EditorialHeadline

Misteri Kode Rekening 5.2.2.21 Pada APBA 2019

TERDAPAT mata anggaran belanja hibah dan bansos pada anggaran pendapatan dan belanja Aceh (APBA) 2019, senilai Rp1,819 triliun.

Anggaran dengan kode rekening 5.2.2.21 tersebut, dipecah dengan dua kode terpisah, yakni dengan 5.2.2.21.01 dengan judul belanja hibah barang atau jasa yang akan diserahkan kepada pihak ketiga senilai Rp1,129 triliun. Dan kode 5.2.2.21.02 dengan judul belanja bantuan sosial yang akan diserahkan kepada masyarakat/pihak ketiga, senilai Rp577,64 miliar.

Nah, kode rekening inilah yang kemudian membuat anggota DPR Aceh, Kautsar, mempertanyakan kinerja TAPA dan kepala SKPA. Menurutnya dana yang tercantum dalam APBA 2019 itu akan berpotensi menjadi SiLPA, jika tidak ada upaya serius dari Pemerintah Aceh untuk membereskan persoalan aturan pencairannya.

Kautsar menegaskan seluruh mata anggaran yang berbentuk belanja hibah dan bantuan sosial telah melalui proses pembahasan antara DPR Aceh dan pemerintah, pada saat penyusunan kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (KUA PPAS). Namun, tuding Kautsar, saat ini yang terjadi, uangnya ada, tapi tidak bisa dicairkan. Artinya ini ada persoalan.

Menurut Kautsar, proses politik dalam penyusunan APBA 2019, seharusnya dapat diterjemahkan oleh para bawahan Plt Gubernur Aceh untuk dapat ditindaklanjuti dengan baik, agar tidak ada lagi istilah SiLPA. Menurut Kautsar jika itu terjadi, bermakna menghambat pembangunan sebab uangnya tidak mengalir kepada masyarakat.

Kautsar bahkan menuding, buruknya kinerja para bawahan Plt Gubernur Aceh ini telah merusak hubungan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Kondisi ini dinilai membahayakan stabilitas politik dan pemerintahan kedepan.

“Inikan aneh, uangnya ada, dan tercantum dalam APBA 2019, jelas ada kode rekeningnya, tapi tidak bisa dicairkan dan dijalankan,” sesalnya.

Karena itu, Kautsar meminta dengan tegas kepada Plt Gubernur Aceh untuk segera melakukan langkah tegas terhadap kinerja bawahannya. Cara yang paling ekstrem, copot dan ganti kepala SKPA bermasalah.

“Mereka semua ini harus diganti karena membangkang perintah pimpinan sendiri,” tukasnya.

Kekhawatiran Kautsar tentu sangat beralasan, jika dana senilai itu menjadi SiLPA, maka potensi sisa lebih anggaran pemerintah Aceh dalam kurun waktu 2018 dan 2019 menembus angka hampir Rp4 triliun. Jumlah sebesar ini tentu dapat menggantung perekonomian Aceh, sebab uang yang semestinya dapat digunakan untuk belanja pembangunan, namun dalam praktiknya tidak terjadi.

Menyikapi persoalan tersebut, pihak eksekutif dan legislatif diminta untuk duduk dan membahas hal ini dengan memanggil tim TAPA dan SKPA terkait, guna menjelaskan alasan mengapa kegiatan tersebut tidak dapat dicairkan, dan bagaimana solusi agar dana yang peruntukannya untuk masyarakat itu dapat dieksekusi.

Polemik antara eksekutif dan legislatif terkait dengan kode rekening yang berpotensi SiLPA tersebut, semestinya dicarikan jalan keluar, bukan kemudian saling tuding dan lempar bola, serta saling menyalahkan.

Terlepas dari proses apapun, kita semua percaya, jika anggaran tersebut dapat dijalankan, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pembangunan di Aceh, dan mendorong denyut perekonomian masyarakat.

Jika kemudian persoalan yang dikhawatirkan adalah pada aspek regulasi dan payung hukum, jika kemudian ada kebersamaan antara seluruh stake-holder yang ada, terutama unsur Pemerintah Aceh, dan DPR Aceh, maka hal semacam ini pasti dapat diatasi dan didapatkan jalan keluarnya.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), tentu punya aspek pertimbangan hukum dan administrasi, untuk menyelesaikan polemik ini. Sebab, kita semua percaya bahwa, komitmen atas penyelesaian persoalan ini, akan berdampak positif bagi masyarakat dan juga pembangunan bagi Aceh.

Ayolah, duduk, dan bicara, tidak ada masalah yang tidak dapat dituntaskan, selama, semua pihak punya perspektif bersama untuk membangun Aceh yang lebih baik.* (RED)

Shares: