News

Madu Manis Kursi Ketua Usai Prabowo Jumpai Mega

JAKARTA (popularitas.com) – Pertemuan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, pada Rabu, 24 Juli 2019, dibayangi isu power sharing atau bagi-bagi jabatan di pemerintahan.

Gerindra sudah membantahnya. Namun tak dipungkiri bahwa pertemuan itu terjadi tak lama setelah Gerindra secara terang-terangan menyatakan membidik kursi Ketua MPR periode 2019-2024 sebagai bagian rekonsiliasi pasca Pilpres 2019.

“Semangat rekonsiliasi pertama harus diwujudkan oleh para wakil rakyat anggota MPR, dari anggota DPR dan DPD, terutama oleh pemimpin partai dalam menetapkan Ketua MPR. Dengan semangat itu maka komposisi terbaik adalah Ketua MPR dari Gerindra, Ketua DPR dari PDIP, dan Presiden adalah Joko Widodo,” ucap Ketua DPP Gerindra, Sodik Mujahid lewat keterangan tertulis, Jumat, 19 Juli 2019.

Pengamat politik dari CSIS Arya Fernandes menilai posisi ketua MPR periode 2019-2024 strategis lantaran muncul rekomendasi untuk melakukan amendemen terbatas terhadap UUD 1945 pada periode mendatang.

MPR sebelumnya telah menyepakati perlunya haluan negara semacam GBHN yang dimasukkan dalam konstitusi lewat amendemen terbatas UUD.

“Pimpinan punya tanggung jawab yang besar karena melibatkan siapa pihak-pihak yang ikut dalam penyusunannya,” kata Arya kepada CNNIndonesia.com.

Selain itu, posisi ketua MPR juga menjadi strategis karena memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden. Posisi ketua MPR, lanjut Arya, akan menguntungkan Gerindra sebagai oposisi.

“Potensi publisitasnya menjadi tinggi dan itu juga bisa jadi tiket bagi Gerindra dalam kepemimpinan nasional,” tuturnya.

Pendekatan pada PDIP menjadi penting, lantaran pemilihan pimpinan MPR dilakukan berdasarkan sistem paket. Setiap fraksi berhak mencalonkan anggotanya sebagai Ketua MPR dalam paket yang diajukan fraksi atau kelompok fraksi.

Mekanisme pemilihan itu diatur dalam Pasal 15 Undang Undang MD3 Tahun 2018.

Namun, menurut peneliti dari Populi Center, Rafif Pamenang Imawan, pertemuan Mega-Prabowo hanya memberi peluang kecil bagi Gerindra untuk mendapat jatah kursi MPR pada periode mendatang.

Koalisi Jokowi dinilai telah kuat sehingga negosiasi kursi kepada Gerindra tak menjadi keharusan.

“Pada dasarnya dengan komposisi koalisi Jokowi saat ini, tidak mengakomodasi Gerindra pun tidak masalah,” ujar Rafif saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Selain itu, jatah kursi Ketua MPR untuk Gerindra juga sulit diberikan karena bisa mempengaruhi soliditas koalisi partai pendukung Jokowi.

Gerindra memang bukan satu-satunya partai yang mengincar kursi Ketua MPR. Ada juga tiga parpol dari koalisi presiden terpilih Joko Widodo yang ingin menempatkan kadernya pada posisi ketua MPR, yakni PDIP, Golkar dan PKB.

Untuk mencegah kekisruhan tersebut Rafif berkata sebaiknya kursi Ketua MPR tetap menjadi bagian dari koalisi Jokowi.

“Akomodasi Gerindra oleh Jokowi akan mengganggu kesolidan dari koalisi Jokowi itu sendiri,” tutur Rafif.

Soliditas Koalisi Jokowi

Hal senada diungkapkan pengamat politik Universitas Padjajaran, Firman Manan. Menurutnya, ganjalan kursi pimpinan MPR bagi Gerindra datang dari koalisi partai pendukung Jokowi yang terang-terangan telah menyampaikan ketertarikan menduduki posisi Ketua MPR, termasuk Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Jika tetap ingin memberi kursi Ketua MPR kepada Gerindra, menurut Firman yang harus dipikirkan adalah bagaimana meyakinkan partai koalisi yang lain.

Upaya meyakinkan partai koalisi dapat dilakukan dengan membuat sejumlah kesepakatan bersama koalisi pendukung. Firman mencontohkan dengan memperbanyak jumlah kursi di kabinet bagi koalisi atau justru memberi jatah bagi Gerindra di luar kursi pimpinan MPR.

“Peta politiknya akan berubah kalau Gerindra gabung, maka harus dicari konsesi politik lain untuk menjamin loyalitas dan soliditas dari koalisi pendukung. Bisa jatah kursi kabinet, atau mungkin wantimpres, atau posisi lembaga lain,” ujarnya.

Terlepas dari kendala politik yang ada, Firman menyebut kemungkinan Gerindra mendapat jatah kursi pimpinan MPR periode mendatang, masih terbuka. Setidaknya jika berkaca dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2009.

Di periode kedua SBY, kursi pimpinan MPR saat itu diduduki oleh PDIP yang notabene adalah oposisi. Posisi tersebut saat itu ‘diberikan’ pada PDIP atas kesepakatan parpol dan situasi politik yang dinilai memang cukup kondusif.

Selain itu tak ada agenda besar yang menjadi tanggung jawab bagi pimpinan MPR kala itu. Oleh karena itu, Firman menilai, jabatan ketua MPR tak lebih dari posisi simbolis.

“Kursi ketua MPR ini lebih ke posisi simbolis kalau dinamika politik tidak terlalu tinggi. Seperti pada 2009, sekali pun oposisi, PDIP tidak terlalu keras mengkritik sehingga (jatah ketua MPR) diberikan,” katanya.

Berbeda dengan kondisi saat ini yang menurut Firman perlu kesepakatan alot dengan koalisi pendukung untuk menyetujui pemberian jatah kursi MPR bagi Gerindra. Apalagi sikap Gerindra selama ini cukup keras mengkritik pemerintah.

“Persoalannya kan bagaimana konsolidasi kesepakatan dengan partai-partai koalisi yang lebih dulu bergabung. Itu saja,” ucapnya.

Firman meyakini kursi Gerindra akan diuntungkan jika akhirnya mendapat kursi MPR. Jika Gerindra mendapat jatah, setidaknya partai berlambang burung garuda itu akan dianggap memiliki peran penting dalam pemerintahan, setelah selama 10 tahun terakhir selalu berada di pihak oposisi.

“Selama dua kali pemilu tidak menang, Gerindra mungkin akan kalkulasi. Kalau masuk sebagai pimpinan MPR tentu sedikit banyak akan beri peran dan terlihat di publik,” tuturnya.*

Sumber: CNN Indonesia

Shares: