News

KPPA Aceh: Pelaku pemerkosaan di Nagan Raya miliki mentalitas mafia

Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) Aceh menyebutkan para pelaku pemerkosaan anak di Kabupaten Nagan Raya, yang dilakukan berkelompok (gang rape) memiliki mentalitas mafia.
Komisioner KPPAA Firdaus D Nyak Idin di Banda Aceh, Senin (10/2/2020). (ANTARA/Khalis)

POPULARITAS.COM – Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) Aceh menyebutkan para pelaku pemerkosaan anak di Kabupaten Nagan Raya, yang dilakukan berkelompok (gang rape) memiliki mentalitas mafia.

Komisioner KPPA Aceh, Firdaus Nyak Idin menjelaskan, mentalitas mafia adalah di mana suatu kelompok melakukan suatu perilaku kejahatan bersama-sama tanpa berpikir jernih.

Menurutnya, gang rape terjadi sangat sering dikarenakan pelaku cenderung melakukan suatu kejahatan jika dirinya merasa bisa lolos dari hukuman.

“Dalam kasus Aceh, disinyalir, dualisme hukum (Qanun Jinayat versus UU Perlindungan Anak) turut mempengaruhinya,” jelas Firdaus dalam keterangannya, Sabtu (18/12/2021).

Dia menjelaskan bahwa pelaku gang rape juga cenderung menganggap korban (perempuan) sebagai warga kelas dua. Artinya, terang Firdaus, di sini terlihat jelas ada ketidaksetaraan gender.

Berdasarkan data yang dikumpul KPPAA, katanya, kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan berkelompok (gang rape) sepanjang tahun 2021 sedikitnya sudah terjadi tiga kali.

Pertama, kata Firdaus, terjadi di Kabupaten Bener Meriah pada Februari 2021, kemudian Langsa sekitar Maret 2021 dan terakhir di Nagan Raya Desember 2021.

“Tidak menutup kemungkinan ada kejahatan serupa terjadi namun kurang mencuat,” ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Firdaus, KPPA Aceh kembali mengingatkan, agar kasus seperti itu tidak semakin bertambah.

Menurut KPPA, lanjut Firdaus, Pemerintah Aceh perlu mengambil langkah-langkah strategis dan cepat, antara lain merevisi dan memperkuat Qanun Jinayat.

“Karena terbukti keberadaan Qanun Jinayat telah menyebabkan adanya dualisme hukum penanganan kejahatan seksual terhadap anak,” ujarnya.

Kemudian, tambah Firdaus, segera menyusun rencana strategis penghapusan kekerasan seksual terhadap anak.

Karena, terang dia, sampai saat ini, Aceh sama sekali belum memiliki rencana strategis apapun terkait perlindungan anak. Termasuk tidak memiliki rencana strategis dalam menghapus kekerasan seksual terhadap anak.

Kemudian, KPPA Aceh juga meminta pemerintah untuk merevisi dan memperkuat Qanun Perlindungan Anak. Sehingga qanun itu dapat lebih up to date dan sesuai perkembangan Aceh saat ini.

Selain itu, KPPA juga meminta pemerintah untuk memperkuat kelembagaan pengawasan perlindungan anak Aceh agar semakin kuat dan efektif melakukan pengawasan semua sektor terkait anak di Aceh.

“Memperkuat fungsi keluarga dan komunitas. Karena sering sekali kejahatan seksual terjadi di rumah/keluarga dan di komunitas lingkungan terdekat korban,” jelasnya.

Firdaus menambahkan, dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah dalam hal ini Pemerintah Aceh memiliki tugas immidiate obligation, yakni kewajiban yang bersifat segera dan secepatnya tanpa memandang ketersediaan sumber daya dalam menghapus bentuk kejahatan seksual di Aceh.

“Apabila ini tidak dilakukan, dapat dianggap pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM,” kata Firdaus.

Untuk itu, kata Firdaus, KPPA Aceh berharap melalui sektor terkait segera duduk menyusun perencanaan yang strategis yang bertujuan bukan sekedar menurunkan angka, namun menghapus segala bentuk kejahatan seksual terhadap anak di Aceh.

“Zero tolerant untuk Kejahatan Seksual terhadap anak. Jangan sampai korban bertambah banyak, pelaku bertambah sadis, pemerintah bertambah cuek,” tutur Firdaus.

Terkait pelakunya yang masih berusia anak dan masih remaja, KPPAA meminta semua pihak untuk tidak menghakimi.

Karena, terang Firdaus, pada dasarnya mereka juga merupakan korban kegagalan tumbuh kembang akibat salah asuh, baik salah asuh di keluarga, lembaga pendidikan maupun salah asuh di komunitas yang cenderung tidak peduli. Fenomena ini disebut “ketidakpedulian pluralis”.

Firdaus menjelaskan, remaja cenderung menjadi pelaku gang rape karena remaja sangat rentan terhadap pengaruh perilaku negatif seperti adiksi narkoba, seks bebas, pornografi, perilaku kriminal, dan jenis kenakalan remaja lainnya (juvenile deliquency). Sehingga, terjadi transisi hormonal yang memengaruhi cara berpikir remaja.

“Menurut teori Jean Piaget, remaja dapat berpikir abstrak namun perkembangan kognitif terhadap sistem moral belum berkembang sempurna sehingga mereka mudah terjerumus perilaku negatif tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum di masa depan,” katanya.

Shares: