EditorialHeadline

Menimbang Lockdown untuk Aceh

Asal mula Aceh dijuluki Tanah Rencong
Masjid Raya Baiturrahman salah satu ikon Kota Banda Aceh. (Dani/popularitas.com)

HINGGA 29 Maret 2020, ditemukan dua kasus pasien dalam perawatan (PDP) meninggal dunia, satu di antaranya positif dan seorang lagi belum keluar hasilnya.

Berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, setidaknya ada 37 orang PDP. Empat orang dinyatakan positif corona.

Grafik peningkatan tajam terhadap warga yang meninggal karena Covid-19 dan pasien yang dinyatakan positif, mendorong banyak pihak agar pemerintah Aceh segera memberlakukan lockdown.

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dalam keterangnya dilaman serambinews.com, menyatakan kesetujuannya agar provinsi ini diberlakukan lockdwon. Namun, katanya, tentu ada perhitungan yang matang, yakni aspek kemampuan pemerintah Aceh dan juga kebutuhan masyarakat.

Lockdown adalah terminologi atau istilah lockdown diambil dari bahasa Inggris yang berarti terkunci. Jika dikaitkan dalam istilah teknis dalam kasus Corona atau COVID-19, arti lockdown adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah atau negara. Tujuannya agar virus Corona tidak menyebar lebih luas.

Penerapan lockdwon di suatu daerah harus dikuti dengan protokol penutupan semua fasilitas publik, seperti sekolah, transportasi umum, tempat umum, perkantoran, bahkan pabrik harus ditutup dan tidak diperkenankan beraktivitas. Aktivitas warganya pun dibatasi.

Dalam perang menghadapi Covid-19, sejumlah negara telah menerapkan lockdown, seperti China, Italia, Denmark, Iran, Arab Saudi, Malaysia, dan terakhir Spanyol.

Nova melanjutkan, saat kebijakan lockdown diterapkan nanti di Aceh, tentu seluruh akses tertutup, baik udara, darat, maupun laut. Sementara masih banyak hal yang mesti dipertimbangkan untuk memasok alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, obat-obat dan kebutuhan lainnya.

“Ini sedang kita hitung, termasuk simulasi jika kebutuhan pengangkutan kita gunakan pesawat carter,” terang Nova.

Yang kemudian menjadi pertanyaan penting, seperti apa kesiapan pemerintah Aceh, jika lockdown ini berlakukan, dan dampak sosial ekonomi yang akan terjadi kedepan.

Penerapan lockdown akan berimbas pada pentutupan seluruh fasilitas, baik perkantoran, pusat bisnis, dan usaha-usaha lainnya, seperti pasar, dan juga sektor lain, terkecuali rumah sakit, dan apotik.

Imbas dari kebijakan ini harus diikuti dengan merumahkan seluruh pekerja disektor formal dan informal, tidak boleh ada sama sekali aktivitas di luar rumah, semua warga wajib tinggal dan berdiam diri di rumah.

Dampaknya, gerak ekonomi akan stagnan. Konsekuensinya pemerintah wajib menyediakan kebutuhan pokok terhadap warga terdampak secara langsung. Mari kita berhitung, seberapa besar kemampuan fiskal daerah untuk menghadapi situasi ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Aceh pada 2019 adalah 5,371 juta jiwa. Untuk memenuhi kebutuhan harian, berupa makanan pokok, jika kita hitung, setiap orang, 0,30 kilogram perorang/hari.

Jika jumlah penduduk Aceh adalah 5.371 juta jiwa, maka kebutuhan beras untuk satu hari adalah 1.611.300 kilogram, atau setara 1.611,3 ton.

Nah, jika lockdown diberlakukan selama satu bulan atau 30 hari, maka kebutuhan beras yang harus disiapkan pemerintah Aceh 1.611,3 ton x 30 hari adalah 48.399 ton, atau 48,3 juta kilogram. Jika harga beras standar, saat ini adalah Rp 9500 perkilogram, maka kebutuhan anggaran untuk pemenuhan beras adalah Rp 459 miliar.

Dibutuhkan anggaran Rp 459 miliar untuk satu bahan pokok yaitu beras, jika kita asumsikan, tiap orang konsumsi telur, perhari adalah 1 butir, maka dibutuhkan 5,371 butir telur. Jika harga telur saat ini adalah Rp 1.500 perbutir, maka dibutuhkan anggaran Rp 8 miliar setiap hari, atau Rp 240 miliar untuk satu bulan.

Dengan asumsi di atas, maka jika kebijakan lockdown diberilakukan untuk memenuhi kebutuhan beras dan telur saja, pemerintah Aceh harus merogoh kocek, setidaknya hampir Rp700 miliar, untuk periode satu bulan saja. Jika, lockdown diberlakukan dua bulan, atau 60 hari, maka dibutuhkan anggaran setara Rp 1,4 triliun.

Selanjutnya, kita belum bicara kebutuhan lainnya, seperti gula, minyak goreng, gas, dan mie instant. Jadi, jika kita tarik garis besar, untuk pemenuhan anggaran kebutuhan pokok saja, jika lockdown diberlakukan, maka dibutuhkan anggaran tidak kurang dari Rp 3 triliun.

Dari Mana Anggarannya?

Pemerintah pusat, melalui Kementrian Keuangan RI, telah membatalkan proyek fisik, yang bersumber dari dana alokasi khusus atau DAK, baik provinsi maupun kabupaten dan kota.

Kegiatan DAK di Aceh, baik provinsi dan kabupaten kota, yang dibatalkan, nilai anggaranya dapat menembus angka Rp 10 triliun, yakni yang bersumber dari DAK 23 kabupaten dan kota, senilai Rp 8 triliun, dan sumber DAK provinsi, senilai Rp 2 triliun.

Itu belum kita hitung dari dana desa yang tersimpan dalam rekening, jika kita asumsikan tiap desa Rp 700 juta, dengan jumlah desa 6.487, tersedia anggaran Rp 4,5 triliun. Jika mengacu pada Permendes, dana desa dapat dimanfaatkan 10 persen untuk penanganan Corona, maka tersedia anggaran Rp 450 miliar.

Jika ditotalkan, ketersediaan anggaran yang bersumber dari dana desa dan DAK, provinsi dan kabupaten dan kota, totalnya mencapai Rp 10,4 triliun.

Dari simulasi di atas, sebenarnya Aceh memiliki ketersediaan anggaran dan kemampuan fiskal, jika diberlakukan lockdown. Namun tentu aspek pertimbangan anggaran untuk pemenuhan kebutuhan pokok saja tidak cukup, sebab, masih banyak persoalan lainnya yang harus dipertimbangan dengan matang, yakni soal dampak ikutan lainnya, seperti penggangguran, dan masyarakat yang kehilangan pekerjaan.

Bagaimanapun, keputusan lockdown atau tidak, tetap berada di tangan Plt Gubernur Aceh sebagai pemimpin daerah. Dia akan memutuskan yang terbaik bagi provinsi ini. Selamat bekerja Pak Nova Iriansyah. Rakyat menanti keputusan Bapak. [RED]

Shares: