FeatureHeadline

Menuju APBA 2020 Yang Berkualitas untuk Aceh Hebat

ACEH memang selalu fenomenal, provinsi ini memiliki sumber daya alam melimpah , seperti batu bara, emas, minyak bumi dan gas. Ditambah lagi sektor pertanian dan perkebunan, seperti kelapa sawit, kopi, minyak nilam, kakao, dan juga produktivitas padi yang surplus setiap tahunnya.
Azhari, SE (Kepala Bappeda Aceh).

BANDA ACEH (popularitas.com) : ACEH memang selalu fenomenal, provinsi ini memiliki sumber daya alam melimpah , seperti batu bara, emas, minyak bumi dan gas. Ditambah lagi sektor pertanian dan perkebunan, seperti kelapa sawit, kopi, minyak nilam, kakao, dan juga produktivitas padi yang surplus setiap tahunnya.

Selain memilik sumber daya alam yang besar, Aceh juga ditopang oleh faktor pembiayaan atau fiskal yang bersumber dari penerimaan dari negara, yakni APBN, APBA dan APBK. Rata-rata dari provinsi ini anggaran pendapatan dan belanjanya dari ketiga sumber itu mencapai besaran Rp80-90 tirliun setiap tahunnya.

Kaya akan sumber daya alam dan penerimaan fiskal, Aceh  merupakan provinsi yang punya faktor dukungan khusus lainnya, yakni memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh atau UUPA, keragaman budaya dan bahasa yang beragam, serta kewenangan menjalankan syariat islam, dan ditopang oleh birokrasi yang baik, serta memiliki potensi pariwisata yang luar biasa.

Miris kemudian, dengan banyaknya potensi berupa sumber daya alam, otonomi khusus, pariwisata, dan syariat islam, serta sumber fiskal itu, provinsi ini masih belum mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan rakyat belum menikmati anugerah yang Allah berikan tersebut.

Sebut saja contohnya, jika ditilik dari sumber fiskal, Aceh adalah provinsi yang anggaran daerahnya nomor satu terbesar di Sumatera dan nomor tiga terbesar di Indonesia. Miris kemudian, dengan  potensi sumber daya alam yang begitu besar tersebut, provinsi ini masih menempati posisi nomor wahid termiskin di pulau Sumatera, dan menduduki peringkat enam di Indonesia, dari 34 provinsi yang ada.

Belum lagi problematika sosial yang dihadapi provinsi ini, yakni masalah maraknya peredaran dan pengguna narkoba. Badan Nasional Narkotika (BNN) mencatat, pada 2018 terdapat 731 ribu jumlah penduduk Aceh yang perlu direhabilitasi akibat penyalahgunaan narkoba. Namun, pemerintah Aceh hanya mampu melakukan rehabilitasi sebanyak 321 orang saja.

Badan pusat statistik (BPS), mencatat, saat ini, periode September 2018, angka kemiskinan di Aceh adalah 15,97 persen, atau terdapat 831 ribu penduduk provinsi ini yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Namun secara rata-rata Pemerintah Aceh berhasil menekan tingkat kemiskinan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni, 2012 (18,58%), 2013 (17,72%), 2014 (16,98%), 2015 (17,11%), 2016 (16,43%), 2017 (15,92%), dan 2018 (15,68%).

Sementara itu, survei lembaga ini juga pada Februari 2018, mencatat tingkat pengangguran terbuka atau TPT didaerah ini mencapai 154 ribu orang, dari 2,235 juta dari angkatan kerja. Dan angka ini terus mengalami penurunan setiap tahunnya, tercatat, 2012 (9,10%), 2013 (10,30%), 2014 (9,02%), 2015 (9,93%), 2016 (7,57%), 2017 (6,57%), dan 2018 (6,35%).

Dari sisi produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga bahan berlaku (ADHB), BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh hingga triwulan I 2019 sebesar Rp38,84 triliun, atau 3,88 persen years-on years (yoy). Dan secara rata-rata tahunan kinerja pertumbuhan ekonomi Aceh terus mengalami kondisi naik turun. Yakni, 2012 (4,95%), 2013 (4,15%), 2014 (4,02%), 2016 (4,27%), dan 2018 (4,61%). Dan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, provinsi ini belum pernah mencatatkan angka pertumbuhan lima persen, atau perekonomian Aceh setiap tahunnya selalu berada dibawah angka nasional. Angka nasional rata-rata pada kisaran 5,17 persen.

 

Namun, ada beberapa capaian terbaik yang dilakukan oleh provinsi ini, yakni pada sisi menekan lanju inflasi. Walau masih relatif tinggi, namun angkanya lebih baik dari nasional, yakni pada kisaran rata-rata setiap tahunnya sebesar 1,84 persen. Sementara nasional diatas 2 persen, namun angka itu menempatkan kinerja Pemerintah Aceh dalam menekan laju inflasi terbaik nomor dua di Sumatera. Begitu juga dengan indeks Gini Ratio, Aceh mencatat angka yang baik, yakni penurunan dari 0,341 persen, menjadi 0,329 persen. Gini Ratio (GR) atau Rasio Gini (RG), adalah tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Aceh.

Indek pembangunan manusia atau IPM, kinerja ini provinsi Aceh capaiannya setara dengan angka nasional, yakni pada kisaran 71 persen. Dan berikut prosentase IPM Aceh dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni, 2012 (67,81%), 2013 (68,30%), 2014 (68,81%), 2015 (69,45%), 2016 (70,00%), 2017 (70,60%), dan 2018 (71,19%).

 

Persoalan peningkatan derajat kesehatan di Aceh juga terus mengalami perbaikan, hal ini ditandai dengan keberhasilan Pemerintah dalam mengurangi angka kematian bayi (AKI) dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Saat ini, AKI di Aceh masih besar, yakni 143/100.000 kelahiran hidup. Dan berikut kinerja dalam penurunan AKB, 2012 (184), 2013 (158), 2014 (149), 2015 (134), 2016 (167), 2017 (143).

Dan sementara, angka kematian bayi (AKB), atau bayi yang meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, juga masih tinggi, namun derajatnya terus membaik dari tahun-ketahun. AKB dihitung berdasarkan per-1000 kelahiran. Pada 2012 (10), 2013 (13), 2014 (15), 2016 (11), dan 2017 (9).

Begitu juga angka kematian neonatal atau AKN di Aceh juga masih relatif tinggi. Yakni, 2013 (10), 2014 (11), 2015 (8), 2016 (8), 2017 (7). AKN adalah jumlah bayi usia 0-28 hari yang meninggal di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup ditahun yang sama.

Persoalan gizi buruk juga menjadi masalah tersendiri di Aceh, tingkat kemiskinan masyarakat di provinsi ini yang tinggi, berpengaruh besar terhadap jumlah bayi yang terpapar kasus gizi buruk. Pada tahun 2019 saja, Dinas Kesehatan Aceh mencatat sekurangnya terdapat 3.125 balita dan anak yang mengalami gizi buruk.

Kepala Bappeda Aceh, Azhari mengatakan, dari berbagai persoalan, dan juga capaian yang ada tersebut diatas, pihaknya ingin terus memperbaiki statistik yang itu merupakan masalah, dan terus mempertahankan dan meningkatkan apa yang telah dicapai. Karena itu, kata Azhari, pemerintah Aceh harus mampu memberikan solusi melalui kebijakan fiskal guna menyelesaikan kondisi yang ada. Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, saat ini, katanya, selalu menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang efektif, sehingga anggaran pemerintah yang ada itu mampu berdampak dalam mengatasi beragam persoalan masyarakat, dan memiliki signifikansi dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan.

“Sebab itu, mulai anggaran 2020, Bappeda Aceh menginginkan APBA yang berkualitas, agar beragam persoalan yang masih menjadi tugas utama pemerintah dapat dijawab dan diselesaikan dengan kebijakan fiskal yang efektif dan tepat sasaran,” katanya.

Guna menuju APBA 2020 yang berkualitas itu, pihaknya memulainya dari perencanaan yang berkualitas juga, dengan prirotas anggaran yang tepat sasaran untuk mencapai target dan indikator pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Fokus anggaran yang berkualitas itu, tidak hanya dari sisi perencanaan dan penganggarannya yang baik, efektif dan tepat sasaran, namun pengesahan APBA 2020 pada tahun ini harus tepat waktu, katanya, dan untuk itu, Pemerintah Aceh berkomitmen untuk dapat mengesahkan anggaran 2020 pada tanggal 30 November 2019, terang Azhari.

Menjawab keinginan eksekutif yang menghendaki pengesahan APBA 2020 sesuai dengan ketentuan regulasi, Ketua DPR Aceh, Sulaiman, menyambut baik hal tersebut. Ia mengatakan bahwa, secara kelembagaan upaya tersebut mudah-mudahan dapat dijalankan, dan terdapat komitmen yang kuat antara pemerintah Aceh dan legislative.

Saya sendiri, saat ini memang masih pimpinan di DPR Aceh, namun kedepan, pasca hasil Pileg, dirinya belum mengetahui komposisi para ketua, walau begitu, dirinya akan terus mendorong komitmen kawan-kawan untuk dapat mengesahkan APBA 2020 tepat waktu. “Kita tentu punya keinginan yang sama dengan pihak eksekutif, dan mudah-mudahan secara politik hal tersebut dapat dicapai,” tukasnya.

Kembali pada proses pembahasan RAPBA 2020 ini, Azhari melanjutkan, tahapan yang dilakukan sudah sangat berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab, kata Azhari, metode penyusunan RKPA kita lakukan dengan membahas indikator kerja yang ingin dicapai, dan basisnyanya didasarkan pada target RPJM yang ingin didapatkan oleh Pemerintah Aceh.

Sebagai contoh, secara global kita ingin menurunkan angka kemiskinan, lalu, lintas SKPA apa saja yang berkaitan erat dengan capaian ini, dan kegiatan apa saja yang diusulkan agar penurunan bisa dicapai. Pun begitu juga saat kita bahas soal penurunan angka stunting, lintas sektoral apa saja yang terlibat, dan program apa yang akan dijalankan untuk mencapai target itu. Begitu juga dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam RPJM, program, sasaran, indikator, serta bentuk-bentuk kegiatan seperti apa yang diusulkan agar itu dapat tercapai.

“Nah, jadi semua usulan kegiatan benar-benar kita uji dan validasi dengan data ril dilapangan,” tukas Azhari.

Sederhananya seperti ini, Dinas Pendidikan mengusulkan pembangunan ruang kelas baru (RKB), di kabupaten A, dan sementara dari data milik Bappeda, didaerah tersebut, ruang belajar perbandingan dengan siswa sudah cukup dan melebihi, tentu usulan tersebut tidak relevan diajukan. “Nah, hal-hal seperti ini yang kita telaah para proses pembahasan RKPA 2020,” tuturnya.

Begitu juga dengan usulan kegiatan yang diusulkan dinas yang menangani persoalan pertumbunan ekonomi, jika kegiatan yang dijukan tidak ada korelasinya terhadap indikator terhadap target itu, langsung kita coret, dan meminta kepada instansi teknis terkait untuk mengusulkan kembali program yang relevan.

Nah, keterlibatan kabupaten dan kota dalam pembahasan dana otsus juga menjadi penting bagi Bappeda Aceh, sebab, ada triliunan dana yang ditransfer Pemerintah Aceh ke daerah daerah, dan usulan kegiatan yang akan dijalankan oleh pemerintah setempat, juga harus selaras dengan capaian dan target RPJM Pemerintah Aceh.

“intinya, setiap usulan, baik yang akan dijalankan oleh SKPA atau pemerintah kabupaten dan kota, harus didasarkan pada basis bukti atau evidence base planning, dan juga money follow program atau program yang berbasis pada outcome atau berdampak langsung,” paparnya.

Sebab, sambung Azhari, beragam persoalan yang ada di Aceh secara keseluruhan saat ini, tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah provinsi sendiri dalam penyelesaiannya. Butuh sinergitas dengan pemerintah kabupaten dan kota. Artinya, jangan hanya APBA saja yang berkualitas, APBK kabupaten dan kota juga harus berkualitas, Karena itu, dalam Musrenbang RKPA 2020 yang digelar pihaknya, bupati dan walikota harus juga mengusulkan program yang prioritas pada upaya pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RPJM, tambahnya.

Contohnya, sektor pertanian, untuk peningkatan produktivitas padi, SKPA terkait, yakni Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Pengairan, dan pemerintah kabupaten dan kota, harus duduk secara bersama, untuk membahas upaya apa yang harus disinkornisasi untuk mencapai target itu. Begitu juga dengan usulan program industri kecil atau IKM, maka yang mesti diusulkan adalah pabrik yang bahan bakunya merupakan komoditi andalan Aceh. “Jangan nanti diusulkan pabrik kedelai, sementara Aceh ini komoditi unggulannya padi dan jagung, seperti inikan tidak ada korelasinya,” paparnya.

Penerapan e-budgeting dalam proses penyusunan RAPBA 2020, kata Azhari, telah diberlakukan efektif, dan ini memastikan bahwa semua program dan kegiatan yang diusulkan akan terintegrasi, terinci, dari sisrem perencanaanya, hingga implementasi kegiatannya. Dan bahkan, dengan aplikasi ini, pihaknya melakukan input dan telaah usulan hingga kelevel satuan lima. Karena itu, jika adalah kegiatan yang muncul tiba-tiba tanpa pembahasan akan terlihat. “Penerapan e-budgeting ini memastikan anggaran berkualitas dan menutup ruang adanya ‘penumpang gelap’ dalam APBA 2020 nantinya,” tegas Azhari.

Secara terpisah, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, menegaskan bahwa, saat ini, angggaran pemerintah merupakan faktor terbesar dalam mendorong perekonomian Aceh, karena itu, dirinya selalu mengingatkan agar, APBA 2020 yang disusun saat ini, benar-benar berkualitas, agar setiap anggaran yang dibelanjakan bagi kepentingan publik tepat sasaran.

Untuk itu, dia meminta agar sistem e-planning dan e-budgeting benar-benar dapat menjadi pedoman, agar sistem pengganggaran yang dihasilkan dapat terintegrasi dan komprehensif. “Kita ingin APBA tahun 2020 lebih berkualitas, agar angggaran daerah sebagai stimulus perekonomian secara nyata memberikan dampak,” katanya.

Plt.Gubernur Aceh juga menyampaikan bahwa perkembangan beberapa indikator makro pembangunan Aceh menunjukkan trend yang positif. “Harus kami akui pertumbuhan itu memang tidak meningkat drastis, tetapi trend positif pembangunan di Aceh itu ada.”

Plt. Gubernur Aceh menambahkan bahwa defisit perdagangan antar daerah masih tinggi; realisasi investasi swasta masih terbatas; dan, industri pengolahan belum berkembang di Aceh. Hal tersebut di atas merupakan salah satu faktor penyebab perlambatan penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran di Aceh.

“Karenanya, saya selaku pimpinan daerah, telah memerintahkan setiap SKPA, untuk mengusulkan kegiatan dengan pendekatan  evidence based planning  dan money follow program.”

Dengan demikian, pengalokasian anggaran untuk masing-masing SKPA tidak dibatasi hanya pada pagu indikatif. Pendekatan ini akan melahirkan kompetisi yang objektif antar SKPA dalam mendapatkan besar kecilnya alokasi pagu anggaran tahun 2020.

Plt. Gubernur Aceh meyakini kompetisi tersebut mampu menghasilkan usulan kegiatan/proyek strategis dan monumental yang memiliki korelasi kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi, memperkuat konektivitas antar wilayah, menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan serta kualitas pelaksanaan Syariat Islam.

Plt. Gubernur Aceh juga mengharapkan kepada pimpinan dan anggota DPRA untuk menyepakati alokasi anggaran yang cukup bagi kegiatan/proyek strategis dan monumental pada saat pembahasan anggaran, sehingga kedepan tidak menemukan lagi kegiatan yang terbengkalai dan tidak fungsional akibat dukungan anggaran yang tidak mencukupi.

Pemerintah Aceh menyadari, untuk menyelesaikan beragam persolan yang ada, harus ada keterlibatan dunia usaha, dan dalam hal ini, dirinya selalu mengajak para pengusaha Aceh yang tergabung dalam Kadin, untuk menjadi mitra strategis dalam menghidupkan sektor swasta. “Peran swasta sangat penting, sebab, tugas pemerintah Aceh hanya menjadi stimulus,” kata Nova.

Plt Gubernur Aceh juga meminta Kadin Aceh, untuk secara bersama-sama membantu pemerintah dalam mengoptimalisasi asset daerah, agar berdayaguna dan menghasilkan pendapatan bagi Aceh. Sebab, selama ini, pemerintah Aceh direpotkan dalam perawatan aset. “Saya ingin aset daerah dapat diserahkan pengelolaannya kepada pengusaha Aceh, sehingga aset itu dapat menghasilkan, dan menyerap tenaga kerja,” kata Nova.

Menjawab hal tersebut, Ketua umum Kadin Aceh, Makmur Budiman, menyambut baik ajakan dari pemerintah untuk secara bersama-sama membangun daerah ini. Ia menyadari bahwa, investasi besar masih sangat minim di Aceh, untuk itu, pihaknya terus mendorong tumbuhnya sektor industri kecil.

Saat ini, kata Makmur, Kadin Aceh sangat fokus bermitra dengan para pengusaha disektor industri kecil, sebab sektor inilah yang dapat menggerakan perekonomian Aceh, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, katanya.

Industri kecil juga dapat menjadi pelopor dalam persoalan mengatasi penggangguran, sebab sektor ini dapat menampung jumlah tenaga kerja yang signikan jika jumlah IKM yang lahir mencapai ribuan.

Perihal pengelolaan aset daerah untuk dimanfaatkan seluasnya bagi kepentingan daerah, Makmur optimis hal tersebut dapat dilakukan. Tentu saja untuk pengelolaanya dibutuhkan landasan dan regulasi dan kepastian hukum. Sebab, katanya, penyerahan dan pengelolaan aset kepada pihak swasta juga membutuhkan investasi.

Karenanya, kata Makmur, keinginan Plt Gubernur Aceh tersebut adalah langkah maju, agar aset yang selama ini belum dimanfaatkan dengan baik, dapat didayagunakan sebagai solusi dalam menaikkan pendapatan daerah dan juga menyerap tenaga kerja. “Perlu pendataan aset-aset yang akan dikelola dan dikerjasamakan,” tukasnya. (SKY)

Shares: