Opini

Membaca Perlawanan Rakyat atas PT EMM

Demo mahasiswa menolak izin tambang PT EMM | Foto: Al Asmunda

DEMONSTRASI yang dilakukan oleh mahasiswa Aceh, yang menamakan dirinya Barisan Perlawanan Rakyat (BPA), Selasa, 9 April 2019, dalam upaya menolak keberadaan PT Emas Mineral Murni (PT EMM) merupakan aksi kesekian kalinya yang dilakukan oleh elemen rakyat, yang kerap dilabel agent of change tersebut.

Aksi yang berbuntut anarkis itu setidaknya melukai sejumlah mahasiwa, aparat, dan rusaknya taman di halaman kantor Gubernur Aceh.

PT EMM adalah badan usaha permodalan asing (PMA) yang telah mengantongi izin dari BKPM RI, tertanggal 19 Desember 2017, yakni izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP) berdasarkan keputusan Kepala BKPM RI nomor 66/I/IUP/PMA/2017 tentang persetujuan penyesuaian peningkatan tahap izin usaha pertambangan ekspolorasi menjadi IUP mineral logal dalam rangka PMA.

Setelah mengantongi izin tersebut, selanjutnya, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM 1825 K/30/MEM/2018 tentang pedoman pemasangan tanda batas WIUP atau WIUPK khusus. PT EMM diwajibkan mensosialisasikan pemasangan tanda batas WIUP yang melibatkan masyarakat, dan pemerintah daerah/pemda dalam hal ini Pemkab Nagan Raya.

Izin PT EMM sama sekali tidak dikeluarkan oleh bupati atau Gubernur Aceh. Ini sejalan dengan ketika Menteri ESDM telah mengeluarkan Surat Edaran No. 01.E/30/DJB/2015 tentang Perubahan Status Izin Usaha Pertambangan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri menjadi Penanaman Modal Asing.

Dasar penerbitan Surat Edaran tersebut adalah pasal 14 dan 15, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, yang di dalam ketentuan tersebut diatur tentang subsektor mineral dan batu bara antara pemerintah pusat dan provinsi.

Informasi sementara yang diperoleh, luas areal izin eksplorasi yang dikantongi PT EMM adalah 10 ribu hektar. Dengan rincian, 6 ribu hektar di antaranya masuk kawasan hutan lindung, dan 3,9 hektar merupakan kawasan APL atau areal penggunan lain.

Sesuai aturan, kawasan seluas 6 ribu hektar wajib memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Secara hirarki perizinan, semestinya, sebelum terbitnya IUP OP, PT EMM wajib memiliki IPPKH sebagai dasar dikeluarkannya IUP OP. PT EMM dalam proses eksplorasinya bekerja dengan menggunakan izin berupa WIUP dan WIUPK dari Kementrian ESDM.

Dapatkah Pemerintah Aceh membatalkan WIUP dan WIUPK tersebut?

Secara aturan hukum Gubernur Aceh tidak dapat membatalkan WIUP atau WIUPK. Namun, Gubernur dapat menempuh langkah hukum atas prosedur yang telah dilanggar tersebut, yakni mengajukan gugatan berupa litigasi dan non-litigasi.

Non-litigasi dapat melakukan gugatan ke Kementrian Hukum dan HAM, sebab terbukti ada cacat prosedur berupa surat WIUP dan WIUPK yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM, sebab luas areal yang dikeluarkan izinnya 6 ribu hektar diantaranya belum memiliki IPPKH.

Celah disinilah yang dapat dimanfaatkan oleh segenap elemen di Aceh untuk melakukan gugatan hukum atas izin WIUPK dan WIUP yang diterbitkan Kementerian ESDM.

Aceh punya UUPA

Skenario lainnya yang dapat ditempuh adalah menggunakan UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal 156 secara tegas diatur prihal pengelolaan sumber daya alam Aceh dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota.

Dengan dua kemungkinan skenario tersebut, maka akan ada jalan keluar dari kerumitan persoalam PT EMM yang hari ini mendapat perlawanan oleh rakyat. Saleum.*

*Penulis adalah Hendro Saky, mantan aktivis yang pernah merasakan pedihnya gas air mata. Saat ini Hendro menjabat sebagai Pimpinan Umum di Popularitas.com

Shares: