FeatureHeadline

Mengais Rupiah dari Tumpukan Pasir

Refnita membutuhkan bantuan satu unit kereta sorong untuk membantunya mengais rezeki di sungai kering kawasan Bengkalak, Simeulue | Foto: Jenedi

SORE itu, jarum jam menunjukan pukul 16:30. Meskipun matahari perlahan mulai kembali ke perebahannya, tetapi cahayanya tak kunjung redup. Sinarnya masih terasa panas ketika menyinari kulit-kulit tangan telanjang. Begitu pula dengan tumpukan pasir yang terhampar luas di sepanjang jalan menuju Desa Pulau Bengkalak.

Tak jauh dari tumpukan pasir tersebut terdapat sebuah sungai kecil yang kondisinya sudah mengering. Di alur sungai mati itulah seorang ibu muda terlihat sedang berjibaku mengeruk pasir. Namanya Refnita.

Hari itu, dia ditemani seorang balita di tengah belantara tersebut. Pekerjaan ini terpaksa dilakoni karena menjadi sumber rezeki satu-satunya bagi keluarga. Kendati sungai tersebut sudah mengering, tetapi Refnita mampu beberapa tumpukan pasir yang bakal menjadi rupiah.

“Kadang satu bak (kubik), kadang hanya satu grek (kereta sorong). Kalau lagi sehat ya dapat banyak. Tapi kalau lagi kurang sehat berapa yang ada. Yang penting tiap hari datang kemari mengumpul pasir,” ujar Refnita sembari menyeka peluh di pipi dan mata. Bulir keringat terus mengucur di wajah Refnita meskipun dia menggunakan topi koboy usang.

Musim kemarau benar-benar menyulitkan Refnita. Dia mengaku dengan kondisi seperti ini untuk mendapatkan pasir satu kubik saja susah. Namun, bila hujan deras, pasir-pasir itu akan bertambah banyak seiring mengalirnya air ke hilir. Kondisi demikian memudahkan dirinya untuk meraup pasir dari sungai tersebut.

Refnita menggantung hidupnya di sepanjang aliran sungai kering di Bengkalak, Simeulue | Foto: Jenedi

“Kalau hujan air sungai kan deras. Pasir yang jauh di hulu sana bisa turun ke sini,” katanya lagi, seraya terus berjalan menyorong kereta sorong itu.

Refnita bukanlah satu-satunya perempuan yang menjadikan sungai itu sebagai sumber uang. Ia mengatakan ada banyak ibu-ibu yang mengumpul pasir di tempat itu.

Namun, karena kondisi kemarau, pasirnya pun jauh di hulu. Kebanyakan dari mereka yang menggantung hidup di sungai ini berhenti sejenak.
Akan tetapi tidak bagi Refnita. Kondisi hidupnya yang begitu susah membuat Refnita tak berhenti untuk terus mengumpulkan pasir-pasir di sana.

Biasanya Refnita juga tak bekerja sendiri. Dia kerap dibantu suami dan anaknya. Namun, karena pasir yang sudah terkumpul belum juga ada yang laku. Mereka berbagi peran. Sementara waktu suaminya mencari pekerjaan lain yang cepat menghasilka uang, agar mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara dia terus berusaha mengumpul pasir di sungai, di tengah hutan itu.

Dengan kondisi demikian, Refnita tidak berharap banyak kepada pemangku kebijakan. Dia hanya meminta kereta sorong jika pun pemerintah mau memberikan. “Grek saya sudah tidak bagus lagi,” pungkasnya.* (C-003)

Shares: