Editorial

Mau Tegas atau Gila Sabu?

PEREDARAN narkoba jenis sabu di Aceh khususnya dan negeri ini pada umumnya seakan sudah tak berbendung. Saban hari ada saja warga yang ditangkap bersama benda merusak jiwa tersebut. Informasi tentang sabu ini bahkan sudah dapat diibaratkan, seperti sudah santapan hari-hari masyarakat, baik melalui media massa maupun media sosial.

PEREDARAN narkoba jenis sabu di Aceh khususnya dan negeri ini pada umumnya seakan sudah tak berbendung. Saban hari ada saja warga yang ditangkap bersama benda merusak jiwa tersebut. Informasi tentang sabu ini bahkan sudah dapat diibaratkan, seperti sudah santapan hari-hari masyarakat, baik melalui media massa maupun media sosial.

Minggu, 05 November 2017 dini hari kembali ada penangkapan sabu seberat 30 kg di Aceh Timur, sebelumnya 113 kg di Aceh Utara, sebelumnya lagi 4 kg, sebelumnya juga ada Abdullah dkk dengan 75 kg sabu lebih. Belum lagi yang satu ons, dua ons, segeram dengan bentuk edar dilakukan berbagai modus oleh pelaku. Hukuman belasan tahun penjara, seumur hidup, bahkan tembak mati terhadap pelaku pemakai dan pengedar sabu, juga seakan tidak menjadi pelajaran bagi warga lain yang belum dihukum. Tidak sedikit pula, para pelaku yang tengah menjalani hukuman masih dapat mengendalikan bisnis haram itu dari balik jeruji besi.

Sosialisai tentang bahaya narkoba oleh pihak terkait, BNN, kejaksaan, kepolisian dan lembaga yang bergerak di bidang itu juga terus berjalan. Mulai dari sekolah tingkat  dasar hingga menengah, bahkan unsur masyarakat. Namun berbaringan dengan sosialisasi tersebut, sabu terus saja beredar dan beredar. Gila tidak? Tentu jawabannya memang gila. Yang gila itu adalah para pelaku yang masih mau mengedarkan benda haram itu.  Kenapa disebut gila, karena mereka  merasa tidak  punya tanggung jawab atas masa depan agama, daerah, dan negaranya. Mereka tidak pernah memikirkan akan masa depan anak cucunya.

Oleh karena itu, sebelum banyak yang menjadi gila sabu, negara harus “cepat sadar”.  Jangan memberi ampun sedikit pun kepada para pelaku sabu ini. Jangan beri dia peluang upaya hukum banding dan kasasi atas putusan pengadilan dasar atau pengadilan  negeri. Jadikan keputusan pengadilan dasar sebagai keputusan inkrach pada kasus sabu. Dan,.bagi mereka yang hukumannya dengan kurungan badan, kurung dia di sel khusus, sempit yang membuat jera.

Bagi yang hukumannya tembak mati, eksekusi saja setelah palu hakim mengetuk meja memutus hukuman pelakunya. Mungkin dengan demikian, lebih dapat membuat jera bagi yang lainnya untuk tidak melakukan hal serupa. Sebab, selama ini hukuman terhadap pelaku sabu tampak masih sangat ringan. Pemberian upaya hukum banding dan kasasi seolah memberikan “angin syurga” bagi mereka. Uang yang mereka miliki seakani dapat “mementahkan” hukuman awal.

Kenapa demikian, ada banyak pengadilan tingkat dasar sesuai locus delicti, memutuskan perkara dengan hukuman berat pada pelakunya.  Seperti hukuman mati, seumur hidup dan puluhan tahun penjara. Namun putusan itu kemudian mentah di tingkat banding dan kasasi. Yang hukuman mati menjadi seumur hidup, seumur hidup menjadi belasan tahun dan yang belasan tahun menjadi tahun, bahkan mungkin ada yang kemudian menjadi bebas.

Sel penjara untuk pelaku sabu juga tidak membuat mereka jera. Mereka ditempatkan sama dengan para napi kasus penipuan, pencurian dan napi kasus ringan lainnya. Akibatnya, jangankan jera mereka malah tambah merajalela. Dan, dengan mudah napi sabu kembali dapat mengendalikan jaringannya dari dalam jeruji. Kita akui, KUHAP telah mengatur bahwa setiap warga negara memilik hak melakukan upaya hukum atas hukuman yang diterimanya.  Mulai dari tingkat banding, kasasi bahkan Peninjauan Kembali (PK). Eksekusi mati juga melanggar aturan, karena bertentangan dengan hak asasi manusia.

Tetapi apabila pada kasus sabu juga perpatok pada dua regulasi ini, yakinlah, sabu akan terus merajalela di negeri ini. Sehingga peluang bertambahnya jumlah masyarakat yang akan menjadi gila sabu juga akan semakin besar []

Shares: