Feature

Lenggak-Lenggok Muslimah di Jantung Kota Syariah

Ajang Islamic Fashion Festival (IFF) 2019 di Taman Bustanussalatin Banda Aceh | Foto: Al Asmunda

PANGGUNG berdekorasi ornamen gedung bertingkat mengunci pandangan penonton malam itu. Dari balik panggung, satu per satu peragawati keluar seraya melenggak-lenggok di atas catwalk. Aksi mereka bikin penonton terkesiap. Tak sedikit pula yang berdecak takjub.

Sebagian penonton yang tidak ingin momen itu hanya tinggal ingatan, bergegas mengeluarkan ponsel. Mereka memotret dan merekam peragawati berparas rupawan itu yang tengah unjuk aksi di acara Islamic Fashion Festival (IFF) 2019 di Taman Bustanussalatin (Taman Sari).

Lampu sorot menuntun peragawati turun ke lintasan catwalk. Mereka berjalan anggun dalam balutan busana muslimah beragam warna. Sesekali, mereka melempar senyum kepada penonton yang memadati taman di pusat kota Banda Aceh malam itu.

Kerlap-kerlip lampu berpendar. Tak jauh dari sisi panggung sebelah kanan, tepat di bawah pohon trembesi yang rindang, sebuah gapura berdiri. Bentuk bangunannya dirangkai menyerupai gedung bertingkat. Banyak penonton IFF sebelum masuk mengabadikan diri dulu berfoto di bawah gapura.

Di sisi kanan kiri panggung utama, tampak puluhan stand diisi oleh berbagai brand milik desainer fesyen di Aceh. Selain busana muslimah, stand-stand itu juga ditempati wirausahawan lainnya. Semisal parfum Minyeuk Pret, sebuah brand parfum lokal yang menonjolkan wewangian khas Aceh. Tak ketinggalan, stand juga diisi oleh pelaku usaha yang memiliki tangan terampil dalam membuat pernak pernik perhiasan.

Ajang Islamic Fashion Festival (IFF) 2019 di Taman Bustanussalatin Banda Aceh | Foto: Al Asmunda

Ini adalah acara fesyen muslimah dengan konsep “street fashion” pertama yang digelar di ibukota berjuluk Serambi Mekkah. Selama tiga hari, mulai dari tanggal 19-21 April, puluhan desainer Aceh berkumpul saling memamerkan hasil kreasi busana di atas catwalk. Pelaku industri busana yang selama ini belum banyak mendapat perhatian itu, melalui wadah IFF saling bertemu di Bustanussalatin Banda Aceh.

Peserta IFF datang dari beragam usia. Seperti halnya Salsabila, peserta yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kendati masih remaja, tetapi karya Salsabila, yang merupakan pemilik brand Ocastyle ini, membuat desainer sekelas Zaskia Sungkar terpana. Malam itu, Oca begitu perempuan ini akrab disapa, menampilkan busana jenis casual yang simple, tetapi tetap elegan menurut Zaskia Sungkar.

Perhelatan IFF 2019 sengaja mengundang ipar dari Teuku Wisnu itu untuk berbagi pengalaman yang dimilikinya selama menggeluti dunia fesyen muslimah.

Menurut Zaskia, Aceh bisa saja menjadi “kiblat” fesyen muslim dunia kalau terus mengembangkan industri ini secara masif.

Sebab kata Zaskia, saat ini perkembangan gaya busana muslim meningkat pesat. Dia pun berpesan kepada desainer Aceh agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Sekalipun unsur modernitas dalam dunia olah busana menjadi tantangan tersendiri bagi desainer, hal tersebut tak lantas membuat desainer Aceh kebablasan meninggalkan indentitas yang melekat pada kultur fesyen mayoritas masyarakat di sini.

“Fesyen itu ist no role memang, tapi aku pesan banget jangan keluar dari jalur syariat Islam. Kultur fesyen masyarakat di sini tuh menurutku ya nggak jauh dari agama yang kita anut. Percayalah, peminat busana-busana syar’i itu banyak lho,” paparnya saat mengisi bincang-bincang di panggung IFF, Senin malam, 21 April 2019.

Zaskia Sungkar ikut meramaikan IFF 2019 di Taman Bustanussalatin Banda Aceh | Foto: Al Asmunda

Zaskia mengaku terkesima melihat hasil karya dari desainer Aceh. Menurutnya, pelaku adibusana di Serambi Mekkah memiliki strong sense of creativity. Tinggal lagi katanya, para desainer ini harus jeli mengolaborasikan beragam jenis kekayaan busana yang ada di Aceh dan berani ambil risiko terjun di ajang fashion show ternama.

“Di sini ada Karawang Gayo, songket, dan tenun yang cukup terkenal. Motif-motifnya, masyaallah, bagus-bagus banget. Ayok atuh dibawa ke Jakarta,” ucap perempuan berhijab tersebut.

Daerah Aceh memang kental dengan nuansa syariat Islamnya. Hal itu, mau tak mau, turut menyeret Banda Aceh sebagai ibukota provinsi yang kerap jadi representatif orang lain untuk melihat wajah Aceh.

Mungkin bagi orang-orang di luar Aceh, setelah mendengar provinsi ini menerapkan hukum syariat yang kaffah (menyeluruh), tak menyangka acara street fashion begini dapat berlangsung tepat di jantung kota. Terlebih jarak acaranya tak jauh dari masjid Raya Baiturrahman yang menjadi ikon provinsi Serambi Mekkah.

Mungkin bagi mereka yang memandang sebelah mata akan mengira Aceh sangat mengekang keberadaan perempuan. Lazimnya opini yang terdengar selama ini bahwa Syariat Islam di Aceh bakal mengunci gerak kreativitas kaum hawa. Sebuah persepsi yang amat “jauh panggang dari api” tentunya.

Melalui ajang IFF ini, persepsi negatif terhadap keberadaan perempuan Aceh yang dianggap dikangkangi oleh peraturan syariat Islam, bisa menjadi salah satu momentum bagi pemerintah meruntuhkan pandangan buruk itu.

Sebagai pintu masuk ke Tanoh Rencong, Banda Aceh menjadi episentrum vital dan garda paling depan melawan itu semua. Kota Islam tertua di Asia Tenggara yang baru saja bertambah usia menjadi 814 tahun ini, diharap jeli membaca peluang dari manfaat Islamic Fashion Festival untuk branding sebagai kota busana syariah.

Ajang Islamic Fashion Festival (IFF) 2019 di Taman Bustanussalatin Banda Aceh | Foto: Al Asmunda

Pemerintah Aceh, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, bahkan menyatakan siap turun tangan menyediakan wadah ekspresi bagi pelaku di bidang fesyen, sembari juga giat terlibat memperkenalkan ke banyak pihak bahwa Banda Aceh memiliki desainer dengan karya yang bisa disandingkan dengan para desainer dunia.

“Kami siap memperlihatkan ke berbagai pihak bahwa Banda Aceh mampu menjadi kota fashion, baik secara nasional maupun internasional,” kata Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Ramadhani tatkala memberi sambutannya malam itu.

Acara IFF tersebut digelar oleh Disbudpar Aceh dengan menggandeng pemerintah Kota Banda Aceh. Nantinya bukan tidak mungkin, setelah acara ini dipandang berhasil, maka akan muncul ide-ide baru yang bisa diterapkan oleh pemerintah Banda Aceh.

Semisal, ajang tahunan yang dilakukan oleh pemerintah Jawa Timur melalui Jember Fashion Carnival (JFC) yang berhasil mencuri pandangan dunia itu.

Banda Aceh bisa saja punya ajang yang sama, tetapi berbeda secara konsep. Bayangkan kelak, misalnya, ibu kota Provinsi Aceh yang belakangan familiar disebut dengan kota “Gemilang dalam bingkai Syariah” ini punya acara Banda Aceh Muslim Fashion Carnival.

Semua desainer akan berkumpul. Pelbagai lini pelaku usaha yang berhubungan dengan dunia adibusana juga turut dapat tempat. Ratusan ribu wisatawan tumpah di jantung kota Serambi Mekkah. Persepsi negatif terhadap Aceh pun dapat dengan sendirinya berubah. Lalu bukankah hal semacam ini yang diharapkan hadir dari kampanye industri ekonomi kreatif?

Gayung sepertinya bersambut. Wali Kota Aminulah Usman menyambut baik event yang digelar di Banda Aceh tersebut. Menurutnya sebagai daerah yang dikenal wisata halal, busana muslim menjadi salah satu hal yang tidak bisa terpisahkan di dalamnya.

“Saya menyambut baik, wisata halal bukan hanya destinasi dan situs yang religi saja, tapi busana yang Islami juga bagian penting di dalamnya. Busana Islami harus terus dibudayakan dan diberdayakan sehingga menjadi sesuatu yang indah dan menarik,” ujar Aminullah, seraya menyebutkan event yang digelar tersebut turut membuat ekonomi warga di ibu kota kian berdenyut.* (ASM)

Shares: