Feature

Mak Meugang dan Kisah Pedagang Daging Musiman    

Harga Daging Sapi di Aceh Besar Stabil Jelang Idul Fitri
Pedagang daging Mak Meugang. (Munir)

SUDAH pukul 12.00 WIB, Minggu 5 Mei 2019, dua paha belakang  sapi besar masih tergantung di palang kayu lapak dagang Mansur. Pria paruh baya asal Kandang, Muara Dua, Kota Lhokseumawe itu tak henti memanggil calon pembeli yang berseleweran di lorong-lorong pasar Inpres kota itu.

Meugang (Mak Meugang dalam bahasa Aceh) adalah tradisi menyantap daging sapi, kerbau atau kambing  digelar di seluruh Aceh, tak terkecuali bagi masyarakat di kota berjuluk petro dolar  ini. Tradisi indatu yang tak lekang dimakan waktu ini terjadi dua hari sebelum puasa Ramadan, hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Walau tidak ada fakta sejarah kapan awal berlaku tradisi ini, namun bagi sebagian orang tua dan tokoh di kampung-kampung berpendapat, tradisi Meugang sudah ada  sejak zaman kerajaan Iskandar Muda. Tidak hanya di pasar-pasar di kota besar, lapak dagang sapi dadakan juga digelar di pasar-pasar kecil bahkan ada juga berjualan di simpang jalan.

Seperti cerita Mansur, sudah berdagang Meugang sejak 5 tahun lalu. kali ini ia  dibantu dua pemuda desanya, yang satu bertugas  memotong tulang dan asoe prut (jeroan, isi perut sapi) , seorang lagi membersihkan daging dari gajih agar  terlihat bersih dan disukai pembeli. Tapi hari ini tak biasa, jelang siang sie (daging sapi) Mak Meugang-nya belum habis terjual.

“Baru habis setengah sapi, sisanya masih banyak. Harganya juga belum ada yang turun, masih tetap Rp 170 ribu per kilogram,” kata Mansur sambil membuka sebuah buku cacatan utang.

Buka utang daging yang akan ditagih jelang Idul Fitri nanti. Karena tidak semua daging yang habis dibeli kontan. Hal itu sudah lazim terjadi. Menurut Mansur, bila tidak diberi utang, daging sapinya hanya terjual sebagian.

“Semua pedagang Meugang memberi utang, tapi hanya untuk orang-orang yang kita kenal, seperti tetangga, saudara atau teman,” katanya lagi.

Saat ditanya keuntungan, Mansur hanya senyum, katanya belum bisa memprediksi akan banyak atau malah tidak dapat laba sama sekali. Karena kondisi kali ini  beda. Banyak orang dipasar, tapi hanya wara-wiri saja hanya sedikit yang beli.

“Mungkin warga menunggu kami turunkan harga, seperti itu kondisinya kalau ekonomi lagi tak baik,” tutur Mansur.

Menurutnya, berdagang daging meugang juga tidak bisa sembarang. Si pedagang harus pandai-pandai memilih sapi yang akan disembelih. Kualitas daging  jadi faktor utama masyarakat mau membeli atau tidak, kecuali yang punya uang pas-pasang atau yang utang.

Mansur jauh-jauh hari sudah mempersiapkan sapi kampung yang  sehat.  Ia beli dari pasar hewan sejak dua bulan lalu. sebelum disembelih sapi diberi pakan lebih, obat bahkan poding madu campur telur, agar berat tak turun.

Ia beli sapi seberat 120 kilogram dengan modal Rp15 juta lebih. Modalnya pinjaman dari saudara. Bila daging dijual hanya Rp 170 per kilogramnya, dan habis terjual, ia  untung bersih sebanyak Rp7 juta. Kalau harga daging turun, labanya juga akan berkurang. Tahun lalu, untungnya lebih dari Rp10 juta, karena saat itu harga daging mencapai Rp 200 ribu per kilogram.

Mansur  bukanlah pedagang daging sapi, sehari-hari ia bekerja sebagai tukang bangunan. Mansur hanya mamfaatkan momen itu untuk meraup pundi rupiah guna kebutuhan selama Ramadan. Karena selama puasa ia tak dapat job harian.

Kalaupun ada, kerjanya tak seperti biasa. Ditambah lelah, ia takut batal puasa. Untung dari Meugang jadi satu-satu harapan Mansur untuk bisa menjalankan puasa tanpa pikir kebetuhan berbuka dan merayakan lebaran nanti.

Ia tak sendiri, teman seprofesinya juga melakukan hal, nyambi sebagai pedagang daging sapi dadakan.  “Semoga saja sisanya cepat habis, jangan sampai sore, karena harganya akan beda bila terlalu lama,” harap Mansur menutup bincang. (C-004)

Shares: