HeadlineNews

Menyoal Pembiayaan Bank Aceh untuk Makmur Budiman

Menyoal Pembiayaan Bank Aceh untuk Makmur Budiman
Ilustrasi. foto by afnews.com

BANDA ACEH (popularitas.com) – MAKMUR Budiman adalah sosok putra asli Aceh Besar yang saat ini memiliki lini bisnis di sejumlah sektor. Seperti properti, jasa konstruksi, dan juga pabrik kelapa sawit. Dalam kurun beberapa pekan terakhir, masyarakat disuguhkan informasi mengenai kucuran kredit yang diberikan kepada pengusaha tersebut dengan total Rp 108 miliar.

Dalam pemberitaan sejumlah media, disebutkan PT Bank Aceh Syariah menyalurkan kredit kepada Makmur Budiman untuk pembangunan pabrik sawit di Aceh Timur.

Benarkah kredit yang disalurkan tersebut prosesnya menyalahi aturan?. Untuk itu, media ini, Senin, 23 Maret 2020, menghubungi Bank Aceh Syariah, guna mencari informasi akurat tentang kredit yang diberikan perbankan tersebut, kepada Makmur Budiman.

Humas Bank Aceh Syariah, Riza, menerangkan, yang pertama, dirinya ingin meluruskan beberapa hal, yakni soal istilah kredit. Jadi begini, katanya, sejak Bank Aceh konversi menjadi syariah tidak ada lagi istilah kredit dalam konsep syariah, namun saat ini konsepnya adalah pembiayaan.

“Jadi, itu bukan kredit, tapi pembiayaan,” terangnya.

Dalam konsep pembiayaan, sebutnya, pihak Bank Aceh Syariah memberikan modal kerja untuk kegiatan produktif kepada partner. Nah, dalam hal ini, pihak yang melakukan kerjasama dengan Bank Aceh adalah PT Bumi Samaganda yang salah satu pemegang sahamnya adalah Makmur Budiman.

Kemudian, lanjutnya, yang kedua perlu luruskan, soal plafon, atau jumlah pembiayaan yang disalurkan kepada perusahaan PT Bumi Samaganda, nilainya Rp83 miliar. “Jadi bukan Rp108 miliar, seperti yang beredar selama ini,” katanya.

Dari Rp 83 miliar tersebut, sambung Riza, dibagi kedalam dua kegiatan, yakni untuk pembiayaan pembangunan dan konstruksi pabrik, senilai Rp68 miliar, serta Rp15 miliar, untuk modal kerja. Jadi, total yang dibiayai oleh Bank Aceh Syariah adalah Rp 83 miliar.

Yang ketiga, diberikan pembiayaan itu bukan kepada perseorangan, dalam hal ini Makmur Budiman. Namun kepada PT Bumi Samaganda. Bahwa, dalam kepemilikan perusahaan itu adalah punya Makmur, itu perkara berbeda.

Dan yang keempat, proses pembiayaan tersebut, telah melalui tahapan dan prosedur legal, dan tidak ada unsur yang dilanggar, baik dari analisis jaminan pembiayaan, jumlah yang disalurkan, dan juga kelayakan bisnis PT Bumi Samaganda.

Riza melanjutkan, sejak pembiayaan itu diberikan pihaknya, proses pembayaran dan bagi hasil yang diberikan perusahaan berjalan lancar, dan tidak ada masalah. “Performa pabrik kelapa sawit tersebut baik, dan lancar, baik dari sisi aset, maupun dari sisi pembayarannya,” terang Reza.

Perihal pemanggilan yang dilakukan Polda Aceh, terhadap pihak Bank Aceh Syariah, Reza membenarkan hal itu. “Iya ada dipanggil,” sebutnya. Namun, ia membantah bahwa hal tersebut dilakukan sebab pembiayaan yang disalurkan macet. Tapi, hal tersebut adalah normal, pihak penyidik hanya memintai keterangan saja terkait dengan pembiayaan yang diberikan pihaknya kepada PT Bumi Samaganda.

Selain diterpa isu kredit fiktif, banyak pihak juga menuding dalam mendapatkan pembiayaan tersebut, Makmur Budiman, menggunakan kedekatannya dengan kekuasaan, dengan tudingan adanya intervensi Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, kepada Bank Aceh Syariah, agar melancarkan hal tersebut.

Untuk itu, popularitas.com, Senin, 23 Maret 2020, mewawancarai Mahdi Muhammad, mantan Kepala Perwakilan (KpW) Bank Indonesia. Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa, dalam aturan dan regulasi perbankan saat ini, sangat tidak memungkinkan adanya intervensi atau campur tangan pihak lain dalam proses penyaluran pembiayaan, apalagi nilainya relatif besar.

Ia menyebutkan, regulasi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan sistem pengawasan yang dilakukan oleh OJK atau Otoritas Jasa Keuangan, saat ini sangat ketat, terutama perbankan yang menyimpan dana pihak ketiga atau DPK.

Dalam proses pembiayaan, secara internal, perbankan yang akan menyalurkan biaya, diwajibkan untuk membentuk komite, yang terdiri dari unsur internal, yakni direksi, selanjutnya komite legal, dan juga penilai atau aprrasial, yang bertanggungjawab terhadap manajemen resiko atau risk manajemen.

Jadi, secara praktik, pembiayaan yang nilainya puluhan milyar, tidak dapat diputuskan oleh satu atau dua orang direksi. Namun hal tersebut harus disetujui oleh seluruh komite yang dibentuk. Sehingga, pembiayaan tidak akan lolos, tanpa ada kajian dan persetujuan komite, serta penilaian kelayakan aspek bisnisnya, tambahnya.

Dari sisi pengawasan eksternal, keberadaan OJK juga sangat ketat, dalam mengawasi pembiayaan kredit, dan itu semua tercatat dan tersistem. Jadi, setiap pembiayaan yang dikeluarkan Bank Aceh Syariah, otomatis tercatat dalam sistem perbankan, dan langsung dapat dimonitor oleh OJK.

“Perbankan saat ini semua memiliki sistem, dan segalanya dimonitor oleh OJK, sangat mustahil main-main dalam hal ini,” terangnya.

Saat ditanyakan perihal dimungkinkannya campur tangan pemerintah daerah terhadap suatu pembiayaan, hal itu kembali secara tegas di tolak oleh Mahdi Muhammad. “Itu tidak mungkin, Bank Indonesia adalah otoritas moneter yang tidak bisa di intervensi, dan rasanya itu sangat mustahil,” tukasnya.

Terkait dengan kekhawatiran masyarakat tentang pembiayaan tersebut, hal itu tentu tidak perlu dipersoalkan, sebab, dalam proses pembiayaan, umumnya ditanggung resikonya oleh pihak asuransi. [red]

Shares: