokal. Jika klausul itu dulu tidak diadopsi oleh RI dan GAM, kata Nazar, maka SIRA mengancam tidak lagi mendukung perundingan yang sedang berjalan kala itu. “Akhirnya masuklah klausul tersebut dalam MoU Helsinki. Ada puluhan lainnya proposal dari SIRA, bahkan utusan CMI waktu itu datang ke penjara tempat saya ditahan di Lowok Waru, Malang Jawa Timur untuk mengambil proposal tertulis dan mendengar apa saja keinginan SIRA. Pelaksanaan referendum dan otonomi khusus berlimit juga kami ajukan, tapi tidak berhasil masuk secara eksplisit dalam MoU Helsinki. Banyak lagi usulan kita waktu itu. Namanya saja negosiasi, ada win win solution selalu kan. Itu yang harus dipahami,” tandasnya.

Revisi UU Itu Hal Biasa

Muhammad Nazar yang juga mantan Wakil Gubernur Aceh itu menyebutkan revisi Undang-Undang adalah hal yang biasa. Demikian pula, menurutnya, idealnya UU PA selalu masih bisa diperbaiki atau direvisi. “Tidak ada larangan untuk itu,” katanya.

Dia mengakui adanya sebagian poin MoU Helsinki yang seharusnya diadopsi dan tidak bisa ditolak waktu diajukan dulu melalui RUU PA versi GAM, tetapi justru berakhir dengan penolakan. Selain itu, sebagian muatan UU PA malah kalah spirit otonominya dari undang-undang otonomi daerah yang berlaku simetris secara nasional.
Akhirnya Nazar mengatakan setiap aksi regulasi di Aceh harus lihat-lihat dulu, lebih baik pakai UU PA atau rujuk ke undang-undang otonomi daerah saja yang berlaku nasional sebagai konsideran utamanya.

“Karena itulah saya sebagai salah seorang yang pernah ikut berkontribusi bersama kawan-kawan SIRA lainnya atau katakanlah SIRA secara lembaga yang terlibat aktif dari merintis perundingan pertama sejak 1999 yang kemudian difasilitasi HDC tahun 2000 hingga perundingan Helsinki yang sukses di 2005, tetap mengharapkan pemerintahan RI membuka diri apabila Aceh meminta revisi UU PA. Juga pemerintah harus ikhlas melaksanakan setiap kesepakatan MoU itu, termasuk UU PA,” ungkapnya.

Pemerintah RI, kata Nazar, siapapun presidennya harus selalu mengingatkan seluruh komponen lembaga negara bahwa di Indonesia ini ada beberapa daerah yang menerapkan otonomi khusus asimetris yang boleh berbeda dari daerah lain. Hal itu dijamin oleh UU 45 untuk menghargai keberlangsungan kekhususan daerah-daerah tertentu yang sudah melekat dari dulu dan menjadi bahagian kehidupan pembangunan rakyatnya seperti Aceh, Jogja, Papua dan juga DKI Jakarta.

Para menteri hingga ke bawahnya, demikian juga DPR RI dan komponen-komponen lembaga negara yang lain, kata Nazar, mestinya tak boleh melupakan bahwa Aceh memiliki UU PA. Undang-undang tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama dalam MoU Helsinki. Sehingga apapun undang-undang lain yang selevel dengan UU PA maupun aturan lain yang lebih rendah dari sebuah undang-undang, Nazar meminta jangan sampai melabrak UU PA. “Ini kan jadi potensi konflik baru lama-lama,” ujarnya lagi.

“Lebih parah lagi jika ada klausul dalam UU PA juga tak bisa diterapkan karena kecurigaan tertentu. Kecurigaan tak boleh didekati dengan aturan atau undang-undang. Itu harus ada komunikasi politik, khusus, bijak dan intens. Kan UU PA itu lahir karena konsekwensi dari perdamaian sesuai MoU Helsinki. Perdamaian itu lahir karena konflik dan perang yang mengorbankan banyak pihak setiap saat. Maka perundingan-perundingan bersifat konsultatif antara pemerintah pusat dan Aceh kan tetap harus jalan, supaya tidak ada yang stagnan. Contohnya isu bendera Aceh,” ungkap Nazar panjang lebar.

Terkait bendera dan lambang Aceh Nazar menyebutkan semua hal tersebut sudah dimasukkan dalam UUPA. Artinya, kata dia, tak perlu dirumitkan lagi. Dia kemudian mencontohkan banyak organisasi kepemudaan, perhotelan, grup sepak bola, partai politik dan yang bersifat lembaga juga menggunakan bendera. “Daerah juga boleh, apalagi telah dimuat dalam undang-undang,” katanya.

Selain itu, memahami bolehnya Aceh memakai bendera sendiri selain bendera nasional RI merupakan bahagian dari penghargaan terhadap keanekaragaman. Ini selaras dengan yang sering dikampanyekan pejabat di Republik Indonesia ini.

“Apalagi di Aceh trôh bak ureuëng pèseuta meukawén dan ureuëng meuninggai na pasang beundèra. Jadi idealnya setiap yang telah disepakati dalam MoU Helsinki baik yang sudah masuk dalam UU PA maupun yang tidak dimasukkan, ya harus dilaksanakan oleh semua pihak tanpa hambatan apapun,” katanya.

Namun dia berharap penggunaan bendera Aceh seperti yang tercantum dalam undang-undang tidak menganakemaskan lembaga tertentu. Dia bahkan menganjurkan agar Aceh menggunakan bendera yang memiliki identitas dan latar kesejarahan yang telah diakui dunia dari dulu. “Dalam hal ini, ya bendera yang pernah dibuat dan digunakan oleh Kesultanan Aceh sejak 1496, yaitu Beundèra Alam Peudeuëng. Bahkan dulu setiap kerajaan lain yang tunduk di bawah kesultanan Aceh, baik kerajaan-kerajaan di Sumatra maupun beberapa kerajaan yang ada di semenanjung Malaya, menggunakan bendera Alam Peudeueng Aceh itu selain bendera lokal kerajaan mereka masing-masing. Dan manakala mereka tak lagi jadi bagian Aceh, ya tidak dipakai lagi,” katanya.

Dia kemudian mencontohkan Kekaisaran Turki Usmani yang menggunakan bendera bulan bintang, tapi tanpa pedang. Dan menurut Nazar hal itu baru dilakukan pada tahun 1844. Sementara negara Turki menggunakannya sampai sekarang sebagai Succesor State dari Turki Usmani yang telah mengecil. “Itu mirip bendera kesultanan Aceh yang sudah lebih dulu membuat dan menggunakannya sejak 1496. Sebelumnya Turki bukan menggunakan bendera bulan bintang itu. Beberapa lambang Turki Usmani dulu juga mirip Aceh dan rata-rata lebih dahulu digunakan kesultanan Aceh,” kisah Nazar.

Menurutnya hal itu dapat dipahami karena lebih 200 tahun orang-orang Turki, elit militernya, pedagangnya, cendikiawannya secara rutin bolak balik Turki-Aceh sebagai negara koalisi setianya, dalam rangka kerjasama permanen. Pasti ada sesuatu yang dijadikan contoh atau saling mencontoh, tidak semuanya hal yang sama itu sebagai kebetulan dan belum tentu juga sama karena meniru orang lain. Setidaknya Turki Usmani dan Aceh hingga urusan lambang, bendera negara, nada musik tradisi hingga dalam urusan politik, pemerintahan, model, seni dan lain-lain ada yang hampir sama secara signifikan.

“Jadi menurut saya, bendera alam peudeung Aceh lama itu cocok menjadi bendera Aceh kembali. Historis dan lebih bisa mempersatukan rakyat. Dalam khazanah bendera-bendera yang ada dalam negara lama di dunia kan bendera alam peudeueng itu diakui sebagai bendera negara Aceh 1496-1904. Kerajaan-kerajaan lain di Sumatra dan semenanjung Malaya yang bergabung atau ditaklukkan Aceh waktu itu juga ikut menggunakan bendera tersebut. Bahkan kerajaan-kerajaan Islam kawasan Asia Tenggara yang bukan taklukkan Aceh, juga banyak mengadopsi yang secara dominan mirip bendera tersebut. Misalnya dengan dibuang pedangnya dan tinggal bulan bintang saja atau ditambah gambar lainnya,” katanya.

“Itu kan hebat dan lebih agung. Sesuatu yang sudah lebih baik saya kira untuk apa digantikan dengan sesuatu yang masih bersifat kontroversial dan memicu masalah. Substansinya damai, semua pihak bermartabat, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan harus diwujudkan serta masa depan Aceh harus lebih hebat,” tambahnya lagi.

Nazar turut mengingatkan para elit politik di Aceh agar tidak mempertahankan hal-hal yang tidak bersifat strategis. Menurutnya jika ego tersebut dipertahankan, maka Aceh akan kehabisan energi manakala nanti harus mempertahankan hal-hal yang justru jauh lebih penting untuk masa depan. “Karena dalam MoU Helsinki itu ada yang jauh lebih strategis bagi masa depan dan kesejahteraan Aceh,” katanya.

Dia juga memberi masukan kepada pihak pemerintah RI agar setiap pendapat dan keputusan rakyat dari Aceh dapat direspon dengan baik dan bijak. “Kan semua pihak sudah berpengalaman dengan konflik yang bertubi antara Aceh dan RI. Jangan sampai ketika ada rakyat Aceh yang bangkit melawan atau memberontak, barulah pemerintah RI menawarkan apa saja. Jadi perdamaian kali ini harus berujung pada aksi kongkrit memajukan pembangunan Aceh secara nyata tanpa hambatan dengan cara apapun,” pungkas Muhammad Nazar.*(BNA)

Shares: